Banyaknya anak SD dan SMP tidak mementingkan Pendidikan mereka dan malah bersanding dengan hal-hal yang tidak mendidik. Mereka lebih memilih dan berlomba-lomba untuk melakukan pernikahan dini. Hal ini sangat disayangkan mengingat umur mereka yang masih sangat dini. Puluhan hingga ratusan dari mereka juga memilih untuk melakukan pernikahan itu dikarenakan mereka yang sudah putus sekolah. Alih-alih menghindari zina, melakukan pernikahan di bawah umur justru akan menimbulkan masalah bagi mereka. Jika hal ini terus terjadi, bagaimana nasib masa depan mereka?
Di Kabupaten Blitar, sedikitnya 108 anak dari jenjang pendidikan SD dan SMP memohon status pernikahannya diakui dengan mengajukan rekomendasi. Dengan memiliki legalitas pernikahan dini, mereka beranggapan dapat terhindar dari perbuatan zina.
Menurut data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Blitar, anak-anak tersebut berusia antara 12 hingga 16 tahun, dengan status putus sekolah dan berstatus pendidikan yang berbeda-beda.
Media sosial dan komunitas juga berperan dalam mempengaruhi pola pikir anak-anak. Dengan munculnya berbagai konten pacaran, pernikahan, bahkan tekanan dan hasutan dari media sosial, anak-anak dapat tergoda untuk mengikuti trend tersebut. Hal ini dapat memengaruhi pola pikir dan pandangan mereka terhadap pernikahan dini dan hubungannya dengan zina. Tentu-nya peran orang tua sangat diperlukan dalam mengarahkan anak-anak mereka dalam menggunakan gadget itu sendiri.
Jika keadaan ini terus berlanjut, maka bukan hanya masa depan anak-anak ini yang akan terancam, tetapi juga masa depan negara kita. Generasi muda adalah harapan bangsa dan negara kita, tapi kalau kehidupannya sudah tidak terarah dan mempunyai pola pikir yang salah, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi masa depan negara kita.
Salah satu risiko terbesar dari pernikahan dini adalah dampaknya pada kesehatan tubuh dan mental anak-anak yang seharusnya masih harus melanjutkan pendidikan dan mengejar mimpi mereka. Dalam pernikahan dini, anak-anak terpaksa mengorbankan masa depan dan kesejahteraan mereka untuk memenuhi keinginan atau tekanan dari keluarga atau lingkungan sekitar.
Selain itu, pernikahan dini juga membuka peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT serta kemungkinan tinggi munculnya perceraian. Padahal, pernikahan seharusnya dilakukan saat kedua pihak sudah siap dan memiliki kecakapan dalam menangani tantangan dalam kehidupan berumah tangga.
Dengan kondisi itu, sangat diperlukan pendidikan dan kesadaran terhadap akibat negatif dari pernikahan dini. Pemerintah, lembaga, dan masyarakat harus saling bahu membahu dalam meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat untuk mencegah pernikahan dini dan mempromosikan pernikahan yang sehat dan berkualitas.
*Penulis: Puan Mutiara Disa (Mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas)