Malu benar kita. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jadi tersangka. Padahal, semestinya dia jadi "geledor" penegakan hukum anti-korupsi: menghalangi sekuat tenaga orang yang berniat melakukan korupsi dan menggiling siapa saja yang sudah terlanjur korupsi.
Kepada polisi kita tidak bisa berharap banyak. Kepada jaksa begitu pula. Serupa meminta tanduk ke kuda kita bila berharap kepada kedua institusi itu memberantas korupsi. Bukan karena tidak ada orang baik di sana. Orang baik ada, tapi budaya institusinya benar yang sudah bermasalah.
Sejak reformasi bergulir, harapan besar pemberantasan (paling tidak mengurangi) korupsi memang tertumpang kepada KPK. Makanya, dulu, lembaga ini dirancang serius, sebagai lembaga "super body". Skenario dibuat: tidak semua orang bisa masuk KPK, kecuali dia "manusia setengah dewa".
Pada awal-awal KPK berdiri, skenario itu berjalan cukup lancar. KPK kuat, ditakuti koruptor dan calon koruptor. Banyak yang kencing di celana mendengar nama KPK disebut. Begitu benar perumpamaannya.
Makin ke sini KPK makin buruk. Terutama para komisioner di era Firli Bahuri. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli mengundurkan diri karena terlibat dalam beberapa dugaan pelanggaran kode etik. Terakhir, yang paling menyesakkan dada itu kisah Firli jadi tersangka yang menghebohkan itu: disangka memeras tersangka korupsi yang kasusnya sedang ditangani KPK.
Sebelum-sebelumnya memang ada juga pimpinan KPK yang ditimpa masalah. Tapi, masalahnya tidak berhubungan langsung dengan tugas mereka selaku pimpinan KPK. Misal, Antasari Azhar yang diputus bersalah karena terlibat kasus pembunuhan. Atau, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dikriminalisasi dalam kasus yang tidak jelas.
Dari rekam jejaknya, Firli memang Ketua KPK yang penuh kontroversi. Sebelum dia jadi Ketua, banyak cerita-cerita miring atas dirinya.
Berikut catatannya yang saya himpun dari beberapa sumber: Pegawai KPK pernah melayangkan petisi yang berisi tentang informasi hambatan kerja di Deputi Penindakan yang dipimpin Firli; Beliau pernah dilaporkan bertemu dengan Tuan Guru Bajang yang saat itu sedang berurusan dengan KPK; Firli dilaporkan menjemput seorang saksi yang akan diperiksa di gedung KPK; dan Firli juga pernah dilaporkan bertemu dengan petinggi partai politik. Kesemuanya itu terjadi tahun 2018.
Dalam proses pencalonan Firli sebagai pimpinan KPK, cerita-cerita miring itu dilaporkan kepada Presiden, baik melalui pansel maupun kepada Presiden langsung. Dilaporkan oleh kelompok-kelompok masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Malangnya, Presiden serupa bertelinga kuali saja. Laporan-laporan itu tidak didengar dan diresponsnya sebagaimana mestinya. Serupa anjing menggonggong, kalifah berlalu saja.
Padahal dengan bekal segenap laporan itu, Presiden amat tepat menggunakan alasan prinsip untuk mencoret nama Firli: KPK hanya boleh diisi oleh "manusia setengah dewa". Sebab itu, figur-figur yang diduga sumbing moral dan integritasnya, serupa Firli yang dilaporkan masyarakat, tidak boleh masuk KPK.
Karena Presiden mengeluarkan nama Firli dari sakunya, Firli akhirnya maju ke gelanggang uji kelayakan dan kepatutan di depan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Firli lolos dari adangan proses politik di Senayan. Jabatan ketua KPK langsung disandangnya. Selanjutnya, masyarakat terus disuguhi tontonan-tontonan drama yang tidak pantas di KPK. Sangkaan pemerasan Syahrul Yasin Limpo oleh Firli adalah salah satunya.
Yang salah siapa? Presiden Jokowi. Sesingkat itulah jawabannya, dari sisi hukum. Alasannya begini: Presiden tidak menggunakan kewenangan besar dan absolut dalam memilih dan/atau menentukan siapa yang akan jadi komisioner atau pimpinan KPK.
Kewenangan besar dan absolut itu diatur di dalam UU No. 30 Tahun 2002 yang terakhir kali diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. UU membagi tahapan pemilihan pimpinan KPK dalam 5 tahap.
Tahap 1, Presiden membentuk panitia seleksi (pansel); tahap 2, pansel melakukan seleksi; tahap 3, pansel menyerahkan hasil seleksi kepada Presiden; tahap 4, Presiden menyerahkan nama-nama calon yang diyakininya layak kepada DPR; dan terakhir (tahap 5), Presiden menetapkan dan melantik pimpinan KPK yang sudah dipilih oleh DPR.
Dari 5 tahapan itu, 3 tahap krusial bertumpuk di tangan Presiden. Yang paling krusial adalah tahap ke 4: Presiden menyerahkan nama-nama calon kepada DPR. Dalam soal Firli, Presiden seharusnya mencoret atau tidak mengirimkan nama Firli kepada DPR. Perbuatan tidak mencoret nama Firli itulah kesalahan besar Presiden Jokowi.
Sekarang tak dapat akal kita lagi: Firli sudah jadi tersangka dan beliau sudah diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Ketua KPK. Meratapi kotoran hanyut tak ada gunanya. Kita pandang sajalah lagi masa di depan. Sebentar lagi Presiden baru akan dipilih. Masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang juga akan berakhir tidak lama lagi.
Jika kita serius ingin melihat KPK kuat lagi, mari pilih Presiden yang kira-kira mau mendengar dan merespons masukan-masukan detail dari masyarakat tentang calon pimpinan KPK kelak.
Miko Kamal: Advokat dan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatra Barat