Langgam.id - Darmini, 69, segera melucuti pakaiannya yang bersimbah luluk, dan menggantinya dengan pakaian agak bersih. Padahal, hari Kamis (9/11/2023) itu, jarum jam masih menusuk pada angka 10 pagi. Hujan yang datang tiba-tiba menganggu agenda menanam benih di sawahnya. Ia pun kemudian beralih mengurus tanaman sayuran di pekarangan rumah.
Hari itu, cuaca dengan sekelebat berubah-ubah. Paginya begitu terik, tapi tiba-tiba hujan mengguyur. Lantas Darmini mengurus tanaman penyokong pangan ala hidroponik di pekarangan rumahnya. Itu ia lakoni hingga jelang waktu Zuhur.
Darmini tinggal di kaki pegunungan Bukit Barisan persisnya di Nagari Sungai Gayo Lumpo, Kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ia telah Bertani sejak tahun 1975. Anomali cuaca tak menentu telah menggelayuti kampungnya sekitar 15 tahun belakangan.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ia dan juga semua petani di Nagari Sungai Gayo Lumpo. Sebagian petani kerap mengalami gagal panen imbas perubahan cuaca tak menentu ini.
Hari Kamis itu, Langgam.id melihat fakta alam menyajikan apa yang mereka rasakan selama belasan tahun terakhir. Selepas Zuhur, hujan ringan tiba-tiba muncul. Berlangsung hingga sore. Lalu, rona langit kembali cerah. Waktu sempit yang tersisa hingga jelang Magrib, kembali dimanfaatkan Darmini untuk membenih.
“Kamis ini sudah 2 kali hujan. Pagi tadi hujan, zuhur berhenti, dan dari ashar sampai sekarang hujan. Kami terganggu kondisi seperti ini bila turun ke sawah. Kami petani harus hati-hati saat turun ke sawah,” beber Darmini.
Dalam ingatan Darmini, dulunya transisi cuaca sangat pasti. Misal, musim hujan akan dimulai bulan Agustus. Dan berlangsung hingga bulan Desember. Selebihnya musim kemarau. Sehingga hal demikian mempedomani ritme bersawah.
Namun 15 tahun terakhir, katanya, cuaca tak menentu. Hujan sering berlangsung pada November-Desember, dan berlanjut pada Januari-Februari. Namun ini juga kadang tak pasti.
Iklim yang berubah-ubah tak keruan beberapa dasawarsa terakhir, dikuatkan oleh JFT Madya Stasiun Klimatologi BMKG Sumatera Barat Rizky Armei Saputra. Ia mengungkapkan kondisi terkini, dimana awal November seyogianya kawasan Sumatra Barat, termasuk Nagari Sungai Gayo Lumpo dan nagari-nagari sekitarnya sudah memasuki musim hujan sejak bulan Oktober. Namun, kenyataannya tak semua daerah yang mendapat siraman hujan.
Dikatakan Rizky, dari pertengahan Oktober 2023 dan awal November 2023, daerah yang belum memasuki musim hujan sampai saat ini adalah Sungai Dareh, Sitiung dan Koto Baru Kabupaten Dharmasraya.
“Selama lima bulan terakhir mengalami musim kemarau. Memasuki bulan November biasanya puncak hujan di Sumatra Barat ditandai dengan banyaknya terjadi hujan ekstrem. Namun sampai saat ini hujan ekstrem belum terjadi. Padahal selama lima tahun terakhir terjadi peningkatan hujan ekstrem," bilang Rizky, Kamis (23/11/2023).
Menurutnya, sejak Oktober 2023 kejadiaan hujan ekstrem tidak ada. Hal ini lebih disebabkan efek elnino dan IOD positiv bersamaan serta anomali angin musim timur yang masih mendominasi sehingga berkurangnya suplai uap air.
“Hujan lebat akhir-akhir ini disebabkan gangguan jangka pendek yang bersifat lebih singkat,” ujarnya.
Peristiwa ENSO (Elnino Southern Oscilation) dikenal Elnino yaitu pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu perairan di bagian tengah dan timur Samudera Pasifik wilayah tropis.
Dikatakan Rizky, el nino kembali terdeteksi pada pertengahan Maret 2023 diawali dengan indeks lemah menuju moderat. Sisi lain, peristiwa Elnino mengakibatkan berkurangnya pertumbuhan awan hujan di Indonesia.
“Fenomena ini akibat interaksi lautan dan atomosfer/udara yang mempengaruhi cuaca dan iklim dunia secara global dan juga regional. Peristiwa ditandai anomali suhu muka laut positif,” jelasnya.
Elnino dibagi menjadi tiga kategori : lemah dengan nilai kecil dari + 0,5 - 1 , moderat +1 - 2 dan kuat nilai diatas + 2. BMKG menyebutkan fenomena elnino tidak sama di setiap kejadiaannya.
“Elnino memiliki dampak yang bervariasi disetiap daerah dan waktu serta puncak elnino belum tentu bersamaan dengan dampak kejadiannya,” beber Rizky.
Peta yang dilengkapi grafik di atas, menunjukkan indeks Elnino per November 2023 dengan nilai + 1.6 kategori moderat, indeks Dipole Mode + 1.59 kategori kuat. Saat ini fase elnino kategori moderat dengan nilai 1.6 dan diprediksi bertahan dalam fase moderat sampai periode Desember 2023 dan kembali melemah diawal tahun 2024.
Sumatra Barat sendiri ada faktor penting lainnya dalam skala global yang mempengaruhi curah hujan yaitu IOD (Indian Ocean Dipolemode) dan gangguan jangka pendek (intraseasonal).
Rizky mengungkapkan, IOD fasenya berubah-ubah sesuai dengan suhu anomali permukaan laut di Samudera Hindia bagian barat dan timur. Fase IOD positif sering ditandai berkurangnya curah hujan dari normalnya. Sebaliknya IOD negatif dapat meningkatkan curah hujan.
“Sumatra Barat lebih lebih dominan dipengaruhi dari kondisi IOD disebabkan jarak yang lebih dekat. Saat ini kejadian Elnino dan IOD positiv secara bersamaan yang mempengaruhi curah hujan menjadi menurun dari rata-rata klimatologisnya,” katanya.
Perubahan Iklim Merusak Jaringan Irigasi dan Menggagalkan Panen
Perubahan iklim yang menggelayuti Nagari Sungai Gayo Lumpo bukan saja membingungkan petani dalam mengelola sawah, tapi juga merusak sel-sel pertanian. Alhasil, berimbas pada produksi padi.
Darmini mengajak Langgam.id menyambangi sisi timur Nagari Sungai Gayo Lumpo yang menjadi hulu pengairan. Di sejumlah titik sepanjang bandar ada beberapa longsor yang mengancam putusnya tali bandar. Saat bersamaan juga terlihat, bandar mengering, karena kurangnya pasokan air dari Sungai Lubuak Kasai Indah.
Menurut Darmini, faktor longsor yang sebagian merusak jaringan bandar akibat penebangan kayu secara masif di kawasan hutan, yang notabene daerah resapan air. Penebangan kayu utamanya terjadi pasca tahun 2009, dimana penyintas gempa 2009 diperbolehkan mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah kembali.
Sisa kayu yang bertumbangan hanyut terbawa deras air saat hujan lebat. Kayu-kayu tertambat pada batu besar. Dan ini turut menghambat laju air hingga memicu banjir bandang.
“Saya sudah bertani sejak 1975. Namun 15 tahun terakhir, bandar ini tak bisa dipakai karena terban. Hal ini akibat penebangan hutan di atas. Maka terjadilah banjir dan longsor,” kata Darmini.
Iklim yang berubah-ubah, membuat petani kerap mengalami kegagalan panen. Sebagian mendapati hasil panen berkurang. Semua dipicu oleh seretnya air dan serangan hama.
Kebanyakan petani di Sungai Gayo Lumpo menanam padi varietas ampek duo, madang pulau, sikuriak, bujang marantau. Namun, tiga kali musim tanam terakhir, kata Darmini, banyak petani tidak mendapatkan hasil dari bersawah, karena serangan tikus.
"Keadaan sekarang, baru satu bulan siap tanam, sudah dilibas, dimakan tikus," ujarnya.
Darmini mengatakan, selama ini ia bisa panen 25 karung padi dalam seperempat hektare. Tapi sekarang, kadang dapat tak menentu, kadang 15 karung, kadang 10 karung, bahkan ada 7 karung.
“3 tahun belakangan gagal panen semua, hamparan sawah di sini. Kelompok sawah di sana (sisi timur Nagari Sungai Gayo Lumpo), sudah 8 tahun gagal panen,” terang Darmini.
Sungai Gayo Lumpo dengan penduduk 927 jiwa, 65 persen di antaranya hidup sebagai petani. Mereka menggarap sawah dengan luas total 530 ha. Di samping itu, mengolah perkebunan yang berisi karet, kakao, durian, dan lainnya.
Wali Nagari Sungai Gayo Lumpo Nofrinol Edi mengatakan, sebagian sawah di Sungai Gayo Lumpo berupa tadah hujan. Sehingga sangat bergantung dengan curah hujan. Sejauh ini tata kelola sawah disokong oleh infrastruktur berupa jaringan irigasi. Terdapat 1 poros irigasi utama dan tersier di 16 titik. Pasokan dari berasal dari Sungai Lubuak Kasai Indah.
Seyogianya, aliran air ke sawah lancar dengan kondisi demikian. Namun, fenomena perubahan iklim menyasar ekosistem di kampung yang terletak di kaki bukit ini.
Menurut Nofrinol, selama 3 bulan terakhir terjadi kekeringan. Imbasnya petani yang menanam padi, pun mengalami kegagalan panen. Belajar dari kondisi itu, sebagian petani mengubah sawah menjadi ladang dengan menanam cabai dan timun.
“Secara kata orang tua, perubahan iklim tak bisa di awak (tak kuasa untuk menghentikannya. Setiap tahun pasti terjadi. Paling terlihat, sawah mengering karena tak cukup air yang tersedia,” ungkap Nofrinol.
Kekeringan kemudian juga diserta serangan masif hama tikus semakin memukul petani di Sungai Gayo Lumpo. Sehingga Nofrino kemudian meminta masyarakat untuk gotong royong bersama untuak berburu tikus tiap hari Selasa.
Sementara itu, sumber mata air utama pertanian di Sungai Gayo Lumpo adalah Lubuk Kasai Indah yang berasal dari cucuran mata air di rangkaian pegunungan Bukit Barisan. Sebenarnya, kampung itu pun dilewati Sungai Batang Lumpo yang relatif beraliran besar dan sedikit lancar.
Secara topografi, Sungai Batang Lumpo letaknya di bawah dari areal persawahan. Harus dipompa untuk bisa memantikkan air ke sawah. Dan itu butuh biaya tinggi. Sehingga keberadaan Sungai Batang Lumpo ini tak banyak memberi manfaaat untuk pengairan sawah.
“Ada satu irigasi Sungai Batang Lumpo dari Nagari Limau Gadang Lumpo. Jaringan ada sampai ke Sungai Gayo Lumpo. Namun di Taratak Lumpo sama Nagari Balai Sinayan Lumpu, jaringan irigasi Lumpo ini sudah setahun longsor,” jelas Nofrinol.
Pihaknya merasakan, perubahan iklim yang paling berdampak terlihat pada bulan April sampai Juli. Temporal itu, Nagari Sungai Gayo Lumpo kerap dihantam bencana seperti banjir dan longsor. Sementara di sektor pertanian dampaknya adalah kegagalan panen yang dialami petani.
Nofrinol mengatakan, tahun 2020 terjadi gagal panen hebat. Saat itu, program dinas pertanian memberi asuransi kepada petani sebenarnya berlaku. Namun, kerugian gagal panen yang ditaksir miliaran rupiah, pihak dinas pertanian pun tak bisa membayarkan asuransi.
“Kerugian gagal panen miliaran rupiah. Pernah masuk asuransi petani—program dinas pertanian, dimana padi diasuransikan. Rp.36 ribu per ha. Pas gagal panen tahun 2020, tidak terbayar oleh asuransi. Kegagalan panen hampir merata,” terang Nofrinol.
“Gagal panen akibat serangan hama tikus dan wereng, yang dipicu kekurangan air,” ujar Wakil Ketua Kelompok Tani Bukit BAEA Indah Dalwardi.
Pengaruh perubahan iklim paling dirasakan oleh kelompok rentan, terutama bisa dilihat di Kecamatan IV Jurai khususnya Nagari Nagari Sungai Gayo. Nagari sungai Gayo memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Menilik data BMKG sepanjang tahun 2013-2020, curah hujan di wilayah Kecamatan IV jurai hampir 3000 mm per tahun. Rata-rata hujan ini mempedomani Kecamatan Bayang, yang bertetangga dengan IV Jurai. Sebab alat pengukur hujan BMKG hanya terpasang di sana. Sementara suhu udara rata-rata di Nagari Sungai Gayo Lumpo berkisar 28 – 33 oC.
Kondisi iklim dan musim mempengaruhi aktivitas penghidupan masyarakat Sungai Gayo Lumpo. Dampak perubahan iklim di dua nagari di atas sangat dirasakan oleh kelompok rentan atau akar rumput, seperti kaum perempuan.
Menguatkan Petani untuk Adaptif dengan Perubahan Iklim
Berdasarkan data yang dihimpun dari kajian dan analisis LSM Lembaga Pengkajian & Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) yang melakukan pendampingan selama beberapa tahun terakhir, ada sejumlah benang merah dampak perubahan iklim dan dampaknya terhadap perempuan. Antara lain, kegagalan panen, kemiskinan, bencana, stunting, kesulitan air, pernikahan muda, anak berhenti sekolah, dan KDRT.
Sejak bulan November 2021, dan efektif berjalan di tahun 2022, LP2M mendorong petani di Sungai Gayo Lumpo untuk adaptif perubahan iklim melalui program VICRA (Voice for Inclisiveness Climate Resilience Actions).
"Vicra intinya bagaimana suara kelompok rentan dengan dampak perubahan iklim di dengar semua pihak, terutama pada pengambil kebijakan. Perubahan iklim banyak, tapi ini khusus pertanian," kata Koordinator Program Vicra Tanty Herida.
Salah satu dampak perubahan iklim adalah rentannya ketahanan pangan. Sektor pangan bisa berimbas pada banyak sektor, misalnya kesehatan. Menurut Tanty, kehadiran perubahan iklim memunculkan penyakit yang dulunya tak ada, tapi sekarang ada seperti covid, diare karena kekeringan.
Sementara sektor pertanian jelas, bagaimana dampaknya berupa kegagalan panen makin tinggi. Nah, sementara, kata Tanty, petani belum punya 'ilmu' untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Secara tradisional, para petani punya kalender baku dalam pola pertanian sawah. Misal bertanam padi dimulai setelah lebaran atau hari raya. Kalender tanam ini mengesampingkan gejala alam. Sebab, musim cenderung stabil dari tahun ke tahun.
Namun dalam paparan perubahan iklim saat ini, pola bersawah tak bisa terpaku lagi pada kalender tanam. Musabab, sehabis lebaran tak selalu musim hujan. Terkadang kemarau panjang. Atau dalam kemarau ada hujan.
Sehingga penyakit tanaman saat ini pun bervariasi seperti hama tikus dan wereng. Dulu penyakit itu juga ada, tapi sedikit. Sedangkan kini satu hamparan sawah habis," bilang Tanty.
Apalagi sawah di Sungai Gayo Lumpo kebanyakan tadah hujan. Prinsip sawah seperti ini amat bergantung dengan hujan. Selain itu, aliran Sungai Batang Lumpo yang mengalir di tengah kampung, kerap meluap bila terjadi hujan lebat.
"Identifikasi yang dilakukan LP2M, panen pertanian padi sawah di Sungai Gayo Lumpo berkurang karena banyak gagal panen, bertani dulu 3 kali dalam setahun, sekarang 2 kali, sering banjir, irigasi rusak (DI 1 dan DI 2), irigasi cacing juga. Sekarang sudah diperbaiki hasil hasil riset, dan menjadi acuan oleh Pemda," katanya.
Program VICRA menyasar semua unsur yakni kelompok tani, orang muda, perempuan, dan lansia, dengan jumlah lebih kurang 20 orang. Ada kekhawatiran saat ini, dimana mayoritas petani di Sungai Gayo Lumpo adalah perempuan dan lansia. Artinya, kader petani kurang berjalan. "Kita khawatir 10 tahun ke depan, tak ada lagi petani. 20 perempuan dan lansia yang aktif bertani, itu yang kita kuatkan.," ujar Tanty.
Menurutnya, perempuan paling terdampak perubahan iklim karena yang bertanggung jawab pemenuhan pangan di keluarga adalah perempuan. Sehingga program VICRA mertujuan menguatkan perempuan. Mereka didorong dan dikuatkan untuk bertani kembali ke alam seperti mengurangi pupuk buatan.
"Tapi belum bisa menzerokan karena masih butuh waktu panjang. Jadi sekarang 50:50," katanya.
Meski demikian, sebut Tanty, petani yang terlibat dalam VICRA sudah merasakan manfaatnya. Setidaknya, pengeluaran untuk beli pupuk, sekarang tak ada lagi. Sehingga di sini mereka hemat, dan bisa mengalokasikan uang tersebut untuk hal lain.
Program VICRA punya prinsip keberlanjutan. Mereka yang ikut serta dalam program ini, dilatih bertani ramah lingkungan melalui metode sekolah lapangan. Selanjutnya, champion_ istilah mereka bagi mereka yang dinilai antusias, menonjol dan aktif, diharapkan menyampaikan ke yang lain.
Dalam sekolah lapangan, juga dijalin kerjasama dengan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG). Perwakilan BMKG memberi materi bagaimana menghitung hujan, membuat alat panen hujan.
Dengan begitu, petani diharapkan bertani berbasis iklim, tak menerka lagi soal waktu pas bertanam.
"Artinya mereka (petani) sudah menghitung hasil yang didapatkan. Mereka sudah tahu dari hitungan kapan bertanam, kapan mengolah tanah, berdasarkan ilmu iklim. Misal sudah tahu besok musim hujan dengan mengacu BMKG, atau mereka juga bisa menghitung tanpa melihat rilis BMKG," ungkap Tanty.
Darmini turut menjadi peserta sekolah lapangan yang difasilitasi LP2M. Suatu sore, Darmini menerapkan pembelajaran soal iklim. Ia pergi ke arah hulu air di perbukitan. Setiba di Lubuk Kasai Indah, pintu pengaturan air irigasi, ia mengluarkan alat pengukur suhu dan alat pengukur pH.
Melalui alat suhu, Darmini mencoba melihat suhu air yang menjadi sumber irigasi. Sementara alat pH , ia ingin melihat tingkat keasaman air.
Singkat cerita, kata Darmini, para petani di Sungai Gayo Lumpo kini bersepakat serentak turun ke sawah. Mereka sama-sama menyemai benih, menanam, supaya hama seperti tikus menyerang tidak seperti dulu. Hal ini termasuk pengaturan pengairan. Kalau hujan, kepala bandar ditutup, kalau kemarau dibuka.
"Sekarang mulai musim tanam. Panen dalam setahun 2 kali. Sekali 4 bulan. Istirahat 2 bulan," ujar Darmini.
Menurut peneliti perubahan iklim dan pertanian dari Universitas Andalas Fadli Irsyad, suhu air, pH air memiliki konteks yang berbeda dengan perubahan iklim. Suhu air lebih dikarenakan oleh sumber panas yang berlebihan (baik dari panas bumi) sehingga menyebabkan kerusakan pada tanaman. jika hanya dari radiasi matahari tentunya kanapi daun yang mengalami masalah terlebih dahulu.
Kondisi pH air tentunya menjadi masalah bagi tanaman jika melewati ambang batas untuk pertumbuhan tanaman. "Namun pH ini lebih disebabkan karena kondisi tanah bukan akibat langsung dari perubahan iklim. Contohnya pada lahan gambut yang memiliki ph masam (rendah) tentunya tidak ideal bagi pertumbuhan tanaman padi," jelas Dosen TPB Fakultas Teknologi Pertanian Unand ini.
Fadly mengatakan, penting kiranya mengembangkan varietas tanaman yang tahan terhadap suhu tinggi, kekeringan, dan hama dan penyakit baru akibat perubahan iklim.
Saat ini, sambungnya, telah ada beberapa varietas padi lahan kering (padi gogo) yang telah dikembangkan oleh beberapa balai peneliti padi di antaranya varietas padi 9G IPB yang baru diluncurkan Juli tahun 2022,
Selain itu ada juga Inpago 13 Fortiz yang dilepas tahun 2020 oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi). "Masyarakat dapat menggunakan varietas tersebut untuk budidaya padi di musim kemarau khususnya pada lahan sawah tadah hujan. Tentunya perlu bantuan dari pemerintah daerah untuk menyediakan bibit tersebut ketika akan memasuki musim kemarau," jelas alumni doktoral Ehime University Jepang ini.
Pesisir Selatan Rentan Terpapar Perubahan Iklim
Kabupaten Pesisir Selatan termasuk daerah paling rentan terpapar perubahan iklim, di mana angka kejadian bencana hidrometeorologi yang mencakup banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan, terus meningkat dari tahun ke tahun.
Potensi bencana hidrometeorologis bulan Desember 2023 yang disampaikan prakirawan BMKG, Pesisir Selatan termasuk daerah paling rawan, sebanding dengan Kabupaten Padang Pariaman.
Menurut data dari Indeks Risiko Bencana tahun 2020, hampir satu juta warga Kabupaten Pesisir Selatan tinggal di kawasan rawan banjir di bagian tengah, utara dan selatan Kabupaten Pesisir Selatan. Sementara itu lebih dari 60 ribu warga tinggal di daerah rawan banjir bandang di wilayah selatan yang berdataran tinggi.
Pada musim kemarau, wilayah di kawasan utara mengalami kekeringan. Ini menunjukan bahwa ancaman terkait cuaca dan iklim mendominasi kejadian bencana di Kabupaten Pesisir Selatan.
Kerentanan Pesisir Selatan disadari pemerintah setempat, dengan menempatkan sebagai misi ketiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2021-2026 yaitu memperkuat kemandirian ekonomi dengan mendorong sektor potensi dan unggulan daerah.
“Salah satu sasaran yang ingin dicapai adalah terjaminannya kelestarian lingkungan dengan strategi mengedepankan pembangunan berwawasan lingkungan dan arah kebijakan meningkatnya indeks kualitas lingkungan hidup,” jelas Kepala Sub Bidang Perencanaan Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup pada Badan Perencanaan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappeda) Kabupaten Pesisir Selatan Nofrendi.
Dikatakan Nofrendi, isu perubahan iklim menjadi isu strategis daerah yang akan di internalisasi ke dalam dokumen Rancangan Awal Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2025-2045 yang tengah disusun saat ini.
“Perubahan iklim merupakan isu strategis yang harus menjadi fokus dan keterlibatan semua stakeholder dalam pembangunan daerah,” tukasnya.
Sebagai bagian integral Pulau Sumatra, Pesisir Selatan menjadi representasi bagaimana secara regional produksi pangan pun terpengaruh akibat perubahan iklim. Beras menjadi salah satu komoditi yang terdampak dari perubahan iklim. Selanjutnya bisa dilihat dari diagram di bawah ini.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Hasil Produksi Pangan di Sumatera
Mengutip isn-lab.com, diagram yang dibuat bulan November 2023 ini, menjelaskan perubahan iklim berpengaruh pada sektor pertanian. Kenaikan suhu sebesar 0.9°C dapat menyebabkan penurunan hasil produksi padi sebesar -74.43%, sedangkan kenaikan curah hujan sebesar 20mm menyebabkan penurunan sebesar -66.0771117%.
Dijelaskannya, Bappeda Pesisir Selatan melihat perubahan Iklim akan berdampak terhadap produktivitas sektor pertanian. Hal ini didukung simulasi hasil analisa LPPM-VICRA (Voice for Inclisiveness Climate Resilience Actions) yang menyatakan bahwa perubahan iklim berdampak pada risiko penurunan hasil produktivitas padi periode, dengan skenario kenaikan suhu 0,5oC akan menurunkan produksi sebesar 1,13 %.
Oleh sebab itu, pihaknya melakukan pelbagai upaya mitigasi melalui regulasi, kebijakan program/ kegiatan stakeholder terkait, antara lain, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Ketahanan Pangan; Peraturan Daerah Pesisir Selatan No 3 Tahun 2010 tentang penanggulang Bencana di Pesisir Selatan; Peraturan Bupati Pesisir Selatan Nomor 22 Tahun 2010 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal di Kabupaten Pesisir Selatan; Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor : 6 Tahun 2021 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menjamin ketersediaan lahan pertanian serta larangan tindakan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Lalu, Peraturan Bupati Pesisir Selatan Nomor 78 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi Kabupaten Pesisir Selatan dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; Keputusan Bupati Pesisir Selatan Nomor : 050/0481/Kpts/BPT-PS/2023 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pembangunan Berketahanan Iklim; Surat Edaran Bupati Pesisir Selatan Nomor 238 tentang Pengurangan dan Penanganan Sampah Plastik di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan; Intruksi Bupati Pesisir Selatan Nomor 416 tentang Antisipasi Kekeringan di Lahan Padi Sawah; Imbauan Bupati Pesisir Selatan tentang Pola Tanam Padi.
Nofrendi menambahkan, Pemkab Pesisir Selatan juga punya sederet program pengendalian dampak perubahan iklim seperti program Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi untuk Kedaulatan dan Kemandirian Pangan; program Penanganan Kerawanan Pangan; program Pengendalian dan Penanggulangan Bencana Pertanian; program Pengelolaan Sumber Daya Air; program Pengarusutmaan Gender dan Pemeberdayaan Perempuan.
Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Kearifan Lokal
Kondisi perubahan iklim bisa menyebabkan pergeseran musim kemarau dan hujan atau tidak ada kepastian kapan terjadinya musim kemarau, sehingga petani sangat rentan terhadap kondisi kekeringan atau gagal panen. Menurut Fadli Irsyad, perubahan iklim menjadi permasalahan serius bagi petani dalam melakukan budidaya pertanian. Sehingga petani lebih cenderung menanam tanaman yang resisten terhadap kekeringan dari pada padi sawah, contohnya ubi, jagung, terung, dan lainnya.
"Kondisi ini menjadikan perubahan pada pola tanam di lahan pertanian dan tentunya berdampak pada penurunan produktivitas pertanian jika terjadi kekurangan air. Saat ini sudah ada aplikasi KATAM yang bisa dijadikan rujukan dalam menentukan jadwal tanam," kata dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem (TPB) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas ini.
Ia melihat tantangan yang dihadapi petani di antaranya kelebihan air di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal ini menandakan sistem irigasi dan drainase di lahan pertanian kita belumlah handal dalam mengakomodasi kondisi ini.
"Tantangan terbesar sebetulnya dalam penentuan kapan waktu yang tepat untuk memulai penanaman? Sehingga dalam pertumbuhan tanaman tidak mengalami hambatan baik kekeringan maupun banjir. Tentunya petani harus menyadari kondisi perubahan ini, agar tidak terjebak pada pola tanam yang telah lama diterapkan. Keengganan dalam menerima sesuatu yang baru dan merupakan fakta merupakan masalah terbesar bagi petani," ungkapnya.
Selain itu, sambungnya, mengoptimalkan fungsi manajemen sistem irigasi dengan mengembalikan fungsi Persatuan Petani Pengguna Air (P3A) atau kelompok tani yang mengatur tentang pembagian air atau kapalo banda dan istilah lainnya dalam pengaturan pola tanam serta jadwal tanam. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi permasalahan dalam memperebutkan air yang sangat sedikit.
Fadli juga mendorong pendekatan teknologi berbasis kearifan lokal untuk menyisiasati perubahan iklim yakni menghidupkan kembali tabek-tabek gadang di Sumatra Barat. Saat ini tabek gadang atau embung atau waduk banyak yang telah beralih fungsi ke penggunaan lainnya.
Saat ini pemerintah sudah menggalakkan program 1000 embung dari tahun 2022 di berbagai daerah. Namun, kegiatan ini hanya direspon oleh sebagian kepala daerah, dikarenakan minimnya perencanaan dalam pengembangan embung. Di lain sisi ditingkat petani / kelompok tani dapat di rekomendasikan pembuatan kolam-kolam retensi atau sumur-sumur bor untuk membantu pemenuhan kebutuhan air tanaman dikala musim kemarau panjang.
Sekaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang terbatas dan terancam oleh perubahan iklim, tentunya dimulai dari kesepahaman visi petani atau kelompok tani terlebih dahulu, baik sesuai dengan sistem kearifan lokal yakni dengan musyawarah dan mufakat patut menjadi pertimbangan pada saat pengaturan jadwal tanam dan pola tanam khususnya dimusim kemarau.
Fadli mendorong pengaturan, pembagian air irigasi yang efektif dan efisien, agar tidak terjadi masalah perebutan air pada saat mendekati puncak musim kemarau. Misalnya, pembagian air irigasi dengan sistem siang dan malam, dimana di air irigasi pada bagian hulu diberikan siang hari untuk meminimalkan air hilang pada saluran akibat evaporasi dan pada bagian hilir dialirkan pada malam hari yang mana evaporasi menjadi rendah rendah pada saluran.
"Atau pembagian air berdasarkan luasan, seperti sistem irigasi paraku, dan lainnya," katanya.
Dikatakan Fadli, sistem pemberian irigasi terputus-putus (intermittent irrigation) juga dapat dijadikan solusi pemberian air irigasi dengan cara pengaturan tinggi muka air sawah dengan kedalaman 5 – 10 cm, selanjutnya air irigasi dihentikan sempai tidak ada genangan, kemudian digenangkan kembali. Hal ini akan berdampak pada pemerataan air irigasi dari kawasan hulu hingga hilir.
Menurut Fadli, kebijakan dan regulasi yang diperlukan untuk mendorong pertanian beradaptasi dan bermitigasi terhadap perubahan iklim. Pada dasarnya, sambungnya, dinas pertanian sudah membuat arahan jadwal tanam di setiap daerah sesuai dengan kondisi iklim lokalnya.
Artinya ini bisa dimanfaatkan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya. Selain itu pengaktifan kembali P3A ataupun GP3A atau istilah lokal lainnya untuk pengelolaan air irigasi perlu dilakukan.
Hal tak kala pentingnya, kata Fadli, adanya ketersediaan dan akses informasi data klimatologi yang selalu diperbaharui dan tepat waktu, dapat menjadi rujukan bagi peneliti untuk dapat mengakses dan menganalisis data. Selanjutnya isu alih fungsi lahan juga perlu menjadi perhatian baik melalui Ranperda atau Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
"Hal ini dikarenakan jangan sampai invesatsi fasilitas yang sudah disiapkan untuk mitigasi perubahan iklim serta merta dirubah oleh petani untuk penggunaan lainnya," pungkasnya.
[Liputan ini hasil program fellowship Peliputan Berbasis Sains yang diselenggarakan ISN Lab by SISJ dan didukung Google News Initiative]