Setelah Gubernur Sumatera Barat mengabaikan aksi massa Air Bangis selama 6 hari, aparat polisi kemudian mengusir masyarakat Air Bangis secara paksa dari Masjid Raya Sumbar. Kejadian ini sangat mengkhawatirkan karena pengusiran ini disertai dengan pemukulan dan penangkapan terhadap belasan masyarakat, pendamping hukum, dan mahasiswa. Tindakan kekerasan ini semakin memperpanjang daftar panjang aksi kekerasan oleh aparat polisi di Indonesia. Perkembangan mutakhir, dua aktivis LBH melaporkan aksi pemukulan aparat ke Polda Sumbar (https://www.walhisumbar.org/).
Tindakan aparat yang melakukan intimidasi dan penangkapan di Masjid Sumbar pada Sabtu, 5 Agustus 2023, semakin menguatkan temuan riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada tahun 2021 yang menunjukkan bahwa penyelesaian konflik agraria di Indonesia setelah reformasi masih belum sepenuhnya selesai (www.Komnasham.go.id).
Aparat hukum seringkali cenderung mendukung pihak-pihak tertentu dan menggunakan tindakan kekerasan. Pola ini masih mirip dengan cara penanganan kasus selama era Orde Baru yang mengandalkan intimidasi dan tidak menghargai hak asasi manusia.
Dalam diskusi program Advokat Sumbar Bicara (ASB) di Padang TV pada Jumat, 4 Agustus 2023, yang melibatkan beberapa narasumber seperti Samaratul Fuad dari tim advokasi masyarakat Air Bangis, Busyra Azheri sebagai pakar hukum korporasi, Yulia Mirwati sebagai pakar hukum agraria, Rahim Mardanis dari Kadin Sumbar, Doni Satria sebagai pakar ekonomi, Syafruddin Karimi sebagai pakar ekonomi, Erizal Effendi sebagai praktisi hukum, Edri Rahmansyah dari Korpus BEM Sumbar, dan Nopalion dari DEMA UIN IB Padang, tergambar bahwa konflik di Air Bangis adalah salah satu cerminan masalah agraria yang kompleks di Sumatera Barat.
Semua pihak tentu mencoba melihat lebih jernih pada kasus Air Bangis ini dan berupaya memberikan alternatif solusi yang berkeadilan. Namun, semua pembicara sepakat bahwa itikad baik pemerintah sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik agraria di Air Bangis. Bahkan, Komnas HAM mendesak pemerintah pusat untuk turun tangan menyelesaikan kasus ini (www.Langgam.id)
Masalah agraria di Air Bangis juga sebenarnya mengangkat polemik lama ke permukaan, yaitu tumpang tindih antara UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 dan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, termasuk UU Minerba No 3 Tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas kepentingan bisnis dan industri yang cenderung mengabaikan prinsip keadilan agraria dan melupakan hak rakyat.
Dalam kasus Air Bangis, pemerintah provinsi dan aparat polisi mengklaim hutan produksi sebagai milik negara berdasarkan UU kehutanan dan melaporkannya kepada pemerintah pusat serta calon investor sebagai lahan yang bersih dan siap untuk investasi PSN. Namun, faktanya berbeda. Lahan yang diklaim hutan produksi itu telah lama menjadi pemukiman, lahan perkebunan masyarakat, tempat ibadah, pendidikan, dan fasilitas umum lainnya.
Masyarakat tentu memperjuangkan hak mereka atas tanah berdasarkan UU Pokok Agraria yang lebih mengakomodasi kepentingan rakyat atas tanah. Hal ini pun dibenarkan oleh Samaratul Fuad, tim advokasi masyarakat Air Bangis.
Jika kita merujuk pada tujuan UU Pokok Agraria, tanah seharusnya diperuntukkan bagi rakyat sebagai ruang hidup untuk mencapai kesejahteraan. Negara juga seharusnya berperan dalam memfasilitasi agar rakyat memiliki akses untuk mengelola dan mengolah tanah. Bahkan, UU Pokok Agraria menyatakan bahwa tanah tidak boleh dikuasai oleh individu dalam jumlah yang berlebihan dan harus didistribusikan kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka.
Pada titik ini, reforma agraria harus diutamakan oleh negara untuk melindungi hak rakyat atas tanah atau paling tidak memberikan akses bagi rakyat untuk mengelola hutan melalui sistem perhutanan sosial, daripada mengkriminalisasi dan merampas hak mereka atas tanah.
Intimidasi oleh Aparat Polisi
Kasus konflik agraria di Air Bangis menggambarkan minimnya pemahaman aparat terhadap filsafat hukum agraria, yaitu bahwa masyarakat seharusnya diberi akses terhadap tanah, baik dalam bentuk kepemilikan maupun hak pengelolaan, untuk meningkatkan kesejahteraan. Pemerintah tidak seharusnya hanya mengutamakan kepentingan investor dan menggunakan aparat polisi sebagai alat intimidasi demi melancarkan kepentingan investasinya. Tanah merupakan bagian integral dari masyarakat.
Pemahaman hukum aparat polisi tampaknya masih bergantung pada landasan hukum kolonial yang cenderung mengontrol masyarakat seperti bangsa yang dijajah daripada melakukan pendekatan persuasif ala negara maju. Penulis pernah hidup di Jepang dan melihat polisi di negara maju tersebut melayani dengan sepenuh hati, mengutamakan tindakan persuasif dan mengharamkan kekerasan. Sangat mungkin, tumpang tindihnya berbagai aturan hukum di negeri ini terkait sektor agraria, termasuk UU Pokok Agraria dan UU Kehutanan, memberikan celah bagi aparat untuk mengintimidasi masyarakat.
Konsep human capability yang dikemukakan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum (1993) seharusnya diadopsi oleh aparat polisi untuk melihat bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk hidup layak tanpa memandang strata sosial. Negara dan aparatnya harus memastikan setiap individu memiliki akses terhadap kebutuhan dasar termasuk hak atas tanah dan rasa aman. Aparat polisi juga harus memahami dan mendalam pada UU Pokok Agraria serta mengintegrasikan prinsip-prinsip filosofisnya. Oleh karena itu, aparat polisi perlu membersihkan hati dan mengklarifikasi pemikiran sebelum bertindak baik secara individu maupun sebagai institusi.
Reformasi polisi membutuhkan itikad baik dari internal dan eksternal kepolisian. Institusi polisi tidak boleh dijadikan alat politik (Haripin dan Siregar, 2016), apalagi alat memukul rakyat. Perubahan substansial dalam konteks penegakan hukum dapat dimulai dengan memperkuat profesionalisme aparat polisi untuk membantu pemerintah secara persuasif mendorong masyarakat untuk mencintai hukum ala Immanuel Kant (1781) sehingga perlahan-lahan sistem keadilan sosial tercipta dan human capability terpenuhi.
Alhasil, kepentingan rakyat harus diutamakan sebelum kepentingan korporasi. Jika pemerintah tidak memberikan solusi dan aparat terus menerapkan pendekatan represif dan kekerasan, rakyat pasti akan mengedukasi diri mereka sendiri untuk mandiri dan mempertahankan hak-hak mereka terhadap ruang hidup dan kebebasannya.
*(Pengamat Media dan Demokrasi. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas)