Langgam.id - Silvia atau yang dikenal dengan nama Silvia Piobang merupakan perempuan berusia 43 tahun asal Sumatera Barat (Sumbar). Dalam 23 tahun terakhir, ia hidup bergantung pada kursi roda setelah mengalami kecelakaan tunggal.
Saat ini, Silvia tinggal bersama ibunya di rumah kontrakan di Ulak Karang Utara, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Sumatera Barat. Ketika bencana datang, hambatan menyelamatkan diri sering kali menjadi tantangan bagi Silvia.
Meskipun rumah di tempat tinggalnya berada di kompleks, dengan tetangga kiri kanan, namun ketika terjadi bencana orang-orang sekitarnya sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Hal ini dirasakan oleh Silvia, terutama pada saat banjir melanda.
Persoalan semakin komplek, karena rumah yang ditempatinya adalah rumah tua yang posisinya lebih rendah dari pada rumah-rumah warga yang lainnya. Sehingga rumahnya selalu terendam banjir lebih dalam dibanding rumah lain di kawasan itu.
Ketika terjadi banjir, rasa panik sering menghampiri dirinya untuk meminta pertolongan.
"Satu tahun ini ada 3 kali banjir, yang terakhir itu Juli 2023," tuturnya ditemui langgam.id, Jumat, (24/11/2023).
Kala curah hujan tinggi, Silvia bersama Ibunya sudah mulai mempersiapkan diri seperti memindahkan barang-barang ke tempat yang lebih tingggi.
"Barang yang bisa saya angkat saya pindahkan. Dan lainnya dipindahkan Amak (Amak-panggilan Sivia kepada Ibunya)," lanjut Silvia yang juga salah satu atlet tolak peluru pada lomba Peparnas XVI Papua tahun 2021.
Sivia bercerita, rumah warga di tempat tinggalnya banyak, hanya saja tetangga yang bisa diandalkan itu tetangganya yang di depan dan samping. Sebab, ketika banjir datang, tetangganya yang lain juga sibuk menyemalatkan diri mereka masing-masing.
Ia mengatakan, seharusnya Badan Penangaulan Bencana Daerah (BPBD) juga memprioritaskan masyarakat disabilitas ketika terjadi bencana.
"Setidaknya pemerintah ada mendata kita yang disabilitas atau lansia yang tinggal di suatu kelurahan dan ketika terjadi bencana kami yang disabilitas juga merasa terbantu," tuturnya yang kini tengah menggeluti usaha rajutan dengan nama brand Silvia Piobang.
Ia melanjutkan, ketika banjir sudah tinggi masuk ke rumah, dirinya harus digendong untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Hal itu, ia butuh bantuan karena tidak bisa dilakukan oleh Ibunya sendiri.
"Ketika banjir saya harus digendong karena lantainya lebih rendah dari pada jalan. Kursi roda tidak bisa didorong, banjir yang Juli 2023 kemarin saya panik," ujarnya.
Silvia mengatakan, sejauh ini mitigasi bencana dari pemerintah terutama BPBD yang fokus terhadap disabilitas tidak ada. Yang ada hanya perwakilan dari organisasi-organisasi disabilitas yang dilibatkan dalam kegiatan mitigasi bencana tersebut.
"Paling tidak dalam setiap acara ada 3 perwakilan. Akan tetapi yang khusus untuk disabilitas sejauh ini belum saya temukan," terangnya.
Mitigasi Kebencanaan di Sumbar Belum Ramah Disabilitas
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Perkumpulan Penyandang Disabilitas (PPDI) Sumbar Ebnovrio Hanesty mengatakan, sejauh ini penyandang disabilitas belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, melainkan hanya menginklusifkan diri dengan melibatkan beberapa perwakilan dari organisasi teman-teman disabilitas untuk mengikuti pelatihan kebencanaan.
“Pelatihan khusus disabilitas untuk kecakapan dalam menghadapi bencana sejuah ini belum ada, hanya mengundang beberapa perwakilan saja,” ujarnya, Sabtu (24/11/2023).
Ia melanjutkan, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan teman-teman disabilitas untuk mendapatkan pelatihan.
“Keberpihakan pemerintah terhadap teman-teman disabilitas masih kurang, mitigasi kebencanaan di Sumatera Barat sejauh ini belum bisa dikatakan ramah terhadap disabilitas,” tuturnya.
Ia mengatakan, berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) disabilitas yang berumur 17 tahun ke atas ada 32 ribu orang. Untuk dan secara keseluruhan usia berdasarkan data 2022 dari Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) ada disabilitas di Sumbar 84 ribu.
“Ke depannya kami berharap pemerintah punya kepedulian dan nurani untuk kawan-kawan disabilitas dan dapat terfasilitas sehingga bisa cakap dalam menhgadapi bencana, mencegah jumlah disabilitas bertambah serta mencegah terjadinya disabilitas ganda akibat bencana,” sebutnya.
Ia mengatakan, tidak hanya minimnya mitigasi terhadap disabilitas, namun juga kesadaran masyarakat yang masih kurang. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya jalur evakuasi untuk disabilitas yang digunakan masyarakat untuk berjualan.
“Pemahaman masyarakat juga harus ditingkatkan, jangan sampai ketika terjadi masalah saling menyalahkan. Ketika dibuat tidak dipergunakan sebagaimana peruntukannya,” sebutnya.
BPBD Sumbar: Tahap Awal Penyelamatan Tangung Jawab Keluarga
Kepala Pelaksana BPBD Sumbar Rudy Rinaldy mengatakan hampir semua daerah kabupatan dan kota rawan banjir di Sumatera Barat. Ketika bencana, BPBD datang untuk semua orang termasuk disabilitas,
"Daerah rawan banjir hampir semuanya. Ketika bencana ada, BPBD datang untuk semua orang termasuk untuk orang disabilitas," lanjutnya.
"Semua sama, kita bantu. Tetapi pada saat mereka (disabilitas) terkena bencana di tahap awal maka orang terdekatnya yang terlebih dahulu harus membantu atau keluarga mereka," ujarnya menambahkan, Sabtu, (24/11/2023).
Ia mengatakan, mereka bertempat tinggal diberbagai daerah, bukan mengumpul di suatu tempat. Ketika bencana terjadi pada saat mereka kerja, maka orang di tempat kerjalah yang harus membantu mereka. Dan ketika di rumah maka keluarganya yang betanggung jawab membantu mereka pada tahap awal bencana.
"Itu Standar Operasional Prosedur (SOP) dari pemerintah yang harus dipatuhi oleh semua kalangan ketika disabilitas terkena bencana ditahap awal," kata Rudy.
Ia mengatakan, disabilitas di Sumatera Barat pada umumnya memiliki komunitas sendiri-sendiri tegantung dari jenis disabilitasnya. Ketika ada yang bisa berjalan tetapi tidak bisa mendengar maka dia akan dipandu orang berlarian, dan itu adalah sebuah peringatan bagi mereka bahwa sedang terjadi peringatan bencana.
Kemudian, jika yang tidak bisa melihat akan dipandu oleh saudara terkedekatnya serta dipandu oleh bunyi sirene dari BPBD yang saat ini diupayakan rampung 2024. Rudy melanjutkan, pihaknya telah mewacanakan untuk menjadikan lampu rotary warna merah yang sudah disepakati bersama dengan komunitas disabilitas, untuk membantu disabilitas yang tidak bisa mendengar tetapi bisa melihat.
Jika nanti misalnya gempa bumi berpotensi stunami, maka lampu merah itu akan menyala dan menjadi early warning sistem bagi mereka untuk segera evaluasi diri.
"Hal ini belum terlaksana, baru rancangan kita yang nantinya akan kita coba di 2024 jika Insyaallah tidak ada halangan. Mudah-mudahan rampung," tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Sumatera Barat Hidayatul Irwan mengatakan, mitigasi yang dilakukan terhadap penyandang disabilitas dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan kebencanaan.
"Kita ikutkan mereka sebagai pelatih, peserta maupun fasilitator. Pelatihan itu dilaksanakan oleh BPBD. Kita memberdayakan kaum difabel untuk setara dengan orang yang tidak difabel," tuturnya, Sabtu, (28/11/2023).
Ia melanjutkan, difabel adalah orang-orang yang perlu diperioritas dan memfasilitasi terhadap apa yang mereka inginkan dan Sepetember 2022 sudah dilaunching bersama BPBD early warning system gempa dan tsunami khusus untuk masyarakat yang memiliki keterbatasan tidak bisa mendengar dengan mengunakan cahaya lampu.
"Untuk pemilihan model lampu dan pencahayaanya kita rapat dengan kawan-kawan difabel. Semoga dengan adanya donatur alat ini bisa kita kembangkan," tuturnya.
Undang-undang Mengatur Hak Disabilitas dalam Kebencanaan
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani mengatakan, hak-hak disabilitas terhadap kebencanaan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016. Dalam UU tersebut dijelaskan pada bagaian Ketigabelas Perlindungan tentang Perlindungan dari Bencana yang tertuang dalam pasal 109 ayat 1,2 da 3.
Ia melanjutkan, kemudian dalam pasal 143 juga memuat setiap orang dilarang menghalang-halangi pemenuhan hak disabilitas terkait perlindungan dari bencana.
“Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 juga mengatur tentang pidana bagi orang yang menghalangi serta melarang untuk mendapatkan hak-hak mereka. Dendanya bisa 200 juta atau penjara paling lama 2 tahun,” tuturnya, Minggu, (26/11/2023).
“Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),” begitu bunyi pasa 145 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 itu.
Namun menurut Indira, yang sering dilihat saat ini dalam pencegahan dan penangulan bencana kawan-kawan disabilitas tidak diberikan akses disabilitasnya yang sesuai dengan kunikan dan keistimewaan yang mereka miliki.
“Dalam prsoes itu mereka sering kali tertinggal sehingga menjadi korban ketidakadilan,” tukasnya.
Misalnya dalam proses pemberitahuan bencana lewat tulisan, bagaimana dengan disabilitas netra yang membutuhkan suara untuk menjamin akses disabilitasnya dalam pencegahan dan penanggulangan bencana tersebut?
“Dalam hal ini pemerintah seharusnya mengunakan berbagai metode untuk pencegahan, pemberitahuan serta penanggulangan bencana terhadap kelompok disabilitas. Kawan-kawan disabilitas adalah orang yang rentan terhadap bencana, namun sering kali hal itu belum berjalan dengan serius terutama dalam mengimplementasikan hak- hak disabilitas terkait kebencanaan itu,” tuturnya.
Ia mengatakan, pada kondisi tertentu kawan-kawan disabilitas seharusnya lebih diprioritaskan oleh negara, karena mereka butuh perlindungan lebih dari pada orang yang nondisabilitas dalam proses evakuasi, begitu juga dengan anak-anak dan lansia.
“Mengikutsertakan kawan-kawan disabilitas dalam proses kebencanaan memang sudah ada dibangun oleh pemerintah, tetapi pelatihan khusus untuk disabilitas saja sesuai dengan pengelompokkan disabilitasnya saya lihat itu belum ada,” pungkasnya.
Editor: Yose Hendra