Pada debat calon presiden RI yang berlangsung pada Minggu, 7 Januari 2024, terjadi debat yang sengit antara Prabowo Subianto dan Anies Baswedan tentang isu moral dalam diksi etik. Kedua kandidat ini bersinggungpendapat pada tema moralitas. Prabowo Subianto dan Anies Baswedan dalam debat tersebut seperti sedang “berebut patut” tentang moral dalam diksi etik. Hal ini merupakan contoh bagaimana rasionalitas politik diletakkan pada pedoman moral dan etik dalam politik di Indonesia.
"Saudara bicara etik, etik, ya, kan. Saya tuh keberatan karena saya menilai maaf ya, karena Anda desak saya, saya terus terang aja, saya menilai Anda tidak pantas bicara soal etik," kata Prabowo kepada Anies. Prabowo menilai Anies menyesatkan. Prabowo mengatakan Anies memberi contoh yang tidak baik soal etik.
Lantas Anies pun menjawab, "Dalam pidato Bapak, mengolok-olok tentang etika, saya nggak tega untuk mengulanginya." Pidato yang dimaksud Anies tidak lain parodi Prabowo ketika berpidato dalam rapat koordinasi nasional atau Rakornas tertutup di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Jumat, 15 Desember 2023. Rapat tertutup yang kemudian “bocor” ke media sosial.
Kala itu Prabowo memparodikan pertanyaan Anies Baswedan yang diajukan kepada dirinya pada forum debat calon presiden, 12 Desember 2023. "Bagaimana perasaan Mas Prabowo soal etik? Etik, etik ndasmu, etik," kata Prabowo mengulangi pertanyaan Anies itu. Oleh Anies, rapat yang “bocor” itu menjadi sebuah topik yang ditanyakan pada forum debat resmi tanggal 7 Januari 2024.
Diksi moralitas etik dalam perdebatan kedua calon presiden itu tentu sesuatu yang amat penting dalam konteks budaya politik Indonesia. Selama ini, pola diskusi politik di Indonesia terlalu didominasi oleh ungkapan-ungkapan yang sangat persuasif dan berorientasi pada kekuasaan. Oleh karena itu, dalam politik di Indonesia saat ini, mendiskusikan dan mempedebatkan nilai moralitas menjadi semakin penting dan harus selalu dihadirkandalam proses pemilihan kepemimpinan. Selain untuk memberikan bahan pertimbangan bagi konstituen untuk menilai integritas dan komitmen moral calon presiden, juga untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat, bagaimana menjadikan isu moral dan etik sebagai sesuatu yang penting dalam berpolitik.
Soal Habitus
Dalam arena politik, pandangan moralitas seringkali menjadi isu yang kontroversial. Tidak hanya kontroversi dari segi definisi, kadang juga diperebutkan sebagai klaim kepatutan berbicara tentang moral. Namun, merujuk kepada gagasan Pierre Bourdieu (1930-2022), pandangan moralitas politik tidak dapat dipisahkan dari habitus atau cara hidup yang dibentuk oleh lingkungan sosial, budaya, dan kebiasaan individu.
Teori habitus yang dikenalkan oleh Bourdieu dalam kajiannya tentang praksis sosial itu, mungkin dapat membantu memahami bagaimana habitus mempengaruhi pandangan moralitas politik seseorang. Habitus dirumuskan sebagai kumpulan praktik-praktik sosial, nilai-nilai, dan keyakinan yang diterima dari lingkungan sosial. Dalam konteks politik, habitus dapat memengaruhi sikap dan pandangan seseorang terhadap pilihan politik, termasuk pilihan dalam pemilihan presiden. Individu yang memiliki habitus yang diyakini cocok dengan calon presiden tertentu akan cenderung memiliki pandangan yang sama dengan calon presiden tersebut. Begitu juga sebaliknya.
Namun, habitus yang diwariskan oleh lingkungan sosial dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan budaya, menyebabkan sifatnya sangat sulit untuk diubah. Oleh karena itu, seringkali sikap dan pandangan politik seseorang cenderung tetap konsisten dari masa ke masa. Ibarat kata peribahasa Melayu, "kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa, sudah tua terubah tidak."
Habitus Kata
Soal ungkapan “etik ndasmu” misalnya, Prabowo menyatakan, hal itu jangan dibesar-besarkan. Menurutnya, sebagai orang Banyumas dirinya biasa bicara seperti itu. Artinya, ungkapan “ndasmu” merupakan sebuah kelaziman dalam lanskap penutur bahasa Jawa Banyumasan. Istilah itu bisa bermakna guyonan, sindiran, dan sarkasme.
Tetapi dalan lanskap budaya tutur Jawa yang lebih luas, kata “endhas”” atau “ndas” termasuk dalam bahasa Jawa Krama Ngoko atau tingkatan yang paling kasar. Kata “endhas” biasanya dipakai sebagai umpatan, atau bisa juga ditujukan untuk hewan, misalnya “endhas” pitik (kepala ayam), “endhas” kebo (kepala kerbau), dan seterusnya. Artinya “ndasmu” dalam bidang kajian sosiolinguistik disebut dengan habitus kata.
"Habitus kata" dapat diartikan sebagai pola penggunaan kata atau frasa tertentu dalam bahasa yang menjadi bagian dari habitus atau cara hidup sekelompok masyarakat atau individu. Dalam konteks ini, habitus kata merupakan salah satu bentuk dari habitus sosial yang tercermin dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Setiap kelompok sosial atau individu memiliki kecenderungan penggunaan kata atau frasa tertentu yang didasarkan pada latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan mereka. Pola penggunaan kata atau frasa tertentu ini tercermin dalam cara bahasa seorang individu atau kelompok sosial digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam interaksi sosial atau media sosial.
Contoh dari habitus kata adalah penggunaan bahasa gaul dalam pergaulan sehari-hari, misalnya “elu” (kamu) atau "gue" (saya). Cara penggunaan kata gue sebagai wujud habitus kata tentu tidak bisa sembarang tempat dan sembarang tutur. Dalam kelompok sosial tertentu, misalnya kelompok sebaya atau kelompok dengan tingkat keintiman komunikasi yang rapat,tentu saja penggunaan elu-gue bisa berterima. Tetapi dalam ragam kelompok dengan keintiman, latar budaya dan latar usia, belum tentu dapat berterima.
Moral bertutur standar nasional
Uraian singkat di atas berkemungkinan dapat membantu menjelaskan konsep "moral bertutur" dan "habitus kata" sebagaimana termuat dalam judul tulisan ini. Bahwa, moral bertutur dalam konteks politik mengacu pada kesadaran politisi tentang etika dalam penggunaan bahasa dalam kegiatan berpolitik. Sedangkan habitus kata mengacu pada penggunaan kata atau frasa tertentu dalam bahasa politisi yang menjadi bagian dari habitus atau cara hidup sekelompok masyarakat atau individu.
Dalam kegiatan politik nasional, moral dan tuturan mestinya berakar dari kesadaran moral bertutur ala Indonesia. Lokalitas moral dalam batas lanskap budaya tertentu bukan tidak penting ditonjolkan. Hal itu cukup untuk menunjukkan identitas kultural saja dari keragaman budaya Indonesia. Tetapi yang jauh lebih penting adalah sandarisasi moral bertutur menurut kaidah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sudah membuat formulasi bagaimana format kalimat tutur yang dianggap sopan, santun dan bermoral. Kesadaran moral itu merupakan hal penting agar secara nasional seorang politisi memiliki wibawa dan terhormat di mata masyarakat nasional.
Habitus kata dan moralitas bertutur politisi nasional mestilah mencerminkan budaya politik dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Pola penggunaan kata atau frasa tertentu dalam kegiatan politik mesti dilakukan secara selektif dan hati-hati. Misalnya dalam pidato, wawancara, dan media sosial, mesti ada kesadaran bahwa istilah dan tuturan tertentu pasti akan ada kemungkinan viral.
Konsep moral bertutur dan habitus kata politisi nasional selain untuk menilai kualitas wibawa kepemimpinan mereka, tentu saja diharapkan berkontribusi dalam membentuk budaya politik dan pandangan moral masyarakat tentang politik. Intinya, perlu ada kesadaran bahwa penggunaan bahasa dalam politik memiliki makna dan dampak yang signifikan pada pandangan sosial politisi.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Imam Bonjol Padang