Hari ini wisata kuliner makin popular dan menjadi ceruk yang menguntungkan dalam beberapa tahun terakhir. Ia merupakan salah satu topik yang hangat di antara para blogger dan media konvensional. Saat liputan wisata tradisional hanya menyoroti tujuan wisata, pusat-pusat kuliner tidak lagi diabaikan tapi menjadi sorotan media saat ini.
Di Indonesia, pelopor wisata kuliner di media arus utama adalah almarhum Bondan Winarno, seorang mantan wartawan investigasi yang melakukan perjalanan melintasi banyak wilayah Nusantara dan bahkan di luar negeri. Bondan menikmati berbagai masakan Indonesia serta masakan asing. Dia membukukan kisah-kisah petualangan kulinernya dan menyelenggarakan beberapa program TV tentang topik tersebut.
Terinspirasi oleh Bondan, banyak blogger Indonesia kemudian mulai mengembangkan blog masing-masing untuk memfokuskan diri pada wisata kuliner. Juru masak, selebritas dan pengusaha kuliner William Wongso pernah melukiskan hubungan dekat antara makanan dengan budaya dan sejarah lokal.
Sebagai contoh, William menunjukkan bahwa hidangan untuk ngaben (upacara kremasi) di Bali membutuhkan dekorasi khas dan bahan-bahan terbaik, karena mereka memberikan persembahan kepada para dewa.
Reno Andam Suri, seorang pakar yang mengkhususkan diri dalam kisah di balik kuliner dan upaya mempromosikan masakan Sumatra, menyebutkan bagaimana rendang Padang di ranah Minang menggunakan bahan-bahan yang berbeda dalam budaya darek semisal di Bukittinggi dan dalam budaya pesisir Padang.
Ia menegaskan perbedaannya terletak pada jenis kelapa dan rempah-rempah yang digunakan, sehingga tekstur rendang yang dihasilkan tidak sama. Makanan juga memiliki kaitan dengan pemilik sekaligus juru masak dari rumah makan atau restoran tertentu. Ia menamakannya sebagai food persona.
Willliam pernah menyebut sosok Mbah Lindu. Beliau menjual gudeg di sebuah warung pinggir jalan di Jl. Sosrowijayan di Yogyakarta. Hidangan Yogyakarta ini dapat ditemukan di seluruh kota. Mbah Lindu, yang sudah berumur di atas 100 tahun, tetap memasak gudeg khasnya kepada pelanggan.
William lebih lanjut menyatakan bahwa Mbah Lindu sangat bahagia melayani pelanggannya, meskipun dia bisa saja menyerahkan pekerjaan itu kepada anak-anak atau cucunya.
Dalam nada yang sama, Reno berbicara tentang sosok Gustiati yang membuat bika Lintau, sebuah kue bundar kecil yang terbuat dari tepung beras dan kelapa (seperti keu apam di Jawa) yang dijual oleh tukang roti tradisional generasi ketiga di pasar Payakumbuh, Sumatra Barat.
Reno mengungkapkan bahwa Gustiati merasa bahwa membuat bika Lintau bukan hanya sarana mata pencaharian, tetapi juga didorong oleh misi untuk melestarikan kue tradisional di tengah gempuran kue-kue modern.
Ade Putri Paramadita juga dikenal sebagai pemengaruh (influencer) yang amat antusias membagi pemikirannya tentang kuliner yang dinikmatinya lewat saluran media sosialnya. Ia merupakan salah satu penutur atau pendongeng kuliner (culinary storyteller) paling berpengaruh di negara ini.
Ade percaya makanan tidak boleh digambarkan hanya sebagai "enak" atau "tidak enak". Hematnya, kita harus dapat menggambarkan rasa, bahan, rempah-rempah dan bahkan kompleksitas atau keberanian rasa.
Ia mengingatkan penutur kuliner harus memanfaatkan kelima inderanya untuk memahami makanan melalui bentuk, tekstur, aroma, dan rasa.
Ade menceritakan pengalamannya menyantap kidu-kidu, dengan bahan utama pembuatannya adalah ulat sagu, baik mentah dan dimasak di sebuah rumah makan di Sumatra Utara. Larva, pupa dan bentuk dewasa spesies kumbang hidup di telapak tangan gula di Kabanjahe, Sumatra Utara, atau di telapak tangan sagu di Papua Barat dan Sulawesi Utara.
“Awalnya saya merasa takut, tetapi ketika saya memasukkannya ke dalam mulut dan menggigitnya, cacing itu ternyata memiliki rasa ala piquan seperti santan mentah," kata Ade.
Dia kemudian mencoba larva yang dimasak dengan daun ubi jalar yang dihancurkan, dan rasanya sama-sama menyenangkan, tetapi dengan tekstur yang lebih kencang.
Penuturan kuliner ala Ade memang sangat krusial, terutama yang berkaitan dengan warisan kuliner Nusantara. Ia fungsional mendorong masyarakat mencoba dan mencicipi keunikan tradisi kuliner Nusantara yang sangat beragam. Ini juga membantu kita mendokumentasikan hidangan, sejarah dan pencipta atau asal kuliner masing-masing.
Sayangnya, naskah-naskah kuliner kita amat terbatas menyangkut hidangan era sejarah kerajaan dan kesultanan. Resep dan cerita makanan sebagian besar diturunkan secara lisan, sehingga sulit dilacak ketika orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang hal-hal ini sudah meninggal.
Sari Novita, seorang blogger dan pengarang yang menulis novel tentang masakan Indonesia abad pertengahan, juga menghadapi kesulitan yang sama. Dia telah mempelajari terjemahan teks-teks lama dan mewawancarai beberapa peneliti naskah abad pertengahan.
Ia mendapati bahwa penjelasan para ahli itu tidak cukup untuk melengkapi karyanya. Para juru masak dan penutur kuliner di masa lalu menurunkan resep secara lisan menggunakan bahasa daerah dan dialek lama. Banyak di antaranya tidak diucapkan atau dipahami saat ini. Oleh karena itu, kisah-kisah tentang makanan dan hidangan era lampau hilang sebelum sempat dicatat.
Kita berharap para penutur atau pendongeng kuliner ini mampu menceritakan lebih dari sekadar rasa makanan yang mereka nikmati, tetapi juga cerita di baliknya dan hubungannya dengan budaya dan sejarah daerah asalnya.
Tulisan-tulisan mereka merupakan langkah vital dalam mendokumentasikan masakan Indonesia dalam format digital dan cetak saat ini. Semoga saja sehingga khazanah kuliner Nusantara tidak hilang seiring waktu.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas