Kasus bunuh diri pada remaja merupakan isu yang mengkhawatirkan dalam masyarakat kita.
Menurut data, setiap tahunnya, ribuan remaja di seluruh dunia memilih untuk mengakhiri
hidup mereka sendiri, meninggalkan keluarga dan teman-teman mereka dalam kesedihan
yang mendalam. Di balik tragedi ini, ada akar permasalahan yang sering kali masih diabaikan
oleh kebanyakan orang yaitu tuntutan akademis yang berlebihan.
Di lingkungan budaya yang mementingkan prestasi akademis dan kesuksesan secara material,
tentunya tekanan terhadap remaja untuk berhasil dalam pendidikannya sangatlah besar. Mulai
dari persaingan ketat di sekolah hingga harapan yang tinggi dari orang tua dan guru, banyak
remaja akhirnya merasa terjebak dalam lingkaran tuntutan yang tidak tercapai. Akibatnya,
banyak dari mereka merasa tidak berharga atau gagal ketika mereka tidak memenuhi standar
yang ditetapkan orang lain terhadap mereka.
Ternyata, tuntutan akademis ini bukan hanya menyebabkan stres dan kecemasan, tetapi juga
dapat mengarah pada masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti depresi dan bahkan
pikiran untuk bunuh diri. Remaja yang merasa tidak mampu mengatasi tekanan ini mungkin
merasa tidak punya pilihan selain mengakhiri hidup mereka sendiri, sebagai usaha mereka
untuk menghindari rasa putus asa yang terus-menerus.
Namun, tentunya kita tidak boleh menyalahkan individu atas kesulitan yang mereka hadapi.
Sebaliknya, kita perlu menyoroti sistem yang menciptakan lingkungan di mana tuntutan
akademis menjadi norma yang tidak terbantahkan lagi. Sistem pendidikan yang terlalu fokus
pada nilai akademis dan pencapaian luar biasa sering kali mengabaikan kebutuhan emosional
dan psikologis dari para siswa, padahal sebenarnya untuk mencapai prestasi akademis dan
produktifitas waktu yang baik bagi remaja kondisi kesehatan mental ini juga menjadi aspek
penentu.
Untuk mengatasi masalah bunuh diri pada remaja ini, kita perlu mengubah paradigma kita
tentang pendidikan dan kesuksesan itu sendiri. Dimana, pendidikan itu haruslah lebih dari
sekadar pencapaian akademis; termasuk pengalaman yang mendukung perkembangan
pribadi, kesejahteraan mental, dan kemandirian bagi remaja.
Guru, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan perlu ikut ambil andil untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi remaja, di mana tidak menuntut mereka dengan ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi yang nantinya akan memberatkan mereka, sehinga mereka akan merasa lebih diterima dan dihargai tanpa terbebani oleh harapan yang tidak realistis dan mereka juga akan lebih merasa percaya diri dan mencintai diri mereka.
Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan mental di
kalangan remaja. Remaja perlu tahu bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan mereka
khususnya selama masa pendidikan, dan bahwa ada bantuan dan dukungan yang tersedia jika
mereka membutuhkannya. Program-program sekolah dan komunitas yang mempromosikan
kesehatan mental dan memberikan akses ke layanan dukungan dapat membantu mengurangi
stigma dan menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi mereka yang membutuhkannya.
Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk mengubah budaya yang menekan
menjadi menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua anggotanya. Dan dengan
melakukan hal ini kita berharap bisa mengurangi angka bunuh diri pada remaja dan
memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat
secara fisik dan juga mental.
Dalam menghadapi krisis bunuh diri pada remaja, tuntutan akademis harus diangkat sebagai
salah satu faktor utama yang memperburuk masalah ini. Hanya dengan mengubah pendekatan
kita terhadap pendidikan dan kesuksesan, kita bisa berharap menciptakan masa depan yang
lebih cerah bagi generasi mendatang.
Penulis: Nadila Permata Sukma (Mahasiswi Keperawatan Universitas Andalas)