Langgam.id - Sang surya masih memantikkan terik tatkala berarak menuju ke peraduan. Terik yang begitu menyengat terasa betul di Pantai Padang, Minggu (22/10/2023). Sehingga para pedagang kecil yang menggalas di Pusat Kuliner Pantai Padang pun mengembangkan payung untuk memastikan kenyamanan pengunjung.
Tak berselang lama, payung-payung yang dibuka beberapa pedagang, buru-buru dipasang kembali. Padahal, di sampingnya ada pembeli yang sedang menyantap makanan. Bongkar pasang ini terpantau dua kali, ketika langgam.id berada di sana kurang lebih dalam waktu 30 menit.
Salah seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) Lismarita (45), mengatakan, payung yang sudah dipasang terpaksa ditarik dan dilipat kembali, lantaran mendapat kabar bahwa petugas akan datang. Yang dimaksud adalah Satuan Polisi Pamong Praja ((Satpol PP) yang selalu bersiaga untuk penertiban aktivitas berdagang di Pantai Padang.
"Payung ini dibuka karena ada info petugas akan datang. Pembeli senang pakai payung agar terhindar dari panas, tetapi di bibir pantai tidak boleh dipasang payung sama sekali," tuturnya.
Sejak berjualan diharuskan di Pusat Pasar Kuliner, omset yang didapatkan Lismarita terjun bebas dibanding saaat berdagang di dekat Tugu IORA (Indian Ocean Rim Association). Sabtu-Minggu, seyogianya menjadi hari yang dinanti, hari yang mendatangkan rezeki berlebih seiring ramainya orang-orang ke pantai Padang.
Namun, apa dikata, di lokasi berjualan baru ini, pendatapan pada Sabtu dan Minggu begitu landai, tak ubahnya hari biasa saat berjualan di Tugu IORA. "Sore ini sudah Rp125.000 yang terkumpul, namun ada beberapa pembeli yang belum membayar. Hari-hari biasanya 150 sudah susah didapat. Itu belum lagi dikeluarkan modal," katanya.
"Uang untuk membeli alat-alat jualan hari besok dicarikan hari ini," sebutnya lagi.
Lismarita mengingat kembali pendapatan saat berjualan di Tugu IORA. Kalau di dekat Tugu IORA, jelasnya, hari Minggu itu sampai Rp900.000, dan hari-hari biasanya bisa Rp500.000. "Tetapi itu belum dikeluarkan modal. Sejak di sini pendapatan jauh menurun," tukasnya.
Minggu cerah itu, dari pintu masuk Pusat Kuliner Padang, lapak-lapak PKL terlihat lebih banyak dari sebelumnya, terlihat juga kursi serta warna-warni payung PKL sudah berada di bibir pantai, tepatnya di depan di lokasi itu.
Pusat Kuliner Padang itu terletak di sebelah Jembatan Muaro Lasak atau persisnya di parkiran Panggung Pantai Purus. Lokasi ini berjarak 300 meter dari Tugu IORA, lokasi jualan Lismarita sebelumnya.
Pusat Kuliner Padang adalah solusi dari polemik PKL di Pantai Padang (Taplau-- Tepian Laut) terutama di Pantai Purus. Pedagang yang berjualan di bibir pantai direlokasi ke Pusat Kuliner Padang sejak bulan September lalu.
Pantai Padang merupakan salah satu objek wisata favorit di Kota Padang. Sehingga Pemko Padang melakukan penataan dan penertiban di kawasan Pantai Padang.
Kebijakan ini kemudian , memastikan tidak ada lagi tenda ceper yang berjejeran di sepanjang bibir pantai, sehingga pengunjung dapat menikmati keindahan pantai dengan leluasa.
Wali Kota Padang Hendri Septa menjelaskan, Pemko Padang telah melakukan penataan Pantai Padang sejak September lalu dengan merelokasi para pedagang ke lokasi baru
"Alhamdulillah, Pantai Padang yang tadinya agak semrawut sekarang sudah mulai tertata," ucap Hendri Septa, sebagaimana dicuplik dari InfoPublik Padang.
Menurutnya, penataan Pantai Padang merupakan langkah positif yang dilakukan Pemko Padang. Hal ini menunjukkan komitmen Pemko Padang untuk meningkatkan kualitas pariwisata di Kota Padang.
Pasca relokasi PKL ke pusat kuliner Pantai Padang di samping Panggung Pantai Purus, Pemerintah Kota Padang kini berupaya meramaikan.
Hendri Septa mengatakan untuk meramaikan lokasi relokasi, Aparatur Sipil Negeri (ASN) Pemko Padang diharuskan berbelanja di sana.
"Kebijakan ini upaya pemerintah untuk meramaikan Pusat Kuliner Pantai Padang," kata Hendri Septa.
Hendri Septa memperikirakan dengan ramainya ASN berbelanja di sana, seiring berjalan waktu diharapkan dapat diikuti masyarakat.
Teriakan Tolak Relokasi
“Tolak!!! Relokasi Pantai Padang, PKL Butuh Makan, Perempuan PKL Pantai Padang Butuh Hidup, Walikota Padang Ciptakan Pantai Padang yang Indah dan Manusiawi,” begitulah tulisan di spanduk aksi ujuk rasa PKL Pantai Padang beberapa waktu lalu di depan Tugu IORA. Umumnya, aksi tersebut didominasi kaum perempuan.
Kalimat itu hanyalah sekian dari beberapa spanduk yang mereka bawa pada aksi unjuk rasa tersebut. Tulisan itu menegaskan mereka menolak relokasi yang disediakan pemerintah Kota Padang, karena tempat yang disediakan dianggap tak strategis.
Namun, aksi itu hanyalah sebatas aksi. Faktanya, keputusan pemerintah tidak dapat diganggu gugat, dengan tetap mengetok palu relokasi. Aturan tentang relokasi itu disandarkan Pemerintah Kota Padang pada Peratuan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
Kini, relokasi itupun akhirnya berlangsung dengan menawarkan konsep yang dinamakan Pasar Kuliner Pantai Padang. Lokasi tersebut merupakan lokasi yang awalnya digunakan untuk parkiran kendaraan bermotor wisatawan di samping Panggung Pantai Purus. Luasnya sekitar 3.600 meter. Di sanalah kurang lebih 100 PKL dikumpulkan untuk menjual dagangan mereka.
Umumnya dagangan mereka hampir sama, mulai dari kerupuk mie kuah, pop mie, kelapa muda hingga langkitang cucuik. Sebelumnya, mereka pun berjualan di bibir pantai dekat Tugu IORA.
Saling Rebutan Pembeli; Pendapatan Rendah, Hidup Semakin Getir
Rabu, 18 Oktober 2023 siang, kabut asap menyelimuti langit Padang. Para PKL yang berjualan di Pasar Kuliner Padang masih banyak bermenung, ketimbang sibuk melayani pembeli. Pembeli yang mengisi kursi-kursi yang disediakan pedagang masih bisa dihitung dengan jari. Sesekali mereka menyapa sembari menawarkan dangangan mereka dengan ramah.
‘Duduklah! Ayia ado, langkitang ado (duduklah. air ada, lengkitang ada),” ujar mereka kepada pengunjung Pantai Purus yang lewat.
Salah satu pedagang Pantai Padang, Novi (43), dirinya tidak mengira serta tidak bisa menerima keputusan relokasi tersebut. Tetapi karena tidak ada pilihan lain, ia terpaksa berjualan di tempat relokasi yang disediakan itu. Ia sudah tak ingat lagi berapa kali pengusuran oleh aparat terjadi selama berjualan di Pantai Padang di dekat Tugu IORA.
“Kali ini paling parah, kami harus berjualan di tempat relokasi ini. Kadang hanya bawa uang Rp50.000 dalam sehari setelah dikeluarkan modal,” tuturnya kepada langgam.id, Selasa, (18/10/2023) siang.
Untungnya, lapak Novi berada di dekat pintu masuk pasar kuliner, tak begitu banyak kursi yang terpajang, begitu juga dengan dagangannya yang diletakkannya di dalam gerobak persegi panjang. Sejak pindah sekitar 20 hari yang lalu, pendapatannya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Kita berjualan berharap mencari untung malah berujung buntung. Di siko indak mangaleh wak disuruahnyo, jadi pajangan wak deknyo (di sini tidak berjualan pasnya, lebih jadi pajangan saja),” ujarnya.
Tidak hanya soal pendapatan yang rendah, dirinya juga mengaku harus merasakan perkelahian dan emosi antara pedagang di pagi hari terkait masalah tempat. Pangkalnya, kata Novi, aturan yang tidak jelas, hingga berebut pembeli yang datang.
“Tadi pagi antara sesama pedagang sudah adu mulut terkait peletakan kursi. Tempat untuk satu orang itu hanya dua meter, itu terlalu sempit,” tuturnya.
“Sebagian pedagang sudah ada yang tidak berjualan karena tidak ada tempat untuk meletakkan kursi, mereka berjualan hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika bisa, kami ingin kembali lagi sana,” dia menambahkan.
Katanya, berjualan di Pantai Padang adalah satu-satunya mata pencariannya untuk menghidupi empat orang anaknya. Yang satunya duduk di bangku SMA, SMP, SLB dan satu lagi tidak menempuh pendidikan.
“Penghasilan yang kami dapat di sini tidak untuk mencari kaya, tetapi untuk mencukupi biaya sekolah anak, sewa kontrakan dan makan sehari-hari,” sebutnya.
Novi merupakan warga asli Pantai Purus yang memilih mengontrak di Siteba, Kecamatan Nanggalo. Hal itu dilakukannya karena rumah yang dihuninya di Pantai Puruih adalah milik orang tuanya dan tidak bisa ditempati bersama empat orang anaknya.
Ia menghidupi empat orang anaknya dari pencarian yang bergantung kepada pendapatan berjualan sehari-hari di Pantai Padang.
“Tambah lagi suami tidak ada, kontrakan Rp650.000 satu bulan, belum lagi listrik dan air. Uang sekolah anak, satu di SLB. Sajak berjualan di sini saya stres, tidak terlihat penghasilan sama sekali, malah setiap hari menambah hutang untuk keperluan sekolah anak,” katanya.
Kendati demikian, ia tidak punya pilihan lain selain bertahan karena modal untuk membuka usaha baru tidak ada. Pekerjaan lain juga tidak ada yang menerimanya.
“Kalau tidak di sini dimana lagi? Cari tempat di luar semua berbayar dan itu membutuhkan modal. Sedangkan sekarang uang untuk makan saja susah,” ujarnya.
Lanjutnya, seminggu lagi adalah jatuh tempo untuk membayar kontrakan, tetapi hingga kini belum ada tanda-tanda uangnya dari mana. Biasanya jika berjualan di tempat semula, Novi mengaku menjelang satu minggu uang untuk bayar kontrakan rumah sudah terkumpul. “Sekarang belum tampak lagi dari mana uang untuk bayar kontrkan itu,” tuturnya.
Dia mengutarakan, pengeluaran yang wajib sehari-sehari ketika berdagang mulai dari uang ronda Rp.10.000 untuk pengamanan barang-barang yang ditingalkan pada malam hari, sampah Rp5.000 serta lampu Rp5.000.
“Barang-barang kita tinggalkan di sini, ada yang menjaganya, kita tinggal bayar barang aman. Setidaknya ada 130 pedagang di lokasi yang sempit ini dan sudah banyak yang tidak berjualan,” sebutnya.
Hal yang sama juga dirasakan pedagang lainnya, Lismarita (45). Ia mengatakan, ketika berjualan di dekat Tugu IORA banyak pembeli, namun selama di tempat relokasi pendapatan jauh merosot. Ditambah lagi, aturan untuk posisi pedagang berjualan dibagi dengan cara cabut lot. Mekanisme untung-untungan ini, ia mendapatkan nomor urut 44 dan berada di bagian paling belakang dari pintu masuk.
"Saya dapat tempat paling ujung dari belakang, jarang pembeli yang sampai ke sini. Saya buka jam 08.00 WIB, kadang siap Magrib sudah pulang karena tidak ada pembeli," katanya.
Imbas dari relokasi yang dilakukan Pemerintah Kota Padang, ia mengaku terlilit hutang hingga tidak mampu membayar tunggakan motor yang sudah menunggak selama tiga bulan. Ia juga mengatakan, di tempat relokasi ini juga sering berkelahi sesama pedagang terkait tempat meletakan kursi hingga pelangan yang datang.
"Pendapatan di sini rendah sekali, belum lagi hutang yang akan dibayar sekali seminggu Rp.150.000, motor Rp1.000.000 setiap bulan serta biaya sekolah anak untuk 3 orang. Kadang pendapatan hanya Rp100.000 sehari," tuturnya.
"Anak saya yang kecil sekarang di SD, yang dua lagi di SMK. Semuanya butuh biaya, tapi mata pencarian kita dirampas. Uang sekolah anak saja sekarang sudah menunggak," sebutnya.
Sementara itu, penghasilan suaminya juga tidak berketetapan usai berhenti bekerja sebagai sopir sejak pandemi Covid-19. "Bisa dikatakan kami berlima beranak menggantungkan hidup dari berjualan ini. Namun sejak di relokasi ini pendapatan tidak mencukupi," katanya.
"Mau pindah juga tidak ada tempat, di sini bertahan juga tidak menguntungkan. Mau kembali ke lokasi awal juga dikejar-kejar aparat," sebutnya sembari tak kuasa menahan tanggis.
Lismarita mengaku, di depan anak-anaknya ia selalu terlihat ceria dan tidak melihatkan kesedihan sama sekali dengan tujuan pendidikan anak-anaknya tidak terganggu. "Kalau mereka tahu Ibuk (saya) tidak ada uang, mereka sering bilang berhenti saja kami sekolah. Saya tidak ingin itu terjadi, saya ingin mereka dapat menempuh pendidikan seperti anak-anak yang lainnya," katanya yang juga tinggal di rumah kontrakan di Lubuk Buaya, Kecamata Koto Tanggah.
"Kontrakan Rp3.000.000 setahun, tetapi kalau sudah hujan air masuk. Penghasilan di sini sehari tidak sampai Rp200.000," ujarnya lagi.
Lanjutnya, jika tidak mencukupi dirinya meminjam uang kepada adiknya hingga tetangga untuk kebutuhan sekolah anaknya tetapi itu juga tidak selalu berhasil. “Kadang pinjam Rp100.000 saya sudah dikatai-katai dengan kata- kata yang menyakitkan hati,” ujarnya.
"Kami dipindahkan ke sini dengan iming-iming akan ditata dan diberikan tempat yang bagus. Tetapi lihatkan sekarang, hanya seperti ini," tukasnya.
Awal Mula Perseteruan Pemko dan PKL
"Berdasarkan data kita, dari Tugu IORA hingga ke Lapau Panjang Cimpago (LPC) setidaknya ada 84 pedagang," kata Staf bidang Litbang LBH Padang, Alfi Syukri, Sabtu, (21/10/2023).
Ia mengatakan, perseteruan antara Pemko Padang dan PKL sebenarnya sudah lama terjadi. Namun yang mengerikan itu penertiban pada saat momen Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Republik Indonesia. Di mana waktu itu diwarnai keributan lempar batu, dan pada saat itu kedua belah pihak saling melapor.
"Pada saat itu Pemko mengatakan tidak boleh berdagang di bibir pantai karena sudah disediakan LPC. Lalu dilakukan penertiban dan akhirnya terjadilah keributan," katanya.
Sementara itu PKL di Pantai Padang terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama ada yang diberikan LPC tetapi tidak mampu mengolahnya karena Covid-19, kedua PKL yang tidak pernah dapat LPC sama sekali, kemudian ada PKL yang baru datang. Dari 3 kelompok tersebut, PKL meminta Pemko memberikan ruang untuk berjualan di bibir pantai dekat Tugu IORA itu.
Namun di sana sering terjadi bentrok dan pihaknya dari LBH Padang mendampingi persoalan PKL tersebut ke Komnas HAM. Alhasil disepakati bahwa PKL dibolehkan berdagang dengan syarat jam 3 sore mulai mengangkut barang dan mulai berjualan pukul 4 sore, hingga tutup pada pukul 21.00 WIB.
"Itu aturan yang disepakati pada Agustus 2022," sebutnya.
Katanya, setelah itu baru-baru ini Pemko mengatakan akan melakukan penertiban dengan menggunakan tim gabungan. Terkait hal itu, bilang Alfi, LBH membantu PKL untuk bertemu Pemko Padang. "Awalnya tidak digubris, kemudian Pemko mengadakan audiensi dengan pedagang namun perwakilan dari LBH tidak boleh masuk dan mendampingi mereka," jelasnya.
Ketika PKL beraudiensi dengan Pemko, menurut Alfi, Pemko tidak mendengarkan pendapat pedagang dan memutuskan merelokasi ke tempat sekarang. Para pedagang, sambung Alfi, menolak tempat relokasi tersebut karena ditempatkan di lahan yang semulanya adalah tempat parkir dan di sana juga sudah ada PKL yang berjualan.
Katanya, atas dasar itu mereka ingin kembali ke tempat semula. Hingga melakukan boikot jalan di depan Tugu IORA pada 21 September 2023. Namun Pemko tidak turun. Kemudian lanjut aksi di hari berikutnya sehingga terjadilah bentrok dengan aparat.
"Mereka meminta lagi untuk beraudiesi dengan Pemko, tetapi tidak diindahkan. Dan akhirnya malah ada keputusan di relokasi dan tidak boleh berdagang di tempat semula," sebutnya.
Pemantauan yang dilakukan LBH Padang, pendapatan para PKL yang di relokasi itu menurun dan LBH Padang mencoba untuk membantu agar hak ekonomi mereka terpenuhi.
"Sangat disayangkan Pemko hanya melakukan penertiban tetapi tidak melakukan pemberdayaan. Padahal Perda Nomor 3 tahun 2014 sudah mengatur tentang pembangunan pariwisata dan juga tedapat penataan serta memberdayakan PKL," kata Alfi.
Aturan Akan Tetap Berjalan dan Tidak Dicabut
Menanggapi hal itu, Pemerintah Kota Padang memastikan relokasi akan tetap berjalan dan aturan tidak akan dicabut. Relokasi itu bertujuan agar mereka berjualan dengan nyaman, karena di tempat sebelumnya adalah tempat yang ilegal.
"Aturan ini akan tetap berjalan, sembari kita melakukan pembenahan,” kata Kepala Dinas Pariwisata, Kota Padang, Yudi Indra Sani, Sabtu, (21/10/2023).
Sebenarnya, dahulu PKL ini sudah kita relokasi ke LPC, akan tetapi karena Covid-19 dan faktor ekonomi yang menurun mereka kembali lagi berjualan di bibir pantai.
"Ini permasalahan baru lagi. Dan kita carikan solusinya lagi, akhirnya kita legalkan berjualan di tempat pusat kuliner sekarang. Di sana mereka bebas berjualan dari jam berapa saja," katanya.
Lanjutnya, Pemko Padang mengajak semua masyarakat untuk lebih tertib ketika berdagang dan sejauh ini respons wisatawan juga baik dengan adanya bibir pantai yang luas. "Sekarang tinggal lagi bagaimana pedagangnya menerima relokasi itu. Kita bukan mengusur, kita bukan membunuh, tapi merelokasi," katanya.
Terkait keluhan pedagang mulai dari lokasi yang disediakan sempit hingga tempat yang tidak strategis, Yudi mengatakan, itu adalah persepsi mereka karena ingin pindah ke lokasi semula. Menurutnya, terkait pedapatan yang tidak seperti semula itu disebabkan karena harus beradaptasi terlebih dahulu.
"Maunya mereka berdagang di tempat biasa. Kalau mereka kembali ke tempat semula itu menganggu hak-hak orang lain juga. Kurang apa lagi pemerintah, biasanya mereka berjualan di tempat yang ilegal, sekarang sudah kita legalkan tempat itu," sebutnya.
Lanjutnya, kendala di Pemko Padang untuk membenahi mereka adalah keengganan mereka untuk berada di lokasi relokasi yang telah disediakan. "Sudah berapa kali saya berkomunikasi dengan mereka, intinya mereka itu tidak mau pindah. Itu yang menjadi kendalanya kita saat ini," katanya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Kota Padang Raju Minropa mengatakan, dalam melakukan penertiban pihaknya tidak melakukannya dengan sendiri, namun juga dibantu oleh TNI, Polri, Dishub serta Dinas Pariwisata yang diberi nama dengan Satgas Pam.
Katanya, tujuan dari menertibkan kawasan wisata Pantai Padang mulai dari Masjid Al-Hakim hingga ke Masjid Mujahidin untuk mengawasi pedagang berjualan di trotoar, penertiban lalu lintas, serta parkiran yang rapi dengan tujuan terciptanya suasana pantai yang nyaman.
"Pedoman penertiban itu disandarkan pada Peratuan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat," katanya, Sabtu (21/10/2023).
Raju menegaskan, pihaknya selalu berusaha melalukan penertiban secara humanis kepada PKL. "Dua kali kejadian terakhir mereka tidak melawan dengan PKL. Bahkan pada saat penertiban 19 Oktober 2023 anggota kita dilarikan ke rumah sakit karena pedagang tidak mau ditertibkan sehingga mereka melempari petugas dengan kelapa, batu hingga kayu. Tiga orang dari personel Satpol PP dan satu lagi dari Dinas Pariwisata terluka," tandasnya.
Menang Jadi Abu, Kalah Jadi Arang
Sementara itu, pengamat sosial Virtuous Setyaka mengatakan, apa yang terjadi di Pantai Padang terhadap penertiban PKL itu sama-sama tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak. "Jika kebijakan tidak diambil dengan cara demokrasi dan tidak membuat semua pihak lega dengan kebijakan yang ditetapkan bisa dibilang menang jadi abu, kalah jadi arang,” sebutnya.
Lanjutnya, pemerintah menang karena berhasil memindahkan ketempat relokasi saat ini, tetapi sebenarnya mereka itu juga kalah karena citra mereka dimata publik menjadi buruk karena tidak bisa menyelesaikan masalah secara damai.
“Banyak terjadi bentrokan antara pedagang dan aparat. Itu sudah diketahui publik," kata Virtuous yang juga dosen Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Andalas itu.
Virtuous menambahkan, untuk mencapai solusi yang baik, pemerintah seharusnya mengajak pedagang berdialog dengan mendengarkan apa yang mereka inginkan. Jika masing-masing sudah saling mengetahui dan memahami keinginannya baru dicari solusinya secara bersama-sama.
“Kepentingan Pemko terpenuhi dan PKL juga terpenuhi. Ada dialog dan musyawarah, mestinya seperti itu," tuturnya.
Menurut Virtuous lagi, jika memang pertemuan kedua pihak ini tidak memungkinkan maka bisa mencari mediator agar tidak menimbulkan konflik. Dengan begitu akan meminalisir konflik yang menjadi kekerasan, seperti mengangkut dengan paksa lapak-lapak mereka.
"Dari keputusan itu kita bisa melihat bahwa PKL menjadi pihak yang dirugikan karena mereka pihak yang lebih lemah ketimbang Pemko Padang. Secara kekuasaan, Pemko Padang lebih kuat dari pada PKL ," sebutnya.
Dialog Budaya Berkelanjutan Demi Industri Wisata
Salah satu wisatawan, Arin (21) mengatakan sebenarnya ada PKL di Pantai Padang itu tidak masalah, hanya saja perlu aturan yang jelas serta tertata dengan rapi. "Kalau seperti sekarang ini pantai menjadi sepi," sebutnya.
Katanya, sebenarnya adanya PKL pantai tidak akan menjadi buruk asalkan kedua belah pihak antara pemerintah dan pedagang berada pada satu keputusan bersama, yang sama-sama menguntungkan.
"Adanya pedagang di pantai itu tidak buruk, asalkan ditata menjadi lebih rapi. Seperti ada batasan waktu berjualan misalnya, akan tetapi pedagangnya juga harus mau ditertibkan," tukasnya.
Wakil Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas Donny Eros menilai akar persoalan ini mestinya dilihat dari sudut pandang kolaborasi terbuka antara pemerintah dan masyarakat dalam pengembangan industri pariwisata Pantai Padang.
"Pantai perlu bersih dan indah, tapi pedagang diperlukan untuk mendukung kebutuhan pengunjung akan kuliner dan suvenir," ujar dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas ini.
Eros mendorong solusinya berupa kesepakatan dan komitmen untuk membangun zonasi wilayah pengunjung, pedagang dan parkir dengan pendekatan dialog budaya berkelanjutan, bukan represif.
"Karena tujuan ekonomi pariwisata berkelanjutan adalah untuk mensejahterakan masyarakat yang berada di sekitar destinasi pariwisata tersebut," pungkasnya.
Editor: Yose Hendra