GENERASI awal yang melakukan perjalanan jauh menggunakan bus, pasti familiar dengan kata Cincu. Generasi yang mulai meninggalkan perjalanan dengan Kapal Laut. Cincu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti, wakil pemilik perusahaan kapal. Nampaknya, istilah cincu pertama digunakan di Kapal Laut. Penelusuran penulis di dunia maya, cincu berasal dari Bahasa Mandarin: chuanzhu, yang artinya adalah pemilik kapal. Kata ini diadopsi oleh pelaku pelayaran negeri ini menjadi cincu, berbarengan dengan istilah tekong dan kuanca. Sampai hari ini pun, di kapal laut profesi cincu masih ada. Tapi di Bus antar kota, sepertinya sudah lama hilang.
Ketika saya kecil, ada seorang ayah teman berprofesi ini. Ia sering meninggalkan rumah untuk beberapa lama sebelum kembali lagi untuk beristirahat selama beberapa minggu. Kata kawan ini, ayahnya bekerja sebagai seorang Cincu di sebuah perusahaan Otobus lintas Sumatra. Akhirnya, saya pun mengenal dan menaruh perhatian pada profesi ini.
Sesuai dengan definisi KBBI, Cincu adalah perwakilan pemilik kapal. Dalam hal bus lintas Sumatra, Cincu berarti perwakilan pemilik bus. Dan saya mengembangkannya berdasarkan diskusi dengan ayah kawan ini, Cincu adalah pemimpin perjalanan non pengemudi di formasi bus jarak jauh jaman dulu. Ketika itu perjalanan lintas Sumatra, terutama rute Padang – Jakarta belum lah selancar sekarang. Butuh berhari-hari perjalanan. Melewati banyak “pelayangan” untuk menyeberang sungai. Pun system pembelian tiket belum sebaik sekarang, komunikasi antar kota masih sulit. Fungsi Cincu menajdi sangat penting menghadapi situasi seperti ini.
Sebagai perwakilan pemilik bus, Cincu harus memastikan perjalanan bus berjalan lancer. Segala pendapatan dan pengeluaran tercatat dengan baik. Pendapatan dari penjualan tiket penumpang di agen-agen sepanjang jalan, termasuk jika ada penumpang operan dari bus lain anggota Sanutra. Sementara pengeluaran yang harus dikelola dan dicatat oleh Cincu adalah pengeluaran bahan bakar, membayar pelayangan, retribus terminal atau kapal penyeberangan. Belum pengeluaran tak terduga semisalnya bus mengalami kendala di tengah perjalanan. Ketika kondisi jalan sekedarnya saja, resiko kerusakan ini sangat besar. Ditambah belum tersedianya jaringan bengkel yang mumpung di setiap kota yang dilewati, Cincu harus pandai memutar akal menghadapi kondisi seperti ini, agar perjalanan tetap menguntungkan untuk pemilik bus. Pun ketika menghadapi kondisi force majeure lain, semisal kecelakaan atau bencana alam.
Cincu biasanya adalah orang paling parlente di dalam bus. Standar penampilan mereka ketika itu adalah kemeja berlengan panjang dimasukan ke celana bahan. Rambut disisir klimis. Sepatu kulit selalu dalam keadaan tersemir mengkilat. Biasanya cincu ini jarang bicara yang tak perlu. Becanda dengan kru lain seperti ke sopir atau knek pun jarang. Posisi duduknya pun di bangku depan, orang minang biasanya menyebutnya kursi sese dari singkatan cc. Sebagian cincu ada yang bisa memainkan klakson. Klakson ketika itu memiliki tuts layaknya piano. Bisa memainkan nada-nada dengan kerumitan menengah. Klakson adalah sarana hiburan penumpang ketika itu, layaknya audio mobil yang kita kenal sekarang.
Relasi cincu dan kru biasanya netral saja. Mereka bicara sekedarnya. Bahkan tak sedikit cincu “berkonflik” dengan sopir satu. Ada persaingan tentang posisi siapa yang paling berkuasa di atas bus. Tak jarang pula, kru lain merasa Cincu ini adalah musuh bersama mereka. Karena mereka merasa selalu dimata-matai cincu. Mulai dari perilaku mengemudikan bus bagi sopir, atau tingkat kerajinan bagi kondektur. Dengan relasi seperti ini, cincu bisa jadi orang yang paling kesepian dalam perjalanan jauh ini.
Saat ini tak ada lagi Bus dari Sumbar yang memiliki Cincu di formasi krunya. Pemimpin perjalanan dan penanggung jawab bus langsung dipegang Sopir Satu. Di Jawa lebih dikenal sebagai sopir Batangan. Uang kas sekarang dipegang oleh kondektur. Koordinasi penjualan tiket dari agen ke kantor pusat sudah membaik berkat jaringan komunikasi yang sudah merata di seluruh kota. Cincu mulai pelan-pelan lenyap di era 90an awal, ketika jaringan telepon kabel sudah rata. Pengeluaran di perjalanan sudah terprediksi dengan baik. Fungsi penanganan force majeure sudah diwakilkan ke pengelola Rumah Makan tempat bus rutin berhenti. Cincu pun tinggal masa lalu. Beberapa mereka berpindah profesi menjadi agen tiket. Beberapa masih ada yang dipanggil cincu. Atau disingkat, ‘Ncu!.
Saat ini para Cincu di masa jayanya mungkin sudah banyak yang meninggalkan kita. Yang masih ada, tentu saat ini sudah di usia sepuhnya. Semoga mereka senantiasa sehat selalu dan diberikan umur yang panjang. Teriring harapan mereka masih mau bercerita kepada yang muda-muda ini, tentang kejayaan profesinya di masa lalu. Amin… (*)
Yoss Fitrayadi adalah Praktisi Digital Marketing, Pemerhati Budaya dan Transportasi