“Power tends to corrupt, absolutely power corrupts absolutely” (Lord Acton)
Pemilu 2024 kian mendekati titik kulminasinya yakni, pada 14 Februari 2024 mendatang. Berdasarkan data KPU, terdapat kurang lebih 204.807.222 warga negara yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang akan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan kepemimpinan nasional; Presiden dan Wakil Presiden beserta anggota parlemen baik di DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Hal ini penting dimaknai bahwa terdapat ratusan juta warga negara yang akan mempertaruhkan urusan publik dan pemerintahan yang kompleks dan strategis dalam berbagai sektor kehidupan bernegara, kepada “segelintir orang”, melalui mekanisme elektoral, dengan kewenangannya yang “gigantik”, terutama di level eksekutif dan legislatif nasional.
Sehingga sudah semestinya proses dan suksesi pemilu dilangsungkan secara berintegritas, berkualitas, serta tidak dikerdilkan maknanya hanya sekadar proses mentransformasi “angka-angka menjadi kursi,” atau yang tidak kalah keji apabila proses pemilu hanya menempatkan konstituen sebagai objek dan statistik semata.
Berangkat dari situasi dan perspektif demikianlah posisi pers dibutuhkan dan menempati peran yang esensial. Agar demokrasi prosedural ini menjadi dinamika dem0krasi yang kontruktif; tidak semata-mata formalitas cum omong kosong lima tahunan belaka.
Dalam negara demokrasi, pers lazim ditempatkan sebagai “cabang kekuasaan keempat” (the fourth branch of government) atau “pilar keempat demokrasi” (the four estate of democracy) disamping legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kendati demikian, pers bukanlah substruktur dari organisasi penyelenggara kekuasaan negara.
Dalam kerangka ini, pers semata-mata bekerja untuk dan berpihak pada kepentingan publik, tidak terkecuali dalam agenda demokrasi prosedural berupa pemilihan umum (pemilu) yang tengah berlangsung saat ini. Untuk itu, penulis akan mencoba menguraikan dan mengelaborasi sejumlah hal yang memerlukan dan menjadikan pers memiliki peran esensial.
Pertama, membantu pemilih. Pemilu memerlukan kapasitas pemilih yang baik, rasional, kritis, bahkan skeptik; tidak gampang percaya, terutama oleh jargon-jargon bahkan “gimmick-gimmick” kontestan (peserta) pemilu. Situasi ini membutuhkan arus informasi yang memadai, berkualitas, dan sehat; objektif.
Sebagai pemasok informasi yang profesional dan dibatasi koridor kode etik, pers menjadi entitas yang dibutuhkan untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan berkualitas kepada konstituen: memenuhi hak masyarakat untuk tahu dan membantu rakyat dalam memilih.
Sekaitan dengan itu, pers juga diharapkan berperan meningkatkan kapasitas, menstimulasi, dan mengakselerasi kesadaran kritis konstituen. Sebagaimana mandat konstitusional pers yang dinukilkan di dalam konsideran UU 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pers) yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejalan dengan hal ini, kabar baik yang perlu diapresiasi, sejumlah pers nyatanya telah memulai “tradisi baik jurnalisme” dengan menyajikan fitur khusus berupa fact checking (cek fakta), untuk “menyelidiki” fakta atau informasi yang salah satunya bersumber dari kontestan pemilu, untuk diuji dan dibuktikan “keabsahannya.”
Lebih-lebih di era tsunami informasi yang cenderung sulit dicegah saat ini. Singkatnya, cek fakta ini sebagai upaya meminimalisir disinformasi, misinformasi, bahkan hoax yang bertendensi membodoh-bodohi konstituen.
Kedua, melantangkan aspirasi publik. Dalam pemilu, lazim bagi para kandidat atau peserta pemilu merumuskan visi, misi, dan program yang diusung. Hal yang dikhawatirkan justru rumusan tersebut dibangun berbasis imajinasi dan kepentingan elit semata.
Tidak berbasis pada kebutuhan dan aspirasi sesungguhnya dari publik. Misi jurnalisme “giving voice to the voiceless” atau “voicing the voiceless” menjadi sebuah kebutuhan di dalam proses dan dinamika pemilu.
Pers sejatinya dapat menggali situasi dan kondisi rakyat yang begitu kompleks, termasuk kebutuhan dan aspirasi substansial warga negara, yang besar kemungkinan tidak banyak diperhatikan dan disorot para “kontestan.” Karenanya, peran pers diharapkan dapat “mengapungkan” aspirasi dan kebutuhan publik sehingga agenda dan gagasan (kebijakan) yang hendak diusung pada saat mereka terpilih; menduduki singgasana kekuasaan lebih partisipatif sesuai kebutuhan rakyat atau minimal tidak cenderung elitis.
Ketiga, membantu penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki keterbatasan dalam melakukan sosialisasi pemilu, terutama problem sumber daya. Sosialisasi pemilu tidak melulu perihal tanggal pencoblosan. Hal lainnya dapat berupa tata cara memilih, tahapan dan jadwal pemilu, cara pengajuan pindah memilih (di TPS lain), dan sebagainya.
Media pers sebetulnya dapat mengatasi keterbatasan yang dimiliki penyelenggara pemilu tersebut. Secara kuantitas, pers cukup banyak. Berdasarkan data Dewan Pers (DP) per-januari 2023, terdapat 1711 perusahaan media yang terverifikasi baik cetak, online, radio, hingga televisi.
Dan hal ini belum termasuk media pers yang belum atau tidak diverifikasi oleh DP, terutama media online – mengingat era konvergensi media. Mengingat media pers juga bersifat sporadik (tersebar), lebih aksesibel, memiliki daya jangkau informasi (outreach), dan memiliki jaringannya sendiri di berbagai wilayah.
Keempat, sebagai watchdog. Leo Batubara, mantan Wakil Dewan Pers menganalogikan fungsi pers secara sederhana “menggonggong kalau ada serigala yang mau menangkap kambing.” Demikian pula UU Pers, memandatkan pers memiliki fungsi kontrol sosial.
Menurut UU Pers, dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya, pers ditekankan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, dan nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Dalam rumusan pasal lainnya, pers juga digariskan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, serta melakukan kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kendati negara memiliki “infrastruktur formal” dalam pemilihan umum semisal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun bukan berarti fungsi dan wewenang pengawasan dapat diserahkan sepenuhnya kepada lembaga tersebut. Sebab Bawaslu-pun sudah semestinya tidak luput untuk dikritisi, dikoreksi, dan diawasi. Sehingga pada peran watchdog inilah pers menempati porsi yang amat esensial.
Kekhawatiran yang kerap dihadapi dalam pemilu adalah perihal netralitas Polri, TNI, ASN, dan pejabat publik lainnya yang semestinya tidak berpihak dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan fasilitas negara. Hal ini tidak lain agar menjaga asas pemilu khususnya “jujur dan adil” betul-betul tidak dicederai. Terlebih, apabila terdapat petahana atau keluarganya yang tengah berlaga sebagai kontestan pemilu.
Pers mesti “sensitif” terhadap potensi dan indikasi penyimpangan, penyelewengan, kolusi bahkan nepotisme yang amat mungkin mencederai proses pemilu, terutama dapat dilakukan oleh penguasa yang tengah menjabat, yang “menghalalkan” segala siasat untuk memenangkan dirinya maupun “jagoannya”.
Hal demikian tidak terkecuali terhadap penyimpangan yang potensial dilakukan penyelenggara pemilu, dan tidak terbatas pada peserta pemilu semisal partai politik, caleg, maupun kandidat capres-cawapres yang kerap diisukan curang dan menerabas “aturan main” pemilu bahkan dengan cara-cara yang koruptif semisal “money politics.”
Kelima, “menguliti” para kandidat. Pers dapat menguliti visi, misi, dan program para peserta pemilu yang tengah berlaga, hingga rekam jejak (track record) terutama para petahana atau yang pernah menjabat. Misal, dengan memberitakan figur-figur di parlemen yang kerap membolos dan yang tidak. Menguliti asal muasal dan “bau bangkai” harta kekayaan para kandidat. Partai-partai beserta calegnya yang “banal” pengusung undang-undang anti-rakyat dan pro-oligarki semisal omnibus law cipta kerja, revisi UU ITE, revisi UU KPK, revisi UU Minerba, pasal-pasal KUHP baru yang represif, dan lain sebagainya.
Atau sebaliknya yang mengusung UU pro-rakyat semisal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Menguliti background figur-figur mana saja yang mendadak “nyaleg”, menguliti janji dan jargon mereka apakah sesuai dengan pencapaian dan rekam jejaknya. Menyuguhkan informasi perihal partai dan kandidat mana saja yang kerap atau pernah berurusan dengan KPK.
Hingga meng-highlight kandidat mana saja yang memiliki gagasan substansial, berkualitas, dan konkrit, terutama di isu hak asasi manusia (HAM), perlindungan pekerja rumah tangga, lingkungan hidup, pemberantasan korupsi, reformasi hukum dan birokrasi, reforma agraria, kebebasan pers, masyarakat adat, layanan publik, keadilan iklim, keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan dan inklusifitas, serta demokrasi.
Keenam, merawat integrasi, meredam segregasi. Belajar dari pemilu sebelumnya, polarisasi (pembelahan) antar konstituen, khususnya karena mendukung kandidat presiden dan wakil presiden, berlangsung cukup masif. Situasi demikian menimbulkan rawan ketegangan sosial hingga konflik atau permusuhan khususnya di tingkat tapak. Lebih-lebih kondisi ini didukung oleh ketidakdewasaan para elit untuk meredam dan mengatasinya.
Pers dapat mendominasi ruang informasi untuk mendukung integrasi rakyat, sehingga rakyat dapat kembali berkonsentrasi mengawal jalannya kekuasaan. Sebab, siapapun yang terpilih atau berkuasa, berpotensi korup dan sewenang-wenang. Laiknya postulat populer yang digemakan Lord Acton ihwal kekuasaan sebagaimana disinggung di awal: “kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut cenderung korup secara mutlak.”
Namun pada akhirnya, tulisan ini merupakan sebuah tawaran dan harapan seorang warga negara terhadap peranan dan eksistensi pers, tanpa memiliki intensi untuk mengintervensi “kemerdekaan” ruang redaksi Hal ini semata-mata untuk mendorong pemilu 2024 lebih berintegritas, berkualitas, benar-benar demokratis. Sehingga pemilu yang kerap diagung-agungkan sebagai “pesta demokrasi” ini, bukan event pesta poranya para elit dan oligarki belaka, melainkan pesta demokrasi rakyat yang kafah.
Semoga saja.
Pengacara Publik & Direktur LBH Pers Padang