Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda

Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda

Diskusi Jelang 75 Tahun PDRI. (Foto: Langgam.id)

Langgam.id - Intelijen Belanda memberi istilah "black cat" untuk pengawal rombongan kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara Sungai Dareh (Dharmasraya) dan Abai (Solok Selatan). Belasan sosok misteri itu, membuat tentara Belanda gagal mengejar rombongan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara saat bergerilya di kawasan itu pada awal Januari 1949.

Peneliti Sejarah Maiza Elvira mengungkapkan hal tersebut dalam Diskusi Menuju 75 Tahun PDRI yang digelar Langgam.id bersama Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Diskusi itu berlangsung di Warung Kopi Sumatra Westkust (pelataran Langgam.id) pada Sabtu, (25/11/2023) malam.

Menurut Elvira, istilah dalam Bahasa Inggris "black cat" itu terdapat dalam laporan Nederlands Forces Intelligence Service (Nefis) yang ditulis dalam Bahasa Belanda. Elvira mendapatkan akses terhadap data itu, saat terlibat penelitian bersama KITLV dan Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa tahun lalu.

Sosok yang disebut "black cat" tersebut terlihat oleh tentara Belanda seperti manusia yang berdiri dalam gelap. Dibilang manusia, tapi matanya bersinar kuning. Disebut harimau, namun sosok-sosok tersebut terlihat berdiri.

Elvira mengungkapkan, tentara Belanda yang dilanda kebingungan itu adalah rombongan yang khusus ditugaskan memburu kabinet PDRI. Sebagian sudah mengejar rombongan Mr. Sjafruddin sejak dari Bangkinang, Riau dan sebagian dari Solok.

Tentara Belanda yang dari arah Bangkinang bertemu dengan pasukan yang berasal dari Solok di Kiliran Jao (Sijunjung). Mereka kemudian bergabung, karena mendapat misi yang sama: menangkap Sjafruddin Prawiranegara yang berani berteriak di radio bahwa Indonesia masih ada. Mereka akan membungkam PDRI agar dunia internasional tak lagi mengganggap ada pemerintahan dan perlawanan di Indonesia.

Laporan intelijen Belanda itu menyebutkan, pasukan Belanda semula optimistis bisa mengejar Sjafruddin yang dilaporkan berada setengah hari perjalanan dari mereka. Selain jumlah pasukan Belanda cukup banyak, rombongan Sjafruddin diperkirakan agak lamban, karena harus memanggul radio yang sangat berat.

Namun, harapan itu mulai buyar saat mereka sampai di Kiliran Jao. Berbagai keanehan mulai mereka rasakan. Kejanggalan pertama terjadi saat pasukan Belanda diadang oleh belasan pesilat berpakaian hitam-hitam.

"Gerakan (silatnya) sangat halus sekali, seperti menari. Namun, ketika tangan mereka sampai ke tubuh pasukan Belanda terasa sangat keras," ujar Elvira, dalam diskusi yang dipandu Jurnalis Senior Hendra Makmur, yang juga anggota Dewan Redaksi Langgam.id.

Pasukan Belanda mengaku kesulitan dan sempat tercerai berai karena para pesilat itu. "Tubuhnya ringannya seperti terbang. Mereka susah sekali mengikuti gerakannya. Mereka melihat ke kiri, tangan pesilat sudah sampai di kanan," ujarnya.

Namun, pasukan Belanda sampai juga akhirnya di Sungai Dareh. Tapi Sjafruddin dan rombongan telah bertolak menuju ke hulu Sungai Batang Hari.

Pasukan Belanda lalu menghadapi adangan lain. Kali ini adalah laskar dan masyarakat yang menutup jalan. Sempat terjadi kontak tembak. Pada akhirnya, tentara Belanda mencium gerakan rombongan Sjafruddin ke arah hulu. Mereka pun menyusul dengan tergesa.

Tapi yang terjadi, mereka kembali merasa dibayangi sekelompok pesilat. Sesekali mereka bertemu, tapi para pesilat yang di antaranya ada perempuan itu kembali menghilang.

Menurut Elvira, saat tentara Belanda istirahat pada malam hari, para pengintai itu terlihat lewat berpasang mata berwarna kuning dari dalam gelap.

Ketika ditembak dan didatangi, tentara Belanda tak menemukan apa-apa. Sosok-sosok itu menghilang dengan cepat tanpa bekas. Karena tak bisa mendefinisikan para pengintai itu, intelijen Belanda memberi istilah sendiri: black cat.

Rombongan "kucing hitam" ini terus membayangi pasukan Belanda antara Sungai Dareh dan Abai. Mereka terkadang berada di arah depan pasukan, terkadang di belakang. Beberapa kali pasukan itu tersesat, berputar-putar dan kembali ke titik semula.

Dalam kondisi letih, jengkel bercampur khawatir, pasukan Belanda akhirnya bisa mencapai Abai Sangir. "Namun, sesampai di Abai (Sangir), rombongan Sjafruddin seperti menghilang. Jejaknya tak ditemukan lagi," kata Elvira.

Tentara Belanda yang frustasi kemudian membakari sejumlah kampung antara Sungai Dareh dan Abai. "Pengejaran Mr.Sjafruddin Prawiranegara oleh pasukan Belanda adalah operasi yang gagal," ujar Elvira.

Saat dikejar oleh tentara Belanda itu, sebenarnya rombongan Mr. Sjafruddin tak berapa jauh di depan. Setelah sempat menetap di Abai Sangir selama sepekan, kabinet PDRI kemudian menetap di Bidar Alam dan aman berada di sana selama lebih dari tiga bulan, tanpa terendus Belanda.

Bila Belanda merasa terancam karena dibayangi oleh sosok yang disebut "Black Cat", rombongan PDRI yang menyusuri pinggir sungai Batang Hari malah merasa dikawal oleh seekor harimau.

Sejarawan Mestika Zed dalam Buku "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia" (1997) menulis, perjalanan tersebut semula terasa mencekam karena ada seekor harimau terus mengikuti gerilya PDRI dalam jarak 20 meter.

Bila rombongan berhenti, harimau itu ikut berhenti. Bila rombongan bergerak, ia terus mengikuti dalam jarak yang sama. Karena tidak mengganggu, pada akhirnya rombongan terbiasa dan menganggapnya sebagai pengawal.

Wartawan Senior Khairul Jasmi yang juga jadi narasumber dalam diskusi itu mengatakan, peran para pesilat dalam revolusi fisik pada 1945-1947 adalah wujud kepedulian masyarakat pada perjuangan.

Mereka membantu dengan berbagai cara. Ibu-ibu menyediakan nasi bungkus untuk membantu perjuangan. Demikian juga para pesilat, pelajar hingga anak-anak. Mereka bergerak bukan karena disuruh, tapi inisiatif membela negara.

KJ mengatakan, sejumlah kejanggalan para pesilat yang tercatat dalam laporan intelijen Belanda maupun harimau yang mengikuti rombongan PDRI adalah kearifan lokal di Minangkabau.

"Itu bukan dongeng. Sumber-sumber sejarah bukan saja yang tertulis, tetapi termasuk cerita dari mulut ke mulut. Apa lagi (dalam cerita) ini bersumber dari data intelijen," ujarnya.

Sumatra Barat, menurut KJ, punya banyak kearifan lokal. Agar bisa memahami berbagai kearifan dan korelasinya dengan sejarah, KJ menyarankan agar kembali mempelajari berbagai hal tersebut, termasuk silat atau silek.

KJ yang menulis salah satu buku tentang silek mengungkapkan, setidaknya ada 40 aliran silek yang ada di Minangkabu. Sejumlah aliran silek tersebut, terkait dengan harimau.

Aliran-aliran silek Minang itu antara lain, Silek Pangka Tuo, Silek Tuo, Silek Kucing, Silek Harimau, Silek Kambing Hutan, Silek Gajah Badorong, Silek Bayam, Silek Buayo, Silek Sikoka dan Silek Anjing Mualim.

Kemudian Silek Alang Bangkeh, Singo, Kinantan, Kampuang, Rumah Gadang, Ulu Ambek, Kumango, Lintau, Sungai Patai, Balubui, Taralak, Sitaralak, Buah Tarok, Kinari dan Silek Pukulan 10.

Selanjutnya, juga ada Silek Pangian, Pakiah Rabun, Sunua, Simpie, Luncua, Cakak, Galuik, Bayang, Sewai, Gunuang, Durian, Gayuang, Natar, Silek Sabondo, dan masih ada yang lainnya.

Maiza Elvira yang sempat mewawancarai sejumlah tetua silek, memperkirakan para pesilat yang berperan membantu rombongan PDRI mulai dari Kiliran Jao, Sungai Dareh hingga ke Abai adalah perguruan Silek Pangian. Gerakan silek yang lembut tapi mematikan seperti disebutkan laporan intelijen itu, terlihat dari gerakan silek Pangian yang disaksikan oleh Elvira pada 2019.

Baca Juga: Kisah Harimau Kawal Gerilya PDRI dari Sungai Dareh ke Abai Sangir

Edison Datuak Pucuak, salah satu guru Silek (Silat) Pangean Sungai Dareh dalam seminar "Dharmasraya di Lintasan PDRI" yang digelar Pemkab Dharmasraya pada Kamis (2/1/2020) menyebut, fenomena harimau yang mengawal rombongan pejuang, merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat setempat.

Menurutnya, jalur yang dilalui rombongan PDRI tersebut memang lintasan harimau Sumatra. Bila berniat baik, harimau tak akan mengganggu, malah akan membantu menunjukkan jalan bila tersesat. Ia percaya, rombongan PDRI kala itu, dibantu oleh para tetua silek Pangean. (Lisa/HM)

Baca Juga

Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar, tersangka dalam kasus penembakan Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, akan menjalani
Ombudsman Desak Polisi Ungkap Motif Penembakan Kasat Reskrim Solok Selatan
Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penembakan yang menewaskan Kasat
Pelaku Polisi Tembak Polisi Dijerat Pasal Pembunuhan Berencana, Terancam Hukuman Mati
Komisi III DPR RI akan mendatangi Polda Sumatera Barat (Sumbar) dan Polres Solok Selatan untuk meninjau langsung kasus penembakan yang
Komisi III DPR RI Akan ke Sumbar, Tinjau Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Kapolda Sumatra Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono menegaskan akan mengambil langkah tegas dalam menangani kasus penembakan yang menewaskan
Kasus Penembakan di Polres Solsel, Kapolda Upayakan Pemberhentian Tidak Hormat Kepada Pelaku
Kapolda Sumatera Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono, mengonfirmasi kasus penembakan yang melibatkan dua perwira polisi di Solok Selatan.
Kapolda Sumbar: Kasus Penembakan di Solok Selatan, Tersangka Sudah Diamankan
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya
Diduga Persoalan Tambang Ilegal, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Tewas Ditembak Rekannya