Kesaksian Warga Air Bangis: Kami Dipaksa Pulang dengan Cara Bengis

Polisi membubarkan paksa warga dari Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis yang telah berdemonstrasi lima hari di kantor gubernur Sumatra Barat

Para warga Air Bangis saat berada dalam bus yang sudah disiapkan untuk membawa mereka pulang ke Pasbar. [foto: Dharma Harisa]

(Tulisan ke 1 Liputan Khusus Konflik Agraria Air Bangis)

Langgam.id - Unjuk rasa ribuan warga Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, berhari-hari sejak dimulai pada 31 Juli 2023 di Padang, kandas pada 5 Agustus 2023, setelah dipaksa angkat kaki dari kediaman mereka selama demonstrasi di kawasan Masjid Raya Sumbar. Pembubaran paksa yang dilakukan Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Barat ini, juga diamankan 18 orang yang terdiri dari warga, mahasiswa dan aktivis.

Pengamanan terhadap 18 orang juga berakibat pada luka-luka fisik. Enam orang yang diamankan yang terdiri dari dua warga, dua mahasiswa dan dua aktivis LBH Padang mendapatkan luka-luka dan memar di bagian kepala belakang, perut, lengan, bahu dan leher.

"Kami mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Barat memproses hukum polisi-polisi yang brutal dan tidak presisi. Nama baik kepolisian Sumatra Barat sedang dipertaruhkan," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani.

Pembubaran paksa warga Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis yang telah menginap selama 6 hari Masjid Raya Sumatra Barat, Padang, murni inisiatif dari pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar. Pihak Polda Sumbar menampik pembubaran massa aksi berkaitan dengan agenda tokoh nasional seperti kedatangan bakal calon Presiden RI pada Pemilu 2024 ke Masjid Raya besok, 6 Agustus 2023.

"Pembubaran inisiatif dari kita. Tidak ada hubungan kegiatan besok. Yang masih bertahan sore ini, kita himbau untuk pulang," Karoops Polda Sumatra Barat Kombes. Pol. Djadjuli, kepada wartawan di pelataran Masjid Raya Sumatra Barat, Sabtu (5/8/2023).

Djadjuli juga memastikan, unjuk rasa itu sifatnya sia-sia mengacu pada tuntutan mereka. Artinya, Djadjuli menjelaskan, beberapa tuntutan mereka tidak akan dipenuhi seperti masalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang notabene proyek nasional. Lalu melepaskan 2 tersangka yang ditahan.

"Itu hal yang tidak mungkin direalisasikan. Maka kita inisiatif dari pimpinan, mereka tidak bisa lagi. Ini tempat publik, tempat orang banyak," katanya.

Masyarakat Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, yang melakukan demonstrasi di depan kantor Gubernur Sumatra Barat, sejak Senin (31/7/2023), melayangkan sejumlah tuntutan kepada Gubernur dan Kapolda Sumbar.

Tuntutan masyarakat ini buntut rencana Pemerintah Provinsi Sumatra Barat terkait PSN di Pasaman Barat.

Mereka menuntut agar Gubernur mencabut usulan tentang PSN kepada Menteri Koordinator kemaritiman dan Investasi. Hal itu tercantum dalam surat No: 070/774/BALITBANG-2021.

Hal itu berdasarkan rilis dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia wilayah Sumbar, membuat konflik agraria di Air Bangis meningkat.

Massa juga menuntut Gubernur Sumbar membebaskan lahan masyarakat Air Bangis dari kawasan hutan produksi. Selain itu, massa juga meminta agar masyarakat bisa menjual hasil sawitnya kemana pun dengan bebas (mekanisme pasar).

Demonstran juga menuntut Kapolda Sumbar agar menarik mundur seluruh Brimob yang berada di lahan masyarakat Air Bangis.

Sebelumnya, kata massa aksi dalam orasinya, dua orang teman mereka juga ditahan oleh Polda Sumbar. Aksi ini turut meminta agar Kapolda membebaskan teman-teman mereka yang ditahan.

Mereka meminta Kapolda untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat Air Bangis.

Selama hari-hari berunjuk rasa, mereka menginap di pelataran Masjid Raya Sumatra Barat. Dan Sabtu (5/8/2023), jadi akhir cerita perjuangan mereka dalam menuntut keadilan di ibukota Sumatra Barat, Kota Padang. Mereka dipulangkan paksa ke Air Bangis, kampung mereka.

Berdasarkan pantauan Langgam.id dan wawancara dengan sejumlah warga Air Bangis, mereka menuturkan, pemulangan paksa ini dilakukan dengan cara brutal atau bengis.

Warga berinisial HL, menceritakan, siang hari sebelum pembubaran paksa, ada perwakilan masyarakat yang diminta untuk berdialog di Kantor Gubernur Sumatra Barat.

"Komunikasinya, kami menunggu kawan-kawan pulang dari kantor gubernur. Kalau tidak ada keputusan, kita tidak pulang. Sekarang kami dipaksa pulang dengan cara brutal," katanya, Sabtu (05/08/2023).

Soal perutusan warga yang berdialog dengan pihak Gubernur itu, sama dengan dengan cerita Wakil Bupati Pasaman Barat, Risnawanto dan Kepala Biro Operasi (Karoops) Polda Sumbar Djadjuli.

Kata Riswanto, dia menjanjikan perwakilan warga untuk berdialog dengan gubernur. Dengan harapan, warga mau balik ke Pasaman Barat. Sementara Djadjuli mengatakan, kala pembubaran itu, sedang ada komunikasi 20 orang (utusan warga) ke gubernuran. Namun menurutnya, tidak mungkin juga ditunggu, karena beberapa tuntutan mereka tidak akan dipenuhi.

"Beberapa tuntutan mereka tidak akan dipenuhi seperti masalah PSN itu kan proyek nasional. Lalu melepaskan 2 tersangka yang ditahan," ujar Djadjuli.

Sampai saat ini HL belum tahu hasil pembahasan yang ada di kantor gubernur. Ketika utusan mereka pergi, datanglah sejumlah Brimob beserta polisi yang lain untuk memaksa pulang secara brutal.

Dalam video yang diambil Langgam.id, sejumlah polisi berpakaian dinas lengkap dengan sepatu lars, memasuki masjid lantai 1. Pada lantai tersebut menghampar lapik panjang salat. Sebagian warga melantunkan zikir dan salawat saat aparat kepolisian memasuki ruangan itu.

Warga yang bertahan di dalam ruangan itu, dipaksa keluar, menuju bus yang telah menanti di sekitar masjid. Mereka yang kukuh bertahan, diangkat secara paksa.

Selain itu tutur HL, dirinya dan keluarga turut mendapat kekerasan dari polisi. "Anak saya ini dipaksa keluar masjid dengan cara didorong," ucapnya. Anak HL sendiri masih kecil dan seorang perempuan. Ia melihat saat itu semua masyarakat Air Bangis dipaksa untuk mau keluar pelataran masjid dan masuk ke dalam bus.

Kini, HL dan anggota keluarganya, hanya bisa mengikuti apa kata polisi dan terpaksa meminggirkan diri keluar Masjid Raya. Semua warga dari Pigogah Patibubur Nagari Air Bangis dipaksa pulang oleh polisi.

Yang dipaksa polisi bukan saja mereka yang tengah berunjuk rasa, tapi juga ada di antaranya, anak bayi, balita, lansia, dan kelompok rentan lainnya.

Dari pantauan Langgam.id, dimana-mana saat upaya pemulangan paksa, anak-anak dan wanita menjerit-jerit tidak mau dipulangkan.

Mereka hanya tertunduk lemas sambil memeluk anak-anaknya yang menangis. Satu per satu, mereka diarahkan keluar Masjid Raya Sumbar untuk masuk ke dalam bus yang disiapkan pemerintah.

Mereka yang belum mendapat bus, lalu disatukan dalam kelompok-kelompok dan dikelilingi oleh polisi.

Mulanya, sekitar pukul 15.20 WIB, polisi dan Sat Brimob Polda Sumbar masuk ke dalam pelataran Masjid Raya Sumbar. Warga saat itu sedang bersalawat sembari mendoakan utusan yang pergi ke kantor gubernur.

Polisi lalu menyuruh dan memaksa masyarakat untuk pulang dan naik ke atas bus yang telah disediakan. Kurang lebih ada sekitar 18 unit bus yang digunakan untuk membawa masyarakat kembali ke Air Bangis.

Dalam proses pemulangan ini, terjadi cekcok antara warga dan polisi. Brimob dengan jumlah banyak lalu membentuk barisan mengepung pelataran masjid tempat masyarakat berkumpul.

Beberapa orang lalu ditangkap polisi dan dibawa ke Polda Sumbar. Di antaranya masyarakat, pendamping, dan mahasiswa.

Kemudian Brimob, polisi, dan Polwan masuk untuk mengangkat dan menyuruh warga yang tidak mau pulang. Dengan menentang senjata dan kelengkapan anti huru-hara (gas air mata, pentungan) warga digiring agar keluar dari ruangan lantai dasar masjid.

Tanpa membuka sepatu, mereka lalu-lalang menyudutkan warga yang bertahan di sana. Semua warga lalu. dipaksa keluar. Polisi juga menyisir lantai atas Masjid Raya Sumbar.

Warga yang tidak mau naik bus, terus dipaksa dan diangkat sampai ia kehabisan tenaga. Dan kemudian dibopong ke atas bus.

Selain HL, berikut keterangan saksi mata lain soal pembubaran paksa itu. Kami sengaja menuliskan saksi mata dengan inisial, sebagai upaya mitigasi keamanan yang bersangkutan. Berikut petikan keterangan masing-masing saksi mata itu:

  1. Nama : E

"Ketika Habib sedang memegang kamera untuk merekam kejadian di sekitarnya, sekelompok aparat mendekatinya dengan cepat. Mereka langsung melarang Habib untuk merekam video, dengan nada tegas dan otoritatif."

Tidak tinggal diam, Alfi yang berada di dekat Habib segera mempertanyakan dasar larangan tersebut. "Apa alasan kalian melarang kami merekam?" tanyanya, dengan nada menantang.

Cekcok pun tak terhindarkan. Suasana memanas ketika Habib dan Alfi berdebat dengan para aparat kepolisian. Kedua belah pihak berargumen sengit, masing-masing berusaha mempertahankan posisi mereka.

"Namun, tanpa peringatan lebih lanjut, para aparat bertindak lebih jauh. Mereka menyeret Habib dan Alfi, memaksa dengan cara menarik lengan mereka menuju mobil patroli. Habib dan Alfi, meskipun terkejut, tetap berusaha melawan, mempertahankan hak mereka sebagai warga negara."

  • Nama : A

"Dalam upaya mendokumentasikan peristiwa yang sedang terjadi di lokasi, saya tiba-tiba dicegat oleh sekelompok aparat kepolisian. Mereka dengan tegas melarang saya untuk mengambil video dan memaksa saya menyerahkan ponsel kepada mereka."

"Ketika dipaksa naik ke atas mobil, saya mencoba melawan dan berhasil lolos. Namun, saat berusaha mengamankan diri dari kepungan mereka, tiba-tiba dari arah samping kiri, sekitar empat orang aparat kembali mencoba merampas ponsel saya. Dengan cepat, saya bereaksi dan memasukkan ponsel ke dalam celana dalam saya."

"Dalam upaya mereka merebut ponsel tersebut, tangan kiri saya mengalami memar karena ditarik paksa oleh para aparat. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana situasi di lapangan dapat berujung pada tindakan kekerasan yang tak terduga."

  • Nama : I

"Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana teman-teman saya ditarik paksa oleh aparat. Mereka diseret masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan sebelumnya. Pemandangan ini semakin suram saat saya melihat sekelompok ibu-ibu yang sedang menggendong anak-anak mereka dibentak-bentak oleh aparat hingga ibu-ibu dan anak-anak tersebut menjerit dan menangis ketakutan."

"Ketika saya mencoba mendokumentasikan situasi ini, seorang intel menghampiri saya. Dengan nada keras, dia membentak dan menarik-narik saya. Ponsel saya pun diambil paksa. Saya langsung bereaksi dan mencoba merebut kembali ponsel saya. Namun, saya dipaksa untuk menghapus semua dokumentasi yang telah saya ambil."

"Meskipun terpaksa, saya menghapus semua dokumentasi tersebut. Namun, karena mereka tidak percaya, aparat kembali mengambil ponsel saya dan membuka semua privasi saya—WhatsApp, Instagram, galeri, Telegram, Twitter, dan lain-lain—untuk memastikan video itu benar-benar terhapus. Selain itu, mereka juga menggeledah tas saya."

  • Nama : H

"Kericuhan terjadi ketika polisi dan Brimob memasuki masjid setelah melakukan baris-berbaris dari pintu gerbang. Saat polisi memasuki ruangan masjid, saya sempat ditegur oleh seorang polisi karena duduk di lantai, meskipun saya tidak merekam apapun pada saat itu. Polisi tersebut dengan tegas melarang saya merekam."

"Setelah polisi masuk ke dalam masjid, saya melihat seorang aktivis ditangkap. Saya berusaha mengejar, namun segera dihentikan oleh polisi yang memegang saya erat untuk menghentikan langkah saya. Saya mencoba melepaskan diri dan akhirnya berhasil lolos dari cengkeraman polisi tersebut."

"Saya melarikan diri melalui jalan depan pos satpam, berpura-pura menjadi media untuk menghindari penangkapan. Saat itu, saya juga melihat polisi menyeret seorang bapak dari masyarakat ke dalam mobil sambil memukul dan menendangnya. Dengan cepat, saya melarikan diri keluar melalui pintu gerbang."

Peristiwa ini mencerminkan ketegangan yang terjadi di lapangan dan menunjukkan penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap warga dan aktivis.

  • Nama : D

"Saya menyaksikan banyak polisi berseragam lengkap dengan pentungan menghampiri masyarakat. Mereka memerintahkan kami untuk naik ke bus yang telah disiapkan. Ketika kami menolak, mereka memaksa kami dengan cara menarik-narik."

"Kami bereaksi dengan mendorong mereka, namun polisi tetap memaksa, dan terjadilah tarik-menarik antara masyarakat dan aparat. Akhirnya, saya bersama masyarakat lainnya terpaksa naik ke dalam bus. Setelah bus penuh, bus tersebut mulai bergerak maju."

"Bus berhenti di depan kedai-kedai sebelah masjid. Karena saya membawa kendaraan pribadi, saya meminta supir bus untuk menurunkan saya. Setelah saya turun bersama keluarga, kami langsung diperintahkan untuk keluar dari Masjid Raya."

  • Nama : M

"Ketika saya sedang berada di posko bantuan, seorang warga datang melaporkan bahwa dapur umum milik masyarakat telah dipadamkan tungkunya oleh polisi. Kejadian ini terjadi saat masyarakat sedang melakukan doa dan sholawat bersama."

"Tiba-tiba, polisi datang dan mengambil alih dengan membawa pengeras suara (toa), menginstruksikan agar masyarakat pulang ke Air Bangis. Mereka berjanji akan memfasilitasi dan mengawal warga sampai ke kampung mereka."

"Di tengah situasi yang tegang, saya melihat koordinator lapangan (korlap) dari mahasiswa hendak dibawa oleh aparat. Saat itu, seorang teman dari korlap tersebut dengan sigap mengamankannya, namun akhirnya teman itulah yang ditangkap oleh polisi."

  • Nama : MY

"Kami disuruh berkumpul di dalam masjid, namun tiba-tiba aparat kepolisian masuk dengan tameng dan pentungan. Bapak-bapak mencoba menghadang mereka di pintu masjid, tetapi karena jumlah polisi yang terlalu banyak, mereka berhasil menerobos masuk."

"Saat aparat memasuki masjid, kami semua lari ke pojokan masjid. Kami ingin bertahan dan tidak mau pulang sampai tuntutan kami dipenuhi. Namun, karena kami tidak mau pulang, banyak polisi yang mengepung dan menghadang kami dengan senjata seperti tameng, pistol gas air mata, dan pentungan. Ruang kami dipersempit sampai kami sesak berdempetan. Beberapa dari kami ditarik lengannya dan dipaksa naik ke bus yang telah mereka siapkan."

"Kami pun mendapatkan ancaman dari polisi, "Jika kalian tidak mau pulang, maka kalian akan ditembak." Selain itu, kami dilarang merekam kejadian. Beberapa teman kami bahkan melihat hp mereka dihancurkan oleh aparat kepolisian."

  • Nama : RH

"Saat masyarakat sedang menunggu hasil negosiasi di Kantor Gubernur, mereka melakukan kegiatan bersholawat bersama. Tiba-tiba, aparat dengan kekuatan penuh mendatangi lokasi tersebut dan menginstruksikan agar masyarakat segera pulang ke kampung masing-masing dengan bus yang telah disediakan."

"Namun, masyarakat menolak dengan alasan mereka masih menunggu kawan-kawannya yang sedang bernegosiasi."

"Di sisi lain, pimpinan tertinggi kepolisian saat itu memerintahkan seluruh anak buahnya untuk memaksa setiap orang yang merekam kejadian tersebut agar menghapus rekamannya. Jika ada yang menolak, mereka akan ditangkap."

  • Nama : I

"Saya tiba di Masjid Raya Sumbar pada pukul 15.00 WIB. Saat tiba di lokasi, saya melihat aparat kepolisian menginstruksikan masyarakat untuk segera pulang ke kampung masing-masing dengan bus yang telah difasilitasi oleh aparat."

"Saya menyaksikan ibu-ibu digiring oleh polisi wanita ke mobil, sementara masyarakat lainnya mencoba menghalangi dengan menarik ibu tersebut, sehingga terjadi dorong-mendorong antara warga dan aparat kepolisian. Selain itu, beberapa mahasiswa juga ditarik dan diseret paksa oleh aparat kepolisian ke dalam mobil."

"Tak hanya mahasiswa, beberapa warga lainnya juga diambil paksa oleh aparat dengan cara diseret lengannya, ditarik kerah bajunya, dan dijambak kepalanya. Melihat situasi yang semakin memanas, saya langsung berusaha menolong teman-teman dan warga lainnya. Saat saya mencoba menarik salah satu warga yang diseret, saya mengalami kekerasan fisik berupa kerah baju saya ditarik, rusuk saya dipukul, dan leher saya dipiting sembari diseret menuju mobil."

"Ketika sampai di depan pintu mobil, saya berhasil ditarik kembali oleh teman-teman lainnya. Namun, teman yang menarik saya justru berhasil dibawa ke dalam mobil oleh aparat, sementara saya berhasil lolos."

Peristiwa ini menggambarkan betapa tegangnya situasi di Masjid Raya Sumbar, dengan aparat yang menggunakan kekerasan untuk memaksa warga pulang dan menahan mereka yang mencoba melawan.

Nama : F

"Saat masyarakat sedang menunggu hasil negosiasi di Kantor Gubernur, mereka melakukan kegiatan bersholawat bersama. Tiba-tiba, aparat kepolisian dengan kekuatan penuh mendatangi tempat tersebut, membawa pengeras suara, dan langsung mengambil alih. Mereka menghimbau masyarakat agar pulang hari itu juga dengan bus yang telah disiapkan."

Meskipun demikian, masyarakat menolak himbauan tersebut. Aparat kepolisian kemudian mengepung dan mempersempit ruang gerak masyarakat menggunakan tameng. Tak lama setelah pengepungan, terjadi kekacauan saat salah satu mahasiswa ditarik oleh aparat kepolisian, lalu diseret dan dimasukkan ke dalam mobil.

"Situasi pun menjadi kacau dan tidak terkendali. Banyak masyarakat yang ditarik paksa, dikejar, diintimidasi, dan diancam oleh aparat kepolisian. Aparat bahkan masuk ke dalam masjid tanpa memperdulikan lapik untuk salat yang mereka injak-injak dengan sepatu."

(Tim Langgam.id)

Baca Juga

Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Semen Padang vs PSM Berakhir Imbang
Jabatan Gusti Chandra sebagai Direktur Kredit dan Syariah merangkap tugas Pjs Direktur Utama (Dirut) dan seluruh Direksi Bank Nagari,
Bank Nagari Siapkan Rp500 Miliar Ikut Danai Proyek Flyover Sitinjau Lauik
Debat publik kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Padang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang di Hotel Truntum
Cek Fakta: Hendri Septa Klaim Turunnya Kemiskinan, M Iqbal Soroti Tingginya Pengangguran di Padang
Seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) berhasil terperangkap dalam kandang jebak yang dipasang oleh Tim BKSDA Sumbar d
Sempat Buat Warga Khawatir, Akhirnya Harimau Sumatra Masuk Perangkap di Solok
Dalam debat pertama Pilgub Sumbar yang digelar di Hotel Mercure Padang pada Rabu (13/11/2024), calon Gubernur dan Wakil Gubernur memaparkan
Debat Pilkada Sumbar: Kebebasan Beragama dalam Sorotan, Tantangan bagi Toleransi di Ranah Minang
Debat Pilgub Sumbar: Apa Benar LGBT di Sumbar Peringkat Ketiga Nasional?
Debat Pilgub Sumbar: Apa Benar LGBT di Sumbar Peringkat Ketiga Nasional?