Dialektika demokrasi dapat dianalisis dari dua perspektif, yaitu sudut pandang elit politik dan perspektif masyarakat kecil. Jika kita melihat dari sudut pandang elit politik, kekuasaan yang ideal digunakan untuk memanfaatkan momen berkuasa untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat melalui perencanaan kebijakan ekonomi politik yang komprehensif.
Penguasa yang ideal adalah mereka yang melindungi kepentingan masyarakat. Atau setidaknya, jika tidak dapat melindungi, maka janganlah melukai rakyat kecil semata-mata demi mencari keuntungan ekonomi.
Namun, elit politik cenderung terjerumus dalam watak korupsi dalam kekuasaan, sebagaimana diingatkan oleh Milan Kundera, novelis Cekoslovakia, bahwa, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.” Terkadang, kekuasaan bahkan disalahgunakan oleh elit, menjadikannya milik kelompok tertentu saja.
Oleh karena itu, perlu ada pengawasan dan kritik terhadap kekuasaan agar tetap berjalan dengan lurus dan akuntabel. Mendengarkan kritik dari rakyat adalah bagian dari takdir kekuasaan. Rakyat memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban dari elit politik. Elit yang baik adalah yang mendengarkan kritik dari rakyat, sedangkan elit yang korup akan menghindari kritik dan mengabaikan masalah yang muncul.
Di sisi lain, demokrasi juga dapat dipahami dari perspektif masyarakat kecil. Karl Polanyi dalam karyanya "The Great Transformation" (1944) mengemukakan pandangan bahwa masyarakat adalah entitas yang paling penting dan harus menjadi prioritas utama dalam dinamika kekuasaan. Keberhasilan demokrasi diukur dari kemajuan masyarakat secara kolektif, bukan kemenangan kelompok elit.
Jika masyarakat kecil merespons kebijakan yang dianggap merugikan, tugas utama elit politik adalah mengevaluasi kebijakan tersebut. Elit harus menyadari bahwa ketika mereka memaksakan kebijakan, masyarakat tidak akan tinggal diam. Sebaliknya, masyarakat akan aktif merespon setiap kebijakan yang mengancam hak dan kehidupan mereka.
Karl Polanyi (1944) juga menjelaskan tiga elemen pokok yang menyebabkan masyarakat merespons kebijakan elit politik. Ketiga elemen ini membentuk kemandirian dan kehidupan masyarakat. Pertama adalah tanah, yang memiliki peran penting dalam identitas dan mata pencaharian masyarakat.
Tanah adalah tempat bagi masyarakat untuk hidup dan mencari nafkah dengan bertani guna memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri, keluarga, atau komunitas. Gangguan terhadap hak atas tanah dapat memicu reaksi dari masyarakat, yang bahkan rela berkorban untuk mempertahankan tanah mereka. Sejarah mencatat banyak konflik tanah di berbagai belahan dunia, termasuk di Sumatera Barat.
Kedua adalah pekerjaan, suatu aktivitas yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidup. Dalam konteks ekonomi, pekerjaan mencakup berbagai aktivitas individu atau kelompok yang menghasilkan produk atau layanan, dan ini berkontribusi pada mata pencaharian. Menurut pandangan Karl Marx (1867), pekerjaan adalah inti eksistensi manusia karena mengandung nilai rasional, universal, dan otonom.
Manusia menemukan esensi kemanusiaannya melalui pekerjaan. Oleh karena itu, jika masyarakat kesulitan mendapatkan pekerjaan atau tidak memiliki akses, maka mereka akan merespons, baik dengan cara yang santun atau bahkan melalui tindakan lebih drastis. Sejarah mencatat banyak mobilisasi politik, kerusuhan sosial, dan bahkan revolusi yang dipicu oleh masalah ekonomi, terutama kurangnya lapangan pekerjaan.
Ketiga adalah uang, sebuah medium pertukaran yang sah dalam berbagai transaksi dan memiliki nilai tertentu. Uang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan dan pertukaran barang. Saat individu bekerja, mereka mendapatkan penghasilan yang nantinya dapat digunakan untuk membeli barang dan layanan yang mereka butuhkan. Ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses uang akan menyebabkan reaksi dan ketidakpuasan di masyarakat.
Secara keseluruhan, tiga elemen ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak dapat dilepaskan dari ketiga elemen ini, dan negara memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak masyarakat untuk mengakses tanah, pekerjaan, dan uang. Negara hadir untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki akses yang bebas dan otonom terhadap ketiga elemen pokok ini.
Namun, dalam konteks kapitalisme modern yang diperankan oleh negara-negara kapitalistik, tiga elemen ini telah diperjualbelikan. Karl Polanyi (1944) menyebutnya sebagai komoditas fiktif, yaitu sesuatu yang seharusnya tidak dapat diperdagangkan atau dipisahkan dari masyarakat. Kapitalisme modern telah menjadikan tanah, pekerjaan, dan uang sebagai barang jual-beli tanpa perlindungan negara.
Akibatnya, sepanjang sejarah modern, kita sering melihat gerakan sosial yang disebut “countermovement" oleh Karl Polanyi (1944), di mana masyarakat berusaha mempertahankan hak-hak mereka atas tiga elemen ini yang seharusnya tidak bisa dijual.
Perlawanan Masyarakat Air Bangis
Pada akhir Juli dan awal Agustus 2023, di bawah terik matahari dan hujan deras, ribuan masyarakat Air Bangis turun ke jalan dan berkumpul di depan kantor Gubernur dan Polda Sumatera Barat. Mereka membawa keluarga, bahkan anak-anak mereka. Beberapa bahkan jatuh sakit akibat aksi protes ini.
Di depan kantor Gubernur, mereka menuntut Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, untuk mencabut usulan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah diajukan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, seperti yang tercatat dalam surat No: 070/774/BALITBNAG-2021. Masyarakat juga mengecam agar gubernur membebaskan lahan masyarakat Air Bangis dari status kawasan hutan produksi.
Selain itu, massa menuntut kebebasan bagi masyarakat untuk menjual hasil sawit mereka tanpa hambatan. Sayangnya, Gubernur Sumatera Barat menunjukkan ketidakberpihakan dengan enggan menemui mereka.
Di depan Polda Sumatera Barat, mereka meminta pembebasan dua anggota masyarakat Air Bangis yang telah ditangkap dan menarik pasukan Brimob dari daerah Air Bangis (Harisa, 2023).
Kasus konflik di Air Bangis merupakan bagian dari konflik agraria yang kompleks di Sumatera Barat. Konflik agraria di wilayah ini sudah lama terjadi, dengan banyak titik permasalahan, salah satunya adalah di Pasaman Barat.
Konflik agraria di Pasaman telah terjadi sejak era pemerintahan Suharto, melibatkan masyarakat setempat dengan aktor-aktor yang seringkali berafiliasi dengan militer dan memiliki kepentingan dalam bisnis kelapa sawit. Pemerintah sering kali memberikan dukungan kepada aktor-aktor ini (Afrizal, 2006; Suryani, wawancara 2 Agustus 2023).
Pola-pola konflik agraria di Sumatera Barat dapat bervariasi, tetapi sering kali penyelesaiannya melibatkan tekanan massa masyarakat untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka. Di sisi lain, pemerintah menggunakan kekuatan represif untuk menahan resistensi masyarakat.
Hasil riset agraria oleh YLBHI bersama kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa penyelesaian kasus agraria, baik yang lama maupun baru, masih stagnan. Ini termasuk juga kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat. Meskipun masyarakat sering kali protes, pemerintah masih terus memberikan izin dan dukungan kepada perusahaan swasta, BUMN, dan bahkan TNI untuk tetap beroperasi dan menguasai tanah masyarakat.
Terkadang, aparat hukum juga terlibat dalam penyelesaian yang mendukung pihak-pihak tersebut atas nama negara. Selain itu, terlihat kurangnya akuntabilitas negara dalam penyelesaian konflik agraria. Sebaliknya, negara atau pemerintah justru terlibat dalam eskalasi konflik agraria (www.Komnasham.go.id).
Dalam banyak kasus, masyarakat menginginkan hak-hak mereka atas tanah diakui dan jaminan yang diberikan, seperti perjanjian bagi hasil, harus dihormati hingga berakhir. Pemerintah juga seharusnya tidak sembarangan memberikan izin kepada pihak lain untuk mengelola tanah masyarakat tanpa memberikan perlindungan yang memadai. Namun, realitanya, pemerintah lebih cenderung mendukung investor yang dapat memberikan keuntungan ekonomi.
Mengacu pada teori demokrasi yang telah dijelaskan sebelumnya, jika elit politik gagal memanfaatkan kekuasaan mereka untuk berpihak pada masyarakat dan melindungi akses masyarakat terhadap tiga elemen penting ini, maka masyarakat akan merespons.
Masyarakat akan semakin aktif dalam bentuk gerakan sipil yang memprotes elit politik yang tidak memprioritaskan kepentingan masyarakat. Sejarah telah menunjukkan banyak gerakan sosial dan revolusi di seluruh dunia yang dipicu oleh kebijakan elit penguasa yang merugikan masyarakat. Elit pasti tumbang dan rakyat pasti tak bisa dikalahkan.
*(Pengamat Media dan Demokrasi. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas)