Di negara yang menjunjung sistem demokrasi, tempat kekuasaan tertinggi berada dinaungan rakyat. Pastinya kampanye pemilu menjadi pesta demokrasi besar sebagai tempat penyaluran dari berbagai aspek penyampaian aspirasi, keluhan, dan harapan masyarakat dari berbagai kalangan. Agenda pemilu bukanlah hal yang baru di negara kita, tetapi tetap menjadi kewajiban yang harus diperhatikan dalam pelaksaannya.
Kampanye politik dengan masyarakat diumpamakan sebagai proses jual-beli, proses ini terjadi jika kedua belah pihak memiliki kesepakatan dan didukung daya tarik yang saling menyesuaikan sehingga mencapai pada tahap mufakat, maka proses kampanye dinyatakan pada tahap selesai dan berhasil. Pencapaian mufakat tersebut akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap citra partai politik, baik dari calon legislatif, maupun bagi calon presiden dan wakil presiden yang menjadi pusat perhatian masyarakat.
Kampanye politik adalah ranah unjuk diri masing-masing calon legislatif dari partai politik dalam mengusungkan keunggulan program kerja yang dimiliki, guna mendapatkan umpan balik yang baik dari masyarakat untuk Pemilu mendatang. Dibalik itu terdapat tantangan tersendiri bagi partai politik dalam menjaga citra baik kampanyenya, karena pandangan buruk mengenai desas-desus black campaign yang tersebar diberbagai media massa, propaganda negatif, serta kampanye yang membawa gimmick semata. Tentunya hal tersebut akan menjadi pedang bermata dua, apakah menjadi keuntungan atau kerugian? Atau hanya menjadi permainan lama politik yang turun temurun tanpa pembaruan?
Dilansir dari Data Pemilih Tetap (DPT) yang dipublikasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU), persentase peserta pemilihan umum 2024 mendatang, sekitar 56,45%, setengah lebih dari total keseluruhan peserta Pemilu didominasi oleh generasi Milenial terutama Generasi Z atau nama bekennya “gen z” dengan rentang umur sekitar 17 hingga 24 tahun, menginjak pada usia produktif berpikir.
Apakah ini penting? Tentu iya, karena generasi muda zaman kini memiliki tingkat kewaspadaan dan keunggulan dalam menyaring dan memilah isu mengenai segala hal yang berbau politik dan juga generasi yang lebih melek dan terbiasa terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi digital. Namun, kebiasaan Gen Z yang terlalu fleksibel menciptakan pemberontakan emosional dan ketergantungan validasi sosial. Sehingga ini menjadi tantangan baru bagi partai politik dalam taktik penyelenggaraan kampanye Pemilu 2024
Perwujudan revolusi industri 4.0 menghasilkan dunia serba daring dan berinternet untuk memudahkan segala kegiatan industri dan aktivitas manusia. Segala perkembangan dan kemajuan teknologi yang dihadirkan, membuat perubahan baru yang dikehendaki dalam menyesuaikannya oleh pribadi, suatu kelompok, maupun lembaga besar agar tidak terjadi ketimpangan ketertinggalan dan secara tidak langsung menciptakan generasi muda yang penuh informasi teknologi.
Dalam segala aspek, termasuk politik negara menyinkronkan media atau saluran kuasanya, kampanye politik lah yang menjadi sorotan saat ini dengan didampingi Gen Z yang memiliki pengaruh besar di dalamnya.
Media digital menjadi alat perang partai politik dalam menarik massa pendukungnya semaksimal mungkin dan juga memberi pengaruh pada respon partisipasi politik masyarakat. Berdasarkan UU RI No.7 tahun 2017 menyatakan media sosial merupakan salah satu sarana berkampanye dalam menyebarkan berita, menyampaikan informasi, dan memobilisasi berbagai aktivitas politik dengan cara berinteraksi, mengekspresikan dan menginovasikan ide dalam strategi komunikasi politik. Akan tetapi, semua itu dianggap formalitas belaka, banyak oknum-oknum yang menyalahgunakan media online massa, seiring semakin panasnya pergulatan kampanye politik.
Oleh sebab itu, pengimplementasian komunikasi media online dalam penyelenggaraan kampanye yang berbasis Gen Z dalam menarik perhatian respon baik Generasi Z. Pengaruh keterlibatan besar Generasi Z dalam berkampanye ditahun 2024 kelak, menghadirkan kontribusi besar bagi kandidatnya. Keakraban Generasi Z dengan teknologi, menjadikannya penguasa dunia maya. Segala berita, isu dan permasalahan yang disebarluaskan, akan mempengaruhi respon Generasi Z. Keterlibatan ini dapat menggiring dari berbagai kacamata publik terhadap ulasannya. Tidak dapat dipungkiri, keinginan setiap kandidat dalam menguasai suara dan dukungan dari Generasi Z.
Responsif Generasi Z yang relatif dominan ini sangat mempengaruhi atmosfer berkampanye kelak, dilihat dari gaya komunikasi digital generasi ini yang mampu dan mudah menggiring opini, menyampaikan indikasi dalam menarik pusat perhatian, dan kemungkinan terlibat dalan perilaku partisipasi politik yang kontroversial. Kemudahan akses di media sosial dalam mengekspresikan berupa membagikan postingan pemilu, mengomentari berita pemilu, dan bereaksi dengan emosi pada isu pemilu. Jembatan antara politik dengan gen z bisa menjadi penghubung atau jurang tersendiri, memaknai dari segala perspektif penggunaan media daring tidak mampu dikendalikan kepada arah yang benar yang dibumbui kampanye gelap menambah kesan buruk, secAra tidak langsung menarik oknum berbuat ujaran kebencian, perundungan dunia maya dan berbagai cybercrime lainnya.
Dengan demikian, diharapkan partispasi Generasi Z terhadap kegiatan politik seperti salah satunya yang sedang hangat diperbincangkan, yaitu kampanye, dapat dicegah dengan kesadaran teknologi dan kesadaran hidup berdemokrasi dalam menyampaikan aspirasinya. Sehingga menciptakan politik dan generasi yang sehat hubungannya dan tentunya dari seluruh suara dapat dimanfaatkan pada tempat yang tepat, tidak hanya untuk dimanfaatkan dominasi usaranya. Namun, bisa menjadi catatan baru yang baik untuk keberlangsungan pemimpin dan warga negara kelak.
*Penulis: Hana Tifhatun Nisa (Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)