MINANGKABAU dan kerbau mungkin hampir sama seperti India dengan sapi, China dengan panda, Australia dengan kangguru, dan Rusia dengan beruang. Kalau di sama-samakan, sebab kerbau di masyarakat Minang setidaknya sudah menjadi benda budaya. Melekat erat dengan identitas masyarakat Minang itu sendiri. Tidak heran PT. Semen Padang juga menggunakan gambar kerbau sebagai lambang perusahaan dan klub bolanya dalam mewakili identitas masyarakat Minang.
Kerbau telah melahirkan simbol-simbol dalam masyarakat Minang mulai dari bangunan, pakaian dan makanan. Simbol pada bangunan misalnya, bisa kita lihat dengan jelas di struktur atap rumah gadang yang dibuat menyerupai tanduk kerbau. Model atap ini dinamai gonjong, melengkung dan ujungnya lancip. Bentuk seperti tanduk itu juga dimaknai sebagai hierarki dalam pengambilan keputusan.
Lalu simbol tanduk pada pakaian, bisa kita lihat pada pakaian tradisional wanita Minang berupa tingkuluak tanduak. Sebuah penutup kepala yang juga dikenal sebagai mahkota perempuan secara adat. Perempuan adalah pewaris sah rumah gadang karena itu tingkuluak tanduak yang menyerupai gonjong menjadi hiasan bagi mereka. Walau tingkuluak tanduak memiliki bentuk runcing di ujungnya akan tumpul artinya meski tajam tidak melukai, sebagai bentuk dari sifat rendah hati.
Kemudian pada makanan tradisional, dari pemanfaatan susu kerbau kita mengenal dadiah. Makanan hasil fermentasi susu kerbau di dalam bambu secara alami. Dadiah juga dikenal sebagai yoghurt Sumatera Barat. Rasanya asam umunya disajikan bersama ampiang (emping) dan disiram dengan gula merah cair. Walaupun juga ada yang menyajikan dadiah bersama nasi lengkap dengan sambal.
Dewasa ini, jika kita perhatikan kerbau sudah semakin hilang dari masyarakat dan sawah kita. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) populasi kerbau di Sumatera Barat pada tahun 2019 berjumlah 108.045 ekor, sedangkan tahun 2021 jumlah kerbau turun menjadi 83.281 ekor. Agak jauh ke belakang yaitu 2003 jumlah kerbau masih 317.798 ekor, artinya populasi kerbau semakin hari semakin menurun.
Hilangnya kerbau secara tidak langsung berdampak pada berkurangnya rumah gadang, penggunaan pakaian adat, dan dadiah. Sebab simbol-simbol itu agaknya menjadi semakin asing dari masyarakat Minang. Apakah semua itu sudah kodrat dari identitas budaya yang pada akhirnya harus kalah dengan zaman?
Tentu tidak, jika kita menggunakan sudut pandang ekonomi politik, kita mungkin menemukan sebuah garis keterhubungan antara masalah lokal, nasional dan internasional. Masalah hilangnya kerbau berkaitan erat dengan masalah yang terjadi di dunia. Apa itu? Penetrasi kapitalisme global yang semakin kuat secara global berdampak ke Indonesia dan daerah-daerah termasuk Sumatera Barat.
Kerbau selain benda ‘budaya’ juga menjadi sumber pangan. Dengan berkurangnya jumlah kerbau maka produksi jumlah daging kerbau lokal juga akan menurun. Yang jadi masalah adalah permintaan akan daging kerbau tidak mengalami penurunan, maka cara memenuhi kebutuhan itu dilakukan lewat impor.
Alih-alih memenuhi kebutuhan daging kerbau dalam negeri secara mandiri. Pemerintah malah menggantungkan diri pada pasar bebas. Ini hanya menyebabkan Indonesia mencapai ketahanan pangan bukan kedaulatan pangan.
Data BPS menyatakan bahwa Indonesia sudah ketergantungan impor daging kerbau sejak 2017. Impor daging kerbau terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 jumlah impor sebesar 160.197,5 ton dan tahun 2021 menjadi 273.532,6 ton.
Pada tahun 2022, Badan Urusan Logistik (BULOG) ditugaskan pemerintah untuk melakukan impor daging kerbau beku. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung yaitu 100 ribu ton. Tindakan ini dilakukan pemerintah untuk memastikan ketersediaan pasar serta menjaga kestabilan harga. Lewat website resminya, BULOG juga memastikan daging beku itu terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) yang melanda ternak Indonesia pada tahun yang sama.
Penurunan jumlah populasi kerbau ini disebabkan praktik liberalisasi pertanian. Kerbau secara bertahap digantikan oleh mesin untuk meningkatkan produksi pertanian. Seharusnya, sebelum menggantikan peran kerbau dengan mesin, pemerintah telah mempersiapkan peralihan fokus kerbau sebagai sumber pangan. Dengan begitu ketersediaan daging kerbau akan tetap dipenuhi oleh peternakan kerbau lokal.
Dilansir dari Bisnis.com, dalam wawancara mereka dengan pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori. Dia menyatakan meskipun stok sapi dan kerbau tersedia namun tidak bisa masuk ke pasar. Penyebabnya adalah peternak masyarakat tidak menjual ternak mereka secara teratur, tergantung tingginya harga pasaran. Ketersediaan nasional tidak bisa dipenuhi oleh peternak lokal. Karena itu pemerintah melakukan impor 36 ribu ton dari India. Kemudian pemerintah juga memberikan kesempatan pada pihak swasta untuk turut melakukan impor. Asosiasi Pengusaha Importir Indonesia melakukan impor sebesar 26 ribu ton daging kerbau beku.
Di sinilah kapitalisme global bermain, mereka menyebabkan setiap negara bergantung pada impor dan memberikan pasar kepada pihak swasta. Penerapan comparative advantage yaitu doktrin ekonomi liberal yang menyatakan bahwa suatu negara yang dapat memproduksi satu jenis barang tertentu dengan biaya lebih murah dari negara lain atas produk yang sama memiliki keunggulan yang lebih tinggi dalam persaingan. Akibatnya negara lupa melakukan upaya-upaya kemandirian pangan.
Hanya negara yang siap dan kuat yang akan diuntungkan. Comparative advantage menyebabkan satu negara eksportir produk pangan tertentu seperti daging kerbau misalnya, bisa memenuhi permintaan impor berbagai negara. Lalu negara apa saja yang memenuhi impor daging kerbau ke Indonesia? BPS mencatat negara pengekspor daging lembu terbesar ke Indonesia adalah Australia, India, Amerika Serikat, Selandia Baru, Spanyol, dan Jepang.
Lalu berapa banyak impor daging kerbau dari negara-negara tersebut masuk ke Indonesia? Yang catatan terbaru di tahun 2021 sebagai berikut: Australia 122.863,5 ton, India 84.954,8 ton, Amerika Serikat 25.961 ton, Selandia Baru 17.985,7 ton, Spanyol 5.654,5 ton, terakhir Jepang 194,3 ton. Ini adalah ancaman yang sebenarnya bagi kedaulatan pangan nasional.
Menurunnya populasi kerbau di Sumatera Barat hanya satu dari sekian banyak dampak kapitalisme global terhadap ketersediaan pangan di Indonesia. Jika kita tarik lebih jauh ke belakang, praktik liberalisasi ini sudah terjadi semenjak zaman Presiden Soeharto. Program Revolusi Hijau menyebabkan perubahan besar dalam masyarakat Indonesia. Soeharto berhasil mentransformasi pertanian dan peternakan dari tradisional ke modern, mengubah sistem produksi, sistem tanam, sistem peternakan, kearifan lokal, dan bahkan selera lidah masyarakat Indonesia.
Selain menimbulkan ketergantungan akibat penerapan comparative advantage, kapitalisme global juga mengakibatkan semakin panjangnya rantai produksi pangan. Fenomena ini juga dikenal dengan global value chain yaitu kondisi produksi barang atau jasa dari hulu ke hilir produk sampai pada konsumen melewati berbagai proses di berbagai negara. Sederhananya ada pemasok, pengolah, produsen dan supermarket.
Maka jangan heran jika kita dapati harga beras melambung tinggi, harga minyak melambung tinggi, dan harga daging juga melambung tinggi. Semua disebabkan oleh praktik kapitalisme global yang semakin nyata. Cara untuk menciptakan kedaulatan pangan yang tidak hanya slogan adalah dengan mengembalikan preferensi masyarakat kepada kebudayaan yang mereka miliki.
Kenapa preferensi budaya perlu? Karena sejatinya budaya yang beragam di Indonesia bisa digunakan sebagai strategi kedaulatan pangan. Baik pilihan busana, makanan, dan bangunan dipengaruhi oleh ide dari budaya masyarakatnya.
Benturan antara budaya lokal dan kapitalisme global berada pada ranah imateriel dan ranah materiel. Ranah imateriel berupa ide atau perspektif yang membentuk cara pandang masyarakat. Sedangkan ranah materiel adalah kenyataan yang terjadi baik berupa perjuangan perebutan lahan pertanian, upaya pengembalian identitas budaya dan gerakan-gerakan mencapai kedaulatan.
Untuk memenangkan ranah imateriel tersebut tentu harus melibatkan banyak pihak. Masyarakat, gerakan sosial, petani, peternak, aktivis, mahasiswa dan juga dosen, serta Pemerintah Daerah. Kita bisa mulai bersama-sama menghidupkan kembali kesadaran budaya, menyebarkan ke masyarakat luas ide-ide pembangunan ekonomi yang berbudaya, serta mengingatkan pentingnya kemandirian dan konsumsi pangan lokal. Tujuannya jelas, menciptakan ketahanan pangan masyarakat Sumatera Barat dan Indonesia.
Tentu kita tidak bisa mundur sangat jauh ke belakang dan menjadi masyarakat tradisional lagi. Yang ingin ditekankan dalam tulisan ini adalah kesadaran akan pentingnya kemandirian.
Kemudian pada kasus peternak rakyat yang tidak menjual ternak secara teratur. Pemerintah bisa mulai membangun kerja sama yang terprogram, tidak hanya meminta peternak menjual ternaknya saat dibutuhkan oleh pemerintah saja. Mereka perlu dibina dan diarahkan dalam program berkelanjutan.
Jika masyarakat dan budaya sudah terhubung kembali, maka kita akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan sosial. Dengan kesadaran masyarakat terhadap kerbau dan dukungan pemerintah maka produksi kerbau di Sumatera Barat bisa ditingkatkan untuk memenuhi permintaan nasional kedepannya. Begitu juga dengan masyarakat daerah lain. Mereka akan melanjutkan kembali tradisi keragaman pangan yang menjadi kunci kedaulatan pangan Indonesia.
Kita harus merenungkan kembali kalimat bijak berikut “Kamu adalah apa yang kamu makan”, maka kita harus sadar apa dan dari mana makanan tersebut. Bukan produk pangan antah berantah hasil dari global value chain. Kembali para preferensi budaya adalah satu hal yang bijak, mendukung pertanian yang ramah lingkungan, ekonomi berkelanjutan, melestarikan nilai budaya, dan memastikan ketersediaan pangan tercukupi dari lokal sampai nasional. (*)
Andrezal adalah mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unand