Oleh: Fadli Hafizulhaq*
Beberapa tahun terakhir, keprihatinan akan dampak perubahan iklim mendorong banyak negara untuk menyepakati dan meratifikasi berbagai kesepakatan. Sebagai contoh Paris Agreement yang dirumuskan 2015 lalu, agenda utama kesepakatan ini adalah menahan laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius.
Selain itu, di tahun yang sama, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga mendorong semua anggotanya untuk menerapkan konsep yang saat ini kita kenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs)—atau jika kita alih bahasakan berarti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Baik konsep dan kesepakatan tadi tentu tidak hanya berlaku pada sektor khusus seperti energi, tetapi juga mencakup sektor lainnya dalam kehidupan masyarakat dunia, tidak terkecuali pertanian. Disadari atau tidak, sektor pertanian juga merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca ke lapisan ozon. Hal ini dapat terjadi tatkala pengolahan residu pertanian dilakukan dengan cara yang tidak tepat.
Pembakaran Residu Masih Jadi Pilihan
Salah satu kegiatan pertanian yang memberikan dampak terhadap pemanasan global adalah pembakaran residu atau sisa pertanian. Kegiatan pascapanen umumnya menyisakan bagian tanaman yang telah mengering. Hal yang paling umum kita lihat adalah budaya pembakaran jerami padi. Meskipun lebih mudah dan cepat, namun kegiatan pembakaran residu membawa kerusakan pada lingkungan.
Hafidawati (2018) dalam tulisannya di jurnal EcoNews mengungkapkan bahwa pembakaran jerami mengemisikan black carbon (karbon hitam) yang merupakan kontributor pemanasan global. Secara global, black carbon meningkatkan temperatur sebesar 0,3 derajat Celsius atau setara 1/6 bagian dari total pemanasan global. Hal tersebut belum termasuk kontribusi emisi gas rumah kaca lainnya seperti karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran.
Namun patut kita syukuri, berkat upaya dari pemerintah dan berbagai kalangan, sebagian petani sudah mulai meninggalkan kebiasaan pembakaran jerami padi. Adapun opsi umum yang ditawarkan adalah pengolahan limbah jerami menjadi kompos. Pilihan proses pascapanen tersebut terbilang mudah meskipun memang membutuhkan waktu agar jerami dapat terdekomposisi di dalam tanah hingga lahan dapat kembali digunakan.
Opsi Pengolahan Lanjutan
Saat ini, pengolahan jerami padi menjadi kompos merupakan opsi termudah terhadap residu pertanian dalam rangka demi mendukung SDGs. Namun di samping itu, berbagai opsi lain bisa dipilih untuk memaksimalkan nilai dari suatu residu atau waste dari pertanian. Dua di antaranya adalah mengolah limbah, khususnya jerami padi tadi, menjadi sumber energi biomassa dan material pembuatan plastik ramah lingkungan.
Jerami padi merupakan salah satu sumber biomassa berselulosa. Kandungan selulosa pada jerami cukup besar yaitu dapat mencapai 30-40%. Dengan kandungan selulosa yang tinggi, jerami memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bahan pembuatan biofuel. Selain itu, berkat kandungan selulosanya tersebut, jerami padi juga dapat dijadikan material pembuatan plastik ramah lingkungan.
Nyatanya, proses pengolahan untuk kedua opsi di atas memang bukanlah suatu hal yang mudah. Keduanya membutuhkan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni. Hanya saja, sudah banyak contoh keberhasilan konversi limbah pertanian menjadi produk tepat guna.
Salah satunya adalah maraknya peralatan makan yang dibuat dari jerami gandum di pasaran saat ini.
Peralatan makan dari jerami gandum (wheat straw) diklaim sebagai produk plastik ramah lingkungan karena mampu terdegradasi lebih cepat dari pada plastik dari minyak bumi atau polimer sintetik. Beberapa produsen produk terkait juga memastikan bahwa produk mereka food safe dan sesuai dengan standar yang berlaku. Bayangkan, jika jerami padi juga dapat diolah menjadi produk yang sama, pembakaran jerami mungkin tidak akan menjadi pilihan utama.
Pada akhirnya, pengolahan lanjutan dari limbah pertanian tentu saja membutuhkan riset atau penelitian yang lebih lanjut. Sebagaimana riset pada umumnya, ia membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya. Sebuah kegiatan riset dan pengembangan agaknya tidak akan selesai dalam waktu yang singkat alias butuh proses yang berkelanjutan. Hal itu sama halnya dengan pembangunan berkelanjutan yang jadi titik tolak bahasan kita.
Namun dengan adanya perkembangan teknologi dan mudahnya akses informasi saat ini, proses riset dan pengembangan produk dapat diakselerasi. Apalagi jika pemangku kepentingan dan berbagai pihak mau berkolaborasi untuk mengatasi residu pertanian demi pembangunan berkelanjutan tadi.
Sebab bagaimanapun residu pertanian ada karena kebutuhan pangan kita bersama. Bumi yang kita tinggali juga merupakan rumah kita semua.
*Dosen Fateta Unand dan Ketua FLP Sumbar