Geger Budaya

Geger Budaya

Donny Syofyan, S.S., Dippl. PA., M.HRM., M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

Kuliah di luar negeri bagi banyak mahasiswa Indonesia memang menyuguhkan pengalaman sangat menarik dan sekaligus menegangkan. Studi di luar negeri memberi para mahasiswa Indonesia kesempatan fantastis untuk mempelajari keterampilan baru dan kemajuan secara akademis, tapi pada saat yang sama juga membuat mereka mengalami geger budaya (cultural shock) yang serius.

Dalam artikel ini, saya membahas secuil wawasan dan pengalaman yang banyak dialami anak-anak Indonesia yang berkesempatan melanjutkan studi mereka di Australia.

Salah satu hal pertama yang saya perhatikan adalah manajemen waktu dan bagaimana orang-orang tepat waktu di Australia. Di Indonesia, orang lebih fleksibel dengan waktu dan ketepatan waktu: mahasiswa datang terlambat masuk kelas atau menghadiri rapat, dan acara sering dimulai lebih lambat dari yang dijadwalkan. Misalnya, mahasiswa datang ke kelas 10-20 menit terlambat atau bahkan dosen telat 10-15 menit terlambat.

Ironisnya, saya dulu juga seperti ini. Namun, di Australia sikap tepat waktu sangat dihargai. Sangat menantang untuk menyesuaikan diri dengan cara berpikir dan kerja yang baru ini. Tetapi ini memungkinkan mahasiswa Indonesia untuk menghargai manfaat mengelola waktu dengan benar, tepat waktu, dan menyelesaikan sesuatu juga tepat waktu.

Lingkungan sosial di Australia juga sangat berbeda dari apa yang biasa mahasiswa Indonesia lakukan di Tanah Air. Di Australia, terlepas dari dosen di kampus, orang-orang umumnya lebih pendiam atau tampak sibuk sepanjang waktu dengan pekerjaan atau urusan masing-masing. Ini menjadikan relatif sulit untuk memulai percakapan dengan orang asing.

Sewaktu saya kuliah di Canberra beberapa tahun silam, saya bertemu dengan beberapa orang yang ramah di sekitar Civic (pusat kota), di CityWalk dan Bunda Street, dan di semua toko tempat saya berbelanja.

Namun, di Indonesia, orang umumnya lebih ramah dan heboh. Kita biasa melihat orang-orang duduk berjam-jam tanpa melakukan apa-apa, bercanda atau bercerita, membahas sepak bola dan hal-hal lainnya. Perbedaan ini membukakan mata banyak mahasiwa Indonesia guna memahami bagaimana orang-orang dapat berinteraksi dan berhubungan satu sama lain.

Mereka yang usai studi di Australia, sebagai misal, dapat mencoba mengembangkan sistem yang akan menggabungkan cara-cara positif Australia yang dipelajari dengan cara hidup komunal masyarakat Indonesia. Canberra adalah kota yang tenang dan terorganisir dibandingkan dengan Jakarta, di mana hampir semua pemerintah dan aktivitas bisnis penuh sesak di sini.

Sebagai ibukota negara, penduduk Canberra tidak mencapai 500.000 jiwa. Canberra betul-betul murni sebagai pusat pemerintahan. Ini berbeda dengan Sydney dan Melbourne sebagai pusat bisnis dan perdagangan.

Jalan-jalan di Canberra lebih terorganisir dan sistem transportasi umum sangat efisien. Di Melbourne, moda transportasi publik sangat terintegral antara bus, trem dan kereta api. Anda tidak banyak lagi melihat kereta api  melintasi jalan sehingga mobil, truk dan motor harus berhenti dulu saat kereta api lewat.

Pemerintah negara bagian Victoria sejak beberapa tahun silam menggelontorkan dana miliaran dolar Australia untuk proyek 'level crossing removal' hingga tahun 2030, yakni menghapus rel-rel kereta api yang melintasi jalan dan membangun rel baru di atas jalan sehingga mengurangi arus kemacetan yang disebabkan lalu lintas kereta api.

Sebaliknya, kota Padang adalah kota kecil dengan lalu lintas kacau dan sistem transportasi umum yang tidak memadai dan tidak terorganisir. Syukur sekarang sudah ada Trans Padang dan taksi atau ojek online. Selama ini angkot di kota Padang (bahkan sampai sekarang) berhenti di mana saja sehingga menyebabkan kemacetan dan gangguan lalu lintas yang tidak perlu.

Kuliah di Australia memberi mahasiswa Indonesia apresiasi yang lebih besar untuk menghadapi tantangan begitu pulang ke Tanah Air , dan kebutuhan untuk pembangunan berkelanjutan dan perbaikan infrastruktur, termasuk untuk upaya bergerak menuju kota terdesentralisasi di banyak kota di Tanah Air.

Standar pendidikan di Australia jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Fasilitas, sumber daya, dan metode pengajaran mereka kelas dunia. Terus terang saya kagum pada kedalaman pengetahuan yang dimiliki dosen di sini dan tingkat keterlibatan mereka dengan para mahasiswa berbilang bangsa.

Kuliah di Australia memberikan perubahan dan pengalaman yang menyegarkan dari apa yang biasa mahasiswa Indonesia lakukan; pergi ke kampus, duduk di kelas, mendengarkan kuliah dan setelah kuliah selesai pulang. Pengalaman di kampus Australia akan memotivasi mahasiswa kita untuk berjuang demi keunggulan dalam pendidikan di Indonesia dan untuk mencari peluang untuk studi lebih lanjut, pertumbuhan karier dan pengembangan diri.

Indonesia dan Australia memiliki perbedaan budaya yang mencolok. Orang berpakaian, menyapa, dan berinteraksi dengan berbagai cara. Individualisme sangat dihargai di Australia, sedangkan Indonesia memiliki budaya yang lebih beragam namun komunal. Sangat menarik untuk menyaksikan dan belajar tentang perbedaan -perbedaan ini, serta mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang beragam nilai dan kepercayaan budaya.

Saya ingin menyebut sedikit peta kampus di Australia. Universitas Melbourne dikenal sebagai kampus dengan pemegang hadial Nobel (Noble Prize) terbanyak. Bagi yang ingin kuliah bisnis, bisa memilih kuliah di kampus UNSW—The University of New South Wales. Kampus ini terkenal menghasilkan banyak konglomerat, termasuk di Indonesia.

Universitas Nasional Australian (ANU) dikenal sebagai kampus negeri terbaik di Australia. Banyak perdana menteri Australia jebolan ini. Di Tanah Air, Chatib Basri, Marie Pangestu dan Burhanuddin Muhtadi juga pernah kuliah di ANU. Adapun kampus terbesar adalah Monash University, cabangnya tersebar di seluruh dunia, termasuk cabang di Indonesia yang beberapa tahun lalu mulai dibuka.

Terlepas dari kejutan atau geger budaya tersebut, mahasiswa Indonesia sebetulnya dapat menghargai keindahan dan keragaman alam Australia selama kuliah di sana. Sydney tidak dapat disangkal adalah kota yang menakjubkan, tetapi pantai dan garis pantai Indonesia sebetulnya tidak tertandingi dalam hal keindahan alam dan keragaman budaya kita.

Perbandingan ini seharusnya memotivasi mahasiswa Indonesia untuk mempromosikan potensi Indonesia sebagai tujuan wisata dan menyoroti keindahan khas negara kita, dari garis pantai hingga dataran tinggi serta pengalaman tradisional dan budaya otentik yang ditawarkannya, bukan hanya Bali.

Mahasiswa Indonesia yang merasakan geger budaya sebetulnya mengalami perluasan wawasan dan membuat mereka lebih sadar akan keragaman di seluruh dunia. Mereka pada akhirnya juga memiliki apresiasi baru untuk Tanah Air sendiri, keindahkan dan potensi Indonesia.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Baca Juga

Dalam pembukaan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatra Barat 2024, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatra Barat, Undri,
Menggali "Deposit Budaya": Kekayaan Tak Ternilai di Sumatra Barat
SURI Pamerankan "Batik Sunyi" Bermotif Iluminasi Manuskrip Minangkabau Karya Teman Tuli
SURI Pamerankan "Batik Sunyi" Bermotif Iluminasi Manuskrip Minangkabau Karya Teman Tuli
Pemutaran Film Warisan Budaya Mengakhiri Galanggang Arang Pamenan Anak 2024
Pemutaran Film Warisan Budaya Mengakhiri Galanggang Arang Pamenan Anak 2024
Biaya Kuliah Tinggi, UM Sumatera Barat Sediakan 6 Beasiswa
Biaya Kuliah Tinggi, UM Sumatera Barat Sediakan 6 Beasiswa
Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Damri hadirkan layanan armada terbaru trayek ke empat kawasan wisata unggulan di Sumbar.
Pemkab Solsel Usulkan Trayek Damri Sampai ke Kawasan Saribu Rumah Gadang
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Universitas Muhammadiyah Sumbar Luncurkan Beasiswa Peduli Bencana