Partisipasi perempuan dalam politik merupakan sebuah problematika yang ada di negara Indonesia sebagai negara yg berkembang. Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik ditunjukkan dalam keterampilan perempuan di DPR RI pada pemilu 2019 yang berjumlah 20.1 persen dari jumlah kursi total. Pemerintah Indonesia telah membuat suatu kebijakan dalam mendorong partisipati dan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif melalui kebijakan affirmative action.
Lahirnya UU Nomor 12 tahun 2003 merupakan bentuk dari affirmative action. pemerintah untuk menunjang kehadiran perempuan dalam dunia Politik Indonesia. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Selain itu, penguatan keterlibatan perempuan dalam regulasi di bidang politik juga tertuang dalam Pasal 7 dan 8 International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (ICEDAW) dan Konvensi Hak Politik Perempuan yang semua menyuarakan bahwa perempuan memiliki hak politik yang sama dengan laki-laki.
Semenjak pemilu tahun 1999-2019, jumlah keterwakilan perempuan di Indonesia tidak pernah menyentuh angka 30 %. Dilihat dari data Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional atau DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Artinya amanat dari UU tersebut belum juga terpenuhi, angka tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan, mengingat negara telah memberikan ruang akan partisipasi perempuan melalui kebijakan affirmative action tersebut.
Penulis meyakini bahwa rendahnya angka keterwakilan perempuan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah pola pikir patriakis yang masih kuat dalam masyarakat dan di partai politik. Meskipun negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya melalui amanat Undang-Undang, namun ada sebuah sistem yang masih terjaga dan masih terawat dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebuah anggapan bahwa derajat perempuan adalah di bawah laki-laki, perempuan adalah mahluk lemah dan harus dilindungi. Karena itu kaum perempuan merasa ada sebuah diskriminasi secara tidak langsung yang mempengaruhinya dan masih kurang dipercayai untuk bisa ikut andil dalam kontestasi politik, sehingga hal itu menyebabkan keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah, kemudian ditambah lagi sebagian besar dalam dunia politik itu sendiri selalu di duduki oleh kaum laki-laki.
Faktor yang kedua yaitu dinasti politik, sistem pemilu yang ada saat ini lebih banyak menghasilkan orang-orang kaya masuk ke parlemen dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas. Sebagian perempuan caleg yang lolos ke DPR merupakan kerabat kepala daerah atau bagian dari dinasti politik. Anggota DPR termuda, Hillary Brigitta Lasut, yang baru berusia 23 tahun salah satunya, Ibunya bupati. Bapaknya bupati. Rata-rata dari 20 orang (perempuan anggota DPR dari Nasdem) merupakan kerabat dari kepala daerah. Contoh lainnya yaitu Athari Gauthi Ardhi anggota DPR RI dapil Sumatera Barat 1 fraksi PAN yang merupakan anak dari Bupati Kabupaten Solok.
Faktor yang ketiga adalah dari perspektif perilaku pemilih menunjukkan bahwa pemilih perempuan tidak serta merta memilih kandidat perempuan (Suhenty, 2020). Meskipun dalam data KPU jumlah pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah pemilih laki-laki, yakni sekitar 126.000 (perempuan 92.929.422, laki-laki 92.802.671). Pada kenyataannya, perempuan cenderung lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin.
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa beberapa permasalahan di atas merupakan alasan mengapa kuota tersebut tidak pernah terpenuhi sampai saat ini. Sehingga perlu untuk diatasi dengan berbagai cara seperti, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keterwakilan perempuan dalam Lembaga legislatif, dukungan besar dari partai politik dan keluarga, Pendidikan politik lebih ditingkatkan lagi,dan juga meningkatkan pemahaman terhadap perspektif gender di berbagai sektor.
*Penulis: Yulia Dwijayanti (Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)