Langgam.id - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan gempa yang terjadi pada Sabtu (2/2/2019) bersumber dari Zona Megathrust.
Zona Megathrust merupakan area pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Di Sumatra Barat, zona ini berada memanjang di sebelah barat Kepulauan Mentawai.
"Gempa bumi ini termasuk dalam klasifikasi dangkal akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia tepatnya di zona Megathrust Segmen Pagai," tulis Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly, dalam siaran pers Sabtu malam.
Bila diperhatikan peta, titik koordinat gempa terletak di laut, arah barat Pulau Pagai Utara dan Selatan. Kedua pulau paling selatan di Kepulauan Mentawai ini yang paling dekat dengan koordinat gempa.
Posisi lain, sekitar 105 km arah tenggara Tuapejat, ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dari Padang, berjarak lebih dari 230 kilometer.
BMKG merilis, gempa utama sebesar 6,1 Skala Richter (SR) pada kedalaman 26 kilometer terjadi pukul 16.27 WIB di titik koordinat 2,92 Lintang Selatan dan 99,98 Bujur Timur. Ini adalah data yang sudah diperbarui setelah dilengkapi. Dengan data awal yang masuk beberapa saat setelah gempa, BMKG semula merilis magnitudo gempa 6,0 SR.
Menurut BMKG, hingga pukul 21.00 WIB, sudah terjadi gempa susulan 52 kali. Namun, hanya lima gempa yang di atas 5,0 SR dan dirasakan masyarakat.
Secara berturut-turut yakni: 5,3 pada pukul 16.03 WIB, 6,1 SR pada pukul 16.27 WIB, 5,3 SR pada pukul 16.58, 5,9 SR pada pukul 17.59 WIB dan 5,0 SR pada pukul 20.10 WIB.
Dari hasil permodelan gempa, menurut BMKG, gempa tidak memicu terjadinya tsunami. BMKG terus memonitor perkembangan gempabumi smusulan dan akan menginformasikan hasilnya kepada masyarakat melalui media.
Dampak gempa berdasarkan laporan masyarakat dirasakan di Padang Panjang, Bukittinggi dan Solok II-III Modified Mercalli Intensity (MMI), Padang, Pariaman dan Painan III-IV dan Kepulauan Mentawai (Tua Pejat,Pagai Selatan) IV-V MMI.
Berdasarkan data sementara yang masuk ke BMKG, tercatat Puskesmas Sikakap rusak ringan dan Mercusuar yang sudah tidak berfungsi roboh.
MMI atau disebut juga Skala Mercalli adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa berdasar tingkat kerusakan akibat gempa tersebut. Ada 12 tingkat skala MMI.
Berdasar panduan BMKG, untuk gempa II MMI, getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung bergoyang. Sementara, III MMI, getaran dirasakan nyata dalam rumah, seakan-akan ada truk berlalu.
Untuk skala IV MMI, dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di luar oleh beberapa orang, jendela dan pintu berderik dan dinding berbunyi.
Sementara, untuk V MMI, getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Untuk kategori ini, menururut BMKG, biasanya orang tidur umumnya terbangun, gerabah pecah, barang-barang terpelanting, tiang-tiang dan barang besar tampak bergoyang, bandul lonceng dapat berhenti
Konvergensi kedua lempeng di zona subduksi Megathrust, menurut BMKG, membuat kawasan sumber gempabumi ini sangat aktif di wilayah Sumatra. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempabumi ini dipicu oleh penyesaran naik (thrust fault).
BMKG juga mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan mengikuti arahan BPBD setempat serta informasi dari BMKG. Masyarakat diimbau agar jangan terpancing oleh isu yang tidak bertanggungjawab mengenai gempa bumi dan tsunami.
Meski demikian, juga diimbau untuk tetap waspada dengan kejadian gempa susulan yang pada umumnya kekuatannya semakin mengecil.
Pusat gempa Mentawai inilah yang ditekuni Peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawijaya selama bertahun-tahun. Bahkan, jauh sebelum gempa dan tsunami Aceh pada 2004.
Pada Kamis (24/1/2019), Danny menghadiri rapat koordinasi mitigasi dan penanganan bencana gempa dan tsunami di Auditorium Gubernuran Sumbar, Padang.
Saat itu, ia menyatakan khawatir masyarakat belum siap dan siaga menghadapi potensi gempa besar dan tsunami yang masih mengancam di segmen itu.
“Kita harus ingat bahwa bahaya megathrust Mentawai yang kekuatannya bisa mencapai hingga 8,8 Skala Richter itu masih ada. Memang kita tidak tahu kapan itu akan terjadi, tapi secara ilmiah kita sudah berada di periode masa pelepasan energi megathrust Mentawai sejak tahun 2007,” katanya, Kamis itu.
Secara ilmiah, menurut Danny, tidak ada lagi yang baru dari penelitian kegempaan di Sumbar. Ia sudah lama melakukan penelitian. Berbagai peta gempa dan tsunami juga sudah dibuat sekitar sepuluh tahun lalu.
“Hal yang paling penting dari potensi ancaman bencana tersebut adalah kesiapsiagaan masyarakat Sumbar dalam menghadapinya,” ujar dia. (Rahmadi/HM)