Sekolah Negeri sebagai Ruang Akulturasi Minang-Tionghoa

Sekolah Negeri sebagai Ruang Akulturasi Minang-Tionghoa

Donny Syofyan, S.S., Dippl. PA., M.HRM., M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

Dalam rangka menyambut Imlek atau Tahun Baru China 2574, warga Tionghoa kota Padang telah menyelenggarakan Festival Cap Go Meh 2574. Dalam pelaksanaannya, tidak hanya kebudayaan Tionghoa yang ditampilkan tapi juga ada budaya lain di Nusantara seperti budaya Minang, dan lain-lain.

Sehingga Cap Go Meh juga menjadi kirab budaya Nusantara. Panitia Cap Go Meh Padang, Albert Hendra Lukman, mengatakan penyelenggaraan Cap Go Meh tahun ini menunjukkan kemajemukan di kota Padang.

Festival ini telah diikuti oleh 3000 peserta yang menjalankan peran masing-masing. Jumlah orang datang ternyata lebih banyak dari jumlah tersebut. Dalam perayaan kali ini, seluruh komunitas Tionghoa di kota Padang terlibat mulai dari sembilan perkumpulan atau Ji Se hingga perkumpulan sosial Himpunan Bersatu Teguh (HBT), Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan PSKP Santo Yusuf.

Kita tentu senang bahwa perayaan Imlek 2574 ini telah berlangsung dengan baik. Penampilan semua atraksi hingga sipasan dari HBT dan HTT yang keluar secara serentak baru pertama kali terjadi.

Ia tidak cuma dinikmati oleh warga keturunan Tionghoa tapi juga warga Minang, khususnya yang berada di kota Padang. Perayaan ini seharusnya mengingatkan kita bahwa warga Minang dan Tionghoa harus terus bergerak dengan cara masing-masing melakukan pendekatan.

Dalam terminologi sosiologi, kita menyebutnya akulturasi. Secara konseptual, akulturasi secara sederhana dipahami upaya sebuah kelompok atau komunitas untuk bergerak dan berkegiatan yang menyesuaikan diri dengan kebudayaan, tatanan nilai dan situasi di mana mereka berada.

Hanya saja, ini butuh semacam rekayasa sosial serius yang dilakukan secara terus menerus, bahkan membutuhkan masa yang relatif panjang.

Pergeseran Sumber Daya Ekonomi

Di kota Padang, pembauran antara etnis Tionghoa dan Minang tidak mengalami masalah yang serius. Dalam keseharian, misalnya, komunikasi yang terjalin antara warga keturunan Tionghoa dan Minang menggunakan bahasa Minang alih-alih bahasa Indonesia.

Kalau pun berbahasa Indonesia, logat yang digunakan popular dengan sebutan Indomi (Indonesia Minang)—bercakap bahasa Indonesia dengan intonasi dan langgam Minang. Juga tidak pernah ada konflik etnis Minang-Tionghoa.

Kalau pun ada kisah kelam berupa penghancuran dan pencurian atas properti warga Tionghoa sewaktu berlangsungnya krisis moneter pada 1998, ini tak bisa dilepaskan dari gonjang-ganjing politik di satu sisi dan dominasi ekonomi warga Tionghoa di terhadap sumber-sumber daya ekonomi di sisi lain.

Tapi membayangkan kehidupan bersama hari ini dan masa depan melalui lensa masa lalu, yang muncul hanya kesedihan mendalam dan keputusasaan. Sepanjang sejarah kita belum lepas dari budaya tumbal, mencari musuh bersama dan untuk membangun solidaritas.

Mengambinghitamkan warga keturunan Tionghoa karena motif-motif ekonomi sangat tidak produktif bahkan tidak relevan lagi bagi kesatuan dan kerja sama Minang-Tionghoa di masa depan.

Hari ini roda-roda perputaran ekonomi di kota Padang atau Sumatera Barat secara umum justru dikendalikan orang orang Minang sendiri, meskipun kita tak bisa menutup mata bahwa mayoritas warga keturunan Tionghoa di kota Padang masih berkecimpung dalam dunia bisnis dan perdagangan.

Lihatlah deretan bisnis yang memang dikuasai oleh urang awak sendiri, di antaranya swalayan (Citra, Budiman, A-Ciak Mart bahkan yang terbaru Minang Express), bahkan salah satu Budiman swalayan berada di daerah Pondok, kawasan kampung China (Pecinan) di kota Padang; Elna Cake & Bakery (perusahaan kue dan roti terbesar di Sumbar, bahkan mengalahkan Hoya); Asese (tokoh oleh-oleh di kota Padang sebagai saingan Christine Hakim), AA Catering (usaha layanan ketering terbesar di Sumbar, bahkan pemasok tunggal inflight service maskapai di Bandara Internasional Minangkabau sebelum akhirnya terhenti oleh Covid-19; bisnis rumah makan Padang jangan disebut; kafe-kafe yang dulu terpusat di kawasan Pondok kini sudah menyebar ke pelbagai tempat; Jacky Cellular dan Sumbar Smartphone (toko telepon selular), dan lain-lain yang tak bisa disebut satu per satu.

Akulturasi di ranah ekonomi dan bisnis tidak produktif mengingat karakternya memang menghajatkan persaingan demi kepuasan konsumen dan bergeraknya roda ekonomi dengan regulasi yang tegas. Biarlah setiap pihak melakoni fungsi dan kerja ekonomi sesuai dengan ciri khas, pendekatan dan strategi masing-masing.

Sekolah Negeri sebagai Ruang Akulturasi Minang-Tionghoa

Pendidikan sejatinya merupakan cara terbaik untuk melakukan akulturasi Minang-Tionghoa. Mengapa? Sebab pendidikan bekerja dengan langkah-langkah rasional dan terukur sehingga kualitas dan ekspektasi proses akulturasi yang diharapkan dapat dipertanggngjawabkan dan berdampak jangka panjang.

Lalu bagaimana penerapannya secara teknis-praktis agar pendidikan menjadi salah satu kunci akulturasi Minang-Tionghoa? Hemat saya, sekolah negeri bakal menjadi laboratorium penting yang akan mengebat upaya-upaya akulturasi Minang-Tionghoa sedari awal karena tiga kekuatan yang dimilikinya.

Pertama, mengikis stereotip. Stereotipe awalnya merupakan prasangka namun lama-lama bisa berubah menjadi justifikasi yang ajeg dan tak terbantahkan. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali stereotip itu salah. Orang Minang diidentikkan dengan ‘pelit’ dan etnik Jawa sering dilabeli dengan “diam-diam makan dalam.”

Begitu juga orang Tionghoa dicap ‘eksklusif’ dan ‘penindas,’ Bagaimanapun, menilai seseorang itu bukan dari apa sukunya tetapi lebih kepada bagaimana perilaku (attitude)-nya.

Lalu bagaimana pendidikan berperan membuang stereotip ini? Ini bisa dimulai dengan inklusivitas pilihan sekolah. Orang-orang tua dari warga Tionghoa perlu ada kesadaran dan kemauan untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah negeri, bukan lagi dengan sengaja atau memaksa anak-anaknya lebih banyak belajar di sekolah dan universitas swasta–utamanya swasta Kristen dan Katolik.

Pengalaman saya sebagai dosen di kampus menunjukkan bahwa sejumlah mahasiswa keturunan Tionghoa mengakui pentingnya watak inklusif hanya setelah mereka kuliah di perguruan tinggi negeri atau punya pengalaman sekolah (dasar atau menengah) negeri.

Mereka terus terang menyatakan kepada saya bahwa mereka mau dan berani keluar dari kawasan Pondok setelah menempuh pendidikan di SMA negeri dan melanjutkan kuliah ke Unand. Sebelumnya lingkaran pergaulannya hanya sebatas teman-teman Tionghoa di kawasan kampung China saja.

Bila sedari kecil anak-anak Tionghoa sudah mengalami, bukan sekadar diajarkan, lingkungan inklusif dengan belajar di sekolah-sekolah negeri (tentu tak semuanya dan tak juga seluruh anggota keluarga), kepribadian dan pemikiran inklusif akan menjadi bagian hidupnya di kemudian hari.

Di sinilah kita akan menemukan bahwa hubungan suku Minang-Tionghoa bakal betul-betul cair, bukan lagi karena tekanan, bersifat top-down dan sarat basa-basi.

Kedua, sekolah negeri menjadi tenda besar kebhinekaan. Belajar di sekolah negeri bukan hanya mengikat anak-anak tapi juga fungsional mempertemukan wali murid atau orang tua siswa, baik secara langsung maupun secara daring.

Secara langsung atau fisik, misalnya, wali murid Minang-Tionghoa ini akan terlibat dalam persatuan orang tua siswa, kerja sama wali murid, atau ngobrol tentang anak-anak. Sementara secara daring mereka tentu akan tergabung lewat Whatsapp Group (WAG) walikelas maupun wali murid. Komunikasi apapun bisa berlangsung di sini.

Frekuensi pertemuan yang intens, apalagi didorong motif pendidikan, secara berangsur akan mengurangi bahkan menghilangkan perasaan sebagai ‘others’ (liyan)—merasa satu sama lain sebagai orang lain dan asing.

Secara psikologis, masing-masing pihak yang selama ini merasa berbeda dengan yang lain sehingga sukar saling menghampiri akan mulai bergerak menuju titik temu. Relasi yang selama ini membeku karena proyeksi dari sisi gelap setiap pihak, menjadi berbeda karena punya alasan sejarah yang sulit untuk dihindarkan, atau karena kekuatan eksternal yang justru menekan diri kita untuk mau tidak mau menetapkan orang lain sebagai ‘asing’ dengan sendirinya bakal mencair dengan niat baik dan aksi yang mulia.

Saya hendak mengatakan bukan bermakna upaya-upaya ini tak berlangsung di sekolah swasta, seperti di SD, SMP dan SMA swasta yang dikelola oleh warga Tionghoa, tapi realitas sosial menunjukkan bahwa citra ekslusivisme di kalangan anak-anak muda Tionghoa masih menjadi dinding pembatas yang menjadikan mereka tetap kesulitan bergerak ke luar cangkangnya bila masih berada (termasuk sekolah) di ruang sendiri.

Kita ingin agar inklusivisme bergerak lebih akseleratif dan berdampak luas sehingga masa depan ranah Minang diisi relasi Minang-Tionghoa sebagai warga negara tanpa sekat.

Ketiga, menjadikan patriotisme sebagai pakaian bersama. Boleh jadi ini terdengar klise tapi sebetulnya punya konsekuensi yang serius. Kebetulan anak-anak saya sekolah di SD dan SMP di Australia. Mereka masuk sekolah negeri (public school).

Dibandingkan Indonesia, Australia lebih multikultural karena dihuni oleh masyarakat berbilang bangsa, bukan cuma suku atau etnis. Kita dengan mudah menemukan suburb (semacam kampung atau kecamatan) orang-orang China, Vietnam, Afghanistan, Turki, Italia, Yunani, Bangladesh, Bosnia, Malaysia dan juga Indonesia.

Di sekolah anak-anak saya, di suburb Monash, siswa Asia justru lebih dominan daripada ‘bule’ Australia. Kenapa? Sebab pemerintah Australia menekankan pendekatan multikultural di mana anak-anak residen tetap (public resident), para imigran dan mahasiswa internasional belajar di sekolah milik pemerintah.

Meski pemerintah federal dan negara bagian membolehkan para imigran tinggal di kawasan etnis masing-masing, tapi sangat tidak dianjurkan untuk mendirikan sekolah berlatar belakang etnis. Itulah kenapa sangat jarang ada sekolah internasional yang dikelola oleh warga bangsa tertentu di Australia, seperti yang banyak kita jumpai di Tanah Air kita.

Semua anak-anak berbilang bangsa di Australia merasa mereka sebagai Aussie kids (anak-anak Australia) alih-alih sebagai warga keturunan asing meski berkulit hitam, sawo matang dan kuning.

Pendekatan serupa bisa kita mulai di sekolah negeri di Padang. Rasa menjadi bagian dari Indonesia yang berbilang etnis hanya terbentuk ketika anak-anak kita sedari fajar hidup, bergaul dan belajar dengan lingkungan dan atmosfer yang heterogen, bukan lagi homogen.

Di masa depan, kita tak ingin lagi mendengar panggilan ‘inyo urang Chino’ atau ‘inyo Chino Pondok’ tapi ‘inyo urang awak’ atau ‘inyo urang Padang’ yang kebetulan punya darah atau keturunan Tionghoa.

Baik urang awak maupun Tionghoa sudah menempati ranah Minang, khususnya kota Padang, selama ratusan tahun. Isu-isu SARA harus dikubur dalam-dalam.

Orang-orang Minang juga sudah lama terbiasa dengan relasi homologis dengan perbedaan atau pembedaan yang tidak hierarkis—rantau dengan darat, adat dengan Islam, anak dengan kemenakan, bahkan modernitas dengan tradisi. Jadi tidak ada alasan bahwa pembauran Minang-Tionghoa sebagai kerikil dalam sepatu.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah