Dalam tulisan yang terbit di Langgam pada tanggal 9 Desember 2023, sdr Nofel Nofiadri mengusulkan apa yang ia sebut sebagai “Tafsir Ulang Keminangkabauan”. Istilah ini, sejauh yang saya pahami, muncul akibat dua hal. Pertama, adalah fakta sosial sejak lama bahwa orang Minangkabau memiliki adat merantau. Rantau rang Minang tidak hanya berada di Indonesia tapi juga luar negeri.
Kedua, adanya dialog tentang apakah orang Minangkabau sejati itu. Haruskah berbahasa Minang dan punya pengalaman berMiangkabau?
Rantau-rantau luar negeri bahkan sudah sangat kuat nuansa Minangkabau-nya, terlihat dari keberhasilan rang rantau membuat organisasi perantau. Pada satu negara atau kota, jumlahnya tidak hanya satu bahkan bisa beberapa.
Kota Melbourne misalnya, di sana berdiri SAS (Sulit Air Sepakat) juga Minang Saiyo. Komunitas Minangkabau di Sydney berhasil membeli sebuah bangunan di kawasan Bankstown untuk dijadikan sebagai pusat berkumpul, diberi nama Surau Sydney.
Seiring perjalanan waktu, orang-orang Minangkabau di rantau melahirkan apa yang disebut dalam sosiologi sebagai “generasi kedua” dan “generasi ketiga”. Istilah ini merujuk pada keturunan Minangkabau (anak dan cucu) yang telah lahir di rantau lalu hidup di lingkungan rantau.
Bagi kita yang hidup di ranah, Nuansa Minangkabau dapat kita peroleh dari mana saja. Sementara bagi generasi kedua dan ketiga, keluarga di rumah adalah tempat dimana mereka memperoleh Nuansa itu.
Bisa jadi dari orang tua mereka yang berbicara bahasa Minang atau bercerita tentang kenangan hidup di Alam Minangkabau. Di luar itu bisa mereka dapatkan lewat organisasi Minangkabau.
Perkembangan teknologi memungkinkan mereka memperoleh Nuansa itu lewat internet. Namun demikian, Nuansa tidak dapat diperoleh sebagaimana kita yang hidup di ranah.
Hidup dalam situasi demikian, membuat generasi ke dua dan generasi ketiga tidak dapat berbahasa Minang secara lancar. Bahkan ada yang tidak mengerti sama sekali bahasa Minang.
Bersamaan dengan itu, mereka juga sudah menyerap cara berpikir dan bersikap ala rantau. Mereka yang lahir dan besar di Australia, membawa kurenah Australia pula dalam bersikap. Ketika penulis berinteraksi dengan generasi kedua dan ketiga, baik secara online maupun bertemu langsung, benar-benar terasa perbedaannya.
Kendatipun demikian, sebagian besar perantau ini mengaku sangat bangga sebagai orang Minangkabau. Dalam Virtual Ranah Rantau International Student Exchange Program (VR2ISEP) seri 2022 yang diadakan UM Sumbar bersama Surau Sydney dan Minang in America, Dirwan Ahmad Darwis mengeluarkan pernyataan yang cukup provokatif.
Kurang lebih begini: “Orang Minang sejati adalah mereka yang berbicara dengan bahasa Minang, sedangkan yang tidak pandai berbahasa Minang hanya keturunan Minangkabau, karena jati diri juga terletak pada bahasa”. Mendengar pernyataan begini, penulis yang menjadi project leader program dikirimi pesan WhatsApp dari beberapa generasi kedua asal Australia. Mereka protes dengan pernyataan itu: “masak kami dianggap bukan orang Minang?” Diskusi yang hangat pun langsung terjadi saat itu.
Terkait dengan ini, kita sedang berhadapan dengan dua hal. Pertama, gambaran “ideal” orang Minangkabau, dan selanjutnya adalah fakta sosial orang Minangkabau. Dirwan Ahmad Darwis lewat bukunya “Melayu di Tepi Jurang” menyampaikan bahwa bahasa Minangkabau adalah salah satu kunci utama jati diri orang Minangkabau. Mana mungkin jadi orang Minang, tapi tidak pandai berbahasa Minang. Menurutnya, nilai hidup sebagai orang Minangkabau terdapat dalam bahasa Minangkabau.
Secara teoritis, pernyataan ini memang benar adanya. Al-Quran, misalnya, bisa menjadi relevan dengan kondisi zaman hingga hari ini adalah karena ia turun dan dituliskan dalam Bahasa Arab Klasik. Jika terjadi perdebatan, maka kita tinggal rujuk makna kata Al-Quran dari referensi-referensi Arab klasik. Tidak terbayangkan jika Al-Quran itu dibuat dalam berbagai bahasa, dimana pemaknaan satu kata dalam berbagai bahasa belum tentu sama, termasuk dalam rasa kita terhadap kata tersebut.
Teori sociology modern, seperti teori Collective Memory yang dipopulerkan oleh Maurice Halbwachs juga selaras dengan usulan Dirwan Ahmad Darwis. Bahwa identitas sosial dibentuk oleh memori bersama (collective memory), dan bahasa adalah salah satu tempat utama dimana memori itu disimpan dan ditransfer dari satu generasi ke generasi. Bahasa hilang, identitas pun terancam. Idealnya: orang Minang berbahasa Minang.
Namun, fakta sosial terkini menunjukkan bahwa generasi kedua dan ketiga tetap merasa bagian dari orang Minangkabau, walau tidak pandai berbahasa Minang. Mereka tersinggung disebut tidak Minangkabau tulen.
Kebanggaan ini tentu saja juga merupakan pilar utama identitas/jati diri Minangkabau. Menyebut mereka bukan sebagai tulen Minangkabau hanya akan melahirkan Zainudin-Zainudin baru, yang berarti kerugian besar bagi semua pihak. Bagi individu-individu yang bersangkutan seperti “dipaksa” untuk tidak lagi bergantung di dahan Minangkabau, sementara kita kehilangan saudara jauh yang mana ide-ide mereka dapat membuat kita lebih maju.
Lalu sekarang bagaimana? Bagaimana menafsir ulang orang Minangkabau ini? Apakah akan diterima saja semua orang yang mengaku Minang sebagai orang Minang? Apakah tidak pandai berbahasa Minang bisa tetap menjadi orang Minang?
Saya mencoba memberikan usul awal, yang sebenarnya sudah dikampanyekan oleh beberapa orang seperti Hasril Chaniago. Bahwa selama seseorang merasa dirinya adalah orang Minang, maka dia adalah orang Minangkabau. Ini ada rujukannya pada praktik adat Minangkabau, yaitu lewat praktik adat Malakok. Tentu saja ada garis tegas yang tidak boleh ditawar-tawar dalam hal ini, yaitu menerima Islam sebagai agama, sesuai dengan prinsip ABS-SBK.
Tentang bahasa tentu tidak pula bisa dianggap remeh. Dari sini terbuka peluang untuk mengadakan kursus bahasa Minangkabau bagi generasi kedua dan ketiga.
Saya melihat, tujuan utama kursus ini bukan dalam rangka untuk membuat mereka bisa berbahasa Minang. Adalah hal yang sulit, untuk membuat seorang bisa berbicara dengan bahasa tertentu sementara tidak ada kondisi sosial yang “memaksa’ nya untuk berbicara dengan bahasa tersebut.
Sebagai contoh, di Minangkabau sangat banyak orang bisa membaca kitab gundul, tapi tidak bisa berbicara dengan Bahasa Arab. Hal tersebut terjadi karena memang tidak ada situasi yang mendorong mereka untuk berbahasa Arab secara aktif.
Beranjak dari hal ini, Bahasa Minangkabau dapat bertambah fungsi: dari bahasa lisan juga bahasa literature. Dalam tradisi Islam, fungsi ini sudah berjalan lewat Bahasa Arab Klasik.
Dengan demikian, tujuan utama bagi generasi kedua dan ketiga belajar bahasa Minang adalah untuk membantu mereka memahami pepatah petitih ungkapan dan filsafat adat Minangkabau yang terkandung dalam bahasa. Berbicara tidak lagi menjadi tujuan dasar. Secara praktis kita bisa menyampaikan maksud dan tujuan pakai bahasa apapun, tapi untuk memahami warisan kearifan lokal Minangkabau, hanya bisa lewat Bahasa Minang.
Untuk ini, kita bisa merumuskan secara bersama-sama bagaimana mengajarkan Bahasa Minang kepada generasi kedua dan ketiga. Idenya adalah mengajarkan bahasa Minangkabau sebagai bahasa literature.
Seiring dengan itu, perlu gerakan lebih serius untuk menulis semua khazanah Minangkabau dengan penjelasan selengkap-lengkapnya. Kamus Peribahasa Minangakabu seperti yang ditulis oleh Anas Nafis perlu ditambahkan penjelasan kontekstual yang lebih detil sehingga bisa dipahami secara lebih utuh.
Jadi, mari kita terbuka untuk menafsir baru Orang Minangkabau, dengan ABS-SBK sebagai acuan utama. Tentang bahasa ini, kita perlu diskusi bersama-sama.
Isral Naska: Dosen UM Sumbar/Direktur Pusat Studi Islam dan Minangkabau UM Sumbar