Langgam.id - Selama puluhan tahun, masakan Minang telah menyatukan banyak orang Indonesia dalam selera yang sama. Beberapa tahun ini, giliran musik Minang yang memikat jutaan telinga warganet dari pelosok Nusantara dalam nada yang seirama.
Perkembangan internet dan media sosial yang mengalirkan informasi dan hiburan ke genggaman, menjadi era baru kebangkitan industri musik Minang. Di tengah banjirnya pasar musik berbahasa Indonesia dan mancanegara, karya para musisi Minang ternyata tetap eksis dan malah makin memikat.
Bahasa musik yang universal, membuat lirik berbahasa Minang yang tak dimengerti oleh sebagian penyukanya, tak lagi jadi penghalang. Penyanyi dan karya baru pun bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Lagu "Panek di Awak Kayo di Urang" karya Rozac Tanjung misalnya. Dinyanyikan oleh pasangan duet Frans dan Fauzana, karya ini dirilis di akun Youtube RW Pro pada 15 Februari 2020. Pada Januari 2023, atau hampir tiga tahun kemudian, lagu ini sudah ditonton lebih dari 131 juta kali.
Contoh lain, lagu "Manunggu Janji" yang dibawakan Andra Respati dan Ovhi Firsty sudah ditonton lebih 79 juta kali pada Januari 2023. Lagu ini ini dirilis di akun Elta Record pada 14 Maret 2019.
Hampir sama dengan itu, lagu "Rantau den Pajauah" yang dibawakan Ipank dan Rayola dirilis pada 17 Mei 2019 di Youtube. Hingga Januari ini telah ditonton lebih 77 juta kali.
Beberapa lagu lainnya, "Takabek Gadih Rantau" (Fauzana) sudah ditonton 38 juta kali, "Niek Suci Panabuih Janji (Andra Respati dan Eno Viola) 29 juta kali dan salah satu yang cepat menanjak adalah "Minyak Habih Samba Tak Lamak" (David Iztambul dan Ovhi Firsty) telah ditonton 23 juta kali, meski baru sekitar satu tahun diunggah.
Ratusan lagu Minang lainnya, umumnya adalah karya baru, ditonton jutaan kali di Youtube. Saat membaca komentar yang beberapa di antaranya mencapai puluhan ribu testimoni di bawah lagu, mayoritas warganet yang menonton ternyata bukan berasal dari Ranah Minang.
Mereka dari berbagai pelosok Indonesia dan juga Malaysia. Bukan saja Sumatra dan Jawa, juga tapi dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Nusa Tenggara dan Papua.
Mereka kompak menyatakan kecintaan pada musik yang sama. Meski, sebagian besar di antaranya, tak paham arti semua lirik. Warganet dari Ranah Minang kemudian menerjemahkan hingga menerangkan maksud liriknya di kolom yang sama.
Bila biasanya orang Indonesia dipersatukan bahasa, kali ini oleh irama yang senada: musik Minang. Ketika aplikasi tiktok dan short video muncul di berbagai aplikasi media sosial, lagu-lagu Minang juga turut digandrungi sebagai latar musik pengiring konten warganet.
Ada juga lagu lama yang kembali terkenal karena video singkat di Tiktok. Salah satunya adalah Lagu berjudul "Pariaman" karya Anasben yang dibawakan kembali oleh Citra Irani.
Viral di tiktok pada bait "Oi, lah masak nasi rang kapau, cubadak jo samba randang…", kemudian mendongkrak kunjungan ke postingan di Youtube hingga 397 ribu kali. Padahal baru saja satu bulan diunggah.
Era medsos dan internet ternyata telah memberi tempat pada musik Minang yang sudah ada sejak zaman piringan hitam dan radio, kaset hingga cd. Hal ini, membuat peribahasa lama, "Tak lekang oleh panas, tak lapuk karena hujan" jadi cocok disematkan.
Musik Minang di internet hari ini, memang lebih merata tersebar ke berbagai pelosok, melebihi era tahun 1950-an dan 1960-an di masa Oslan Husein dan Orkes Gumarang melegenda. Atau pada era 1970-an hingga 1990-an, ketika Tiar Ramon, Elly Kasim hingga Zalmon berkarya.
Baca Juga: Oslan Husein dan Pentas Nasional Musik Minang
Agusli Taher, pencipta lagu-lagu Hits Minang sejak puluhan tahun lalu, menilai fakta ini sebagai perubahan luar biasa dalam industri musik daerah ini.
Menurutnya, perubahan tersebut telah dimulai sejak 2013 ketika warga Sumbar dan juga Indonesia mulai banyak yang menonton Youtube. "Pengaruhnya sangat besar sekali," kata Agus kepada Langgam.id, saat disambangi di kediamannya di Padang, pada Desember 2022 lalu.
Menurutnya, sebelum YouTube gandrung di masyarakat, masih ada sekitar 75 label rekaman yang berproduksi di Sumbar. Sesudah Youtube Berkembang, label-label ini satu per satu tumbang.
Namun, menurutnya, itu bukanlah penanda terjadi degradasi alias penurunan. Baginya, hal ini adalah gejala zaman. Kemampuan para produser ternyata terus berkembang, mengikuti perubahan zaman.
Ia melihat masih ada beberapa produser rekaman saat ini yang masih eksis di masyarakat. Di antaranya: Elta Record, RW Pro, Diva Record, dan SKY Music Digital. Terbukti, label-label tersebut masih eksis dan banyak menelurkan lagu Minang baru yang populer di masyarakat.
Terlihat dari karya yang dihasilkan, beberapa label rekaman tersebut berhasil menyesuaikan perkembangan teknologi dengan karya yang dihasilakn. Mulai dari musik, video klip, serta cara pemasaran lewat platform media sosial dan toko musik digital.
Bagi doktor ilmu pertanian itu, tidak ada yang salah dengan perkembangan zaman. Begitupun dalam adaptasi musik Minang saat ini. Baginya, melestarikan lagu Minang itu bukan mengulang-ulang apa yang sudah ada. Tetapi bagaimana mengembangkan apa yang telah ada.
"Yang penting iro-nya (cengkok) masih tampak. Mau dimasukkan unsur lagu apa pun di dalamnya silahkan saja. Nanti yang menilai kan masyarakat juga," ucap pencipta lagu "Kasiak Tujuah Muaro" itu.
Yang jadi titik tekan juga, lanjutnya, dalam perjalanan musik Minang ini, cengkok Minang itu dipertahankan. "Bagaimana musik dan bagaimana lirik berubah itu sesuai perkembangan saja lagi," ucapnya.
Bahkan, kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPTP) Sumbar pertama ini, harus selalu ada revolusi di setiap masa lagu Minang. "Saya mulai dulu dengan cara yang berbeda sebagai pencipta. Cara menulis lirik berbeda. Diikuti dengan cara bermusik berbeda," ujarnya.
Agus mencontohkan, dulu orang tidak menggunakan piano sebagai rhythm (ritme) sebagai penggiring irama. Ia dan kolega musiknya, Ferry Zein tetap menggunakan piano sebagai rhythm.
"Kemudian, bagaimana membuat iro-iro bansi menjadi icon musiknya. Harus muncul gaya mencipta yang agak lain. Jangan mengulang-ulang yang lama," kata Agus menegaskan.
Pada tahun 1980an, dulu Tanama terkenal akan musik-musiknya yang rapi lanjutnya. Dan punya pola yang mirip-mirip. Pencipta lagu "Nan Tido Manahan Hati" itu lalu mencoba gaya revolusioner dalam memproduksi lagu.
"Ketika saya bertemu Ferry, karena saya tau dia juga belajar musik klasik, saya coba menonjolkan dalam lagu-lagu saya kebaharuan dari segi bermusik. Gunakan rytim piano dalam musik. Mainkan kayak orkestra, itu," tutur Agus.
Di sisi lain, tidak hanya mengagumi kekhasan irama musik Minang, menurutnya, pendengar juga mengagumi lirik. Kekuatan Minang itu katanya, kala kita menyampaikan sesuatu dan seberapa sampai pesan lirik itu kepada pendengar.
"Kekuatan orang Minang itu kan kala kita menyampaikan sesuatu dengan kieh/kias. Itu lebih terasa," ucap pimpinan Pitunang Record ini.
Ciri dan Rahasia Eksis Lagu Minang
Senada dengan Agus Taher, peneliti budaya dan sastra Minangkabau Universitas Andalas, Eka Meigalia juga menjelaskan lekuatan musik Minang.
Ia menilai ciri musik Minang itu terletak pada cara bakieh (berkias) dalam liriknya. Bait demi bait lirik, tidak menyampaikan maksud dengan cara tembak langsung. Namun, pada kiasan dan perumpamaan.
Hal itu, ia nilai saat ini mulai digunakan kembali dalam karya-karya lagu Minang. Seperti lagu panek diawak kayo di urang katanya, dari judulnya saja sudah menggunakan kias. Rasa berbahasa ini perlu dijaga dan ditingkatkan jelas Eka.
"Justru lagu Minang bisa memperkenalkan kembali budaya kias ke masyarakat. Dan menambah kecintaan pada bahasa dan budaya Minang," tutur Eka kepada Langgam.id.
Selain itu, keberhasilan lagu Minang menuai hits kata Eka juga tidak terlepas dari skill produser melirik pasar. "Ada masanya pada saat itu musik Minang mirip dengan lagu-lagu Malaysia. Ada tren saat itu, musik Indonesia pun juga begitu. Misal juga kalau mau dekat Ramadhan, yang tren lagu religi. Semuanya bikin lagu religi. Di lagu Minang juga terjadi tren yang demikian," ucapnya.
Jadi di satu sisi juga, prosedur pandai dalam melihat selera pasar. Hal ini juga terdorong oleh perkembangan zaman serta kondisi sosial masyarakat ungkapnya. Lagu-lagu yang tenar saat ini ujar Eka, punya tema-tema kegalauan.
"Jadi di satu sisi, juga prosedur pandai dalam melihat selera pasar. Lagu galau yang tenar. Kenapa dulu tema-tema kepedihan orang merantau banyak dibuat, karena orang perantau emang suka meratapi nasib," tutur pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Unand itu.
Ini juga mencirikan akan ciri khas orang Minang, dan bisa jadi masyarakat Indonesia. Bahwa orang Minang itu senang meratapi nasib kata Eka. Jika melihat tema perantauan, atau nasib yang tak mujur ditangan pada lagu minang lamo -- hanya sedikit perbedaan dengan tema kegalauan saat ini. Sama-sama meratapi nasib.
Tema yang diusung tersebut juga menjadi unsur keberhasilan kenapa lagu Minang bisa tetap eksis sampai saat ini. Saat ini masyarakat, khususnya generasi muda lebih suka mengakses musik di platform YouTube dan toko musik digital.
"Siapa yang mengakses media-media itu, yang muda-muda. Yang muda suka yang galau kan. Pasti mengakses lagu-lagu itu," ujar Eka.
Ini juga terjadi pada era-era sebelumnya. Eka menjelaskan, seperti pada tahun 2000an dimana globalisasi berkembang dan terjadi perubahan sosial di masyarakat, tema-tema dalam lagu Minang juga turut diperbaharui.
Contohnya saja katanya, lagu Uwiah-Uwiah Mintak Gatah karya Nedi Gampo. Lagu tersebut menceritakan bagaimana perempuan saat itu di Minangkabau sudah ada perubahan dalam gaya berpakaian. Yang sebelumnya menjujung adat dan budaya, pada saat itu anak-anak gadis tidak malu memakai rok mini dan baju you can see.
Hal ini turut menjadi keunggulan musisi minang. Bagaimana mereka bisa melihat kondisi sosial di masyarakat lalu diterjemahkan ke dalam karya lagu. Ini turut menjadi faktor mengapa musik minang bisa tetap selalu eksis, walau generasi berganti dan zaman berubah.
Tidak mengulang-ulang apa yang ada. Seperti yang bisa dilihat saat musisi Oslan Husein membawakan lagu Ayam Den Lapeh. Oslan memadukan lagu berbahasa minang yang terkenal itu dengan musik bergaya blues/rock. Eka menuturkan, bahkan karya-karya itu diterima masyarakat nasional.
Dahulu ada Hetty Koes Endang dan Betharia Sonata yang menyanyikan lagu minang hongga beberapa Album. Dalam Album Minang Populer Vol 1, Betharia Sonatha menyanyikan lagu seperti Bungo Layuah Tangkai Baduri, Mangko Denai Tagamang, dan Alek Nak Mudo.
Atau Hetty Koes Endang dengan Album Pulanglah Uda. Tak ayal, hal tersebut masih bisa kita temukan pada musisi nasional sekarang, seperti Judika. Penyanyi asal Batak itu sering kita lihat menyanyikan lagu Pulanglah Adiak saat manggung di berbagai tempat.
Industri Musik Minang Saat Ini
Bicara perkembangan musik minang tidak terlepas dari strategi seorang produser dalam merilis suatu lagu. Untuk hal itu, Langgam.id menyambangi sebuah label produksi rekaman yang sedang naik daun saat ini. Namanya RW Pro, pimpinan Rino RW.
Produser rekaman inilah yang merilis lagu "Panek di Awak, Kayo di Urang". Rino, bersyukur atas kemajuan yang dialami industri musik minang saat ini. Ia melihat baik dari segi pencipta, komposer, maupun penyanyi, banyak talenta-talenta muda yang bagus-bagus saat ini.
Hal ini ia rasakan berbeda dari era 90an. Pada era itu, meurutnya, rata-rata penyanyi, pencipta, dan pemusiknya banyak yang sudah senior. Hadirnya talenta dan jiwa muda ini bagi Rino, sangat membantu perkembangan industri musik Minang.
Penyanyi baruseperti David Iztambul, Fauzana, Ovhi Firsty dan Frans pun bermunculan. Begitu juga komposer baru, seperti Rozac Tanjung atau Erwin Agam atau pemusik seperti Decky Rian.
Nama-nama muda ini, katanya, lebih akrab pada teknologi. "Kemajuan zaman dan perkembangan teknologi tidak bisa dipisahkan dari industri musik Minang. Tidak hanya dalam berkarya, hal ini juga sangat berpengaruh dalam hal pemasaran musik," katanya.
Pertama, katanya, lewat kehadiran YouTube dan kemudian lewat digital store untuk memasarkan audio secara online. Seperti adanya Joox, Spotify, dan Itune.
"Itu semua sangat mempengaruhi kemajuan dan perkembangan industri musik minang. Saat ini ada sekitar 26 toko musik digital. RW sendiri sudah masuk ke semuanya," kata Rino.
Kehadiran Youtube dan Digital store ini juga mempengaruhi pola distribusi lagu. Jika dulu, produser sering mengeluarkan hasil rekaman dalam bentuk album, saat ini mereka lebih memilih merilis singel digital. Itu semua papar Rino mempercepat distribusi karya dan berkelanjutan.
Lanjutnya, dari segi hak cipta juga lebih baik sekarang dibandingkan yang dulu. Sekarang telah ada publisher seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI) yang mencatat copyright secara digital. Atau publisher-publisher lainnya seperti MK Publishing dan Prodigy.
"Jadi walaupun lagunya di-cover atau re-upload keuntungannya tetap mengalir. Mereka juga dapat persenan dari situ," ujar Rino.
Jika musik Minang ingin terus berkembang, katanya, pelaku seni dan industri ini tidak boleh tergiling oleh zaman dan teknologi. "Komposer mereka harus tahu dan bisa menguasai teknologi. Kalau mereka tidak tau, mereka yang rugi sendiri," tutur Rino.
Hal ini juga turut didukung oleh hadirnya seniman cover. Pada era media sosial dan platform short video saat ini, turut berperan dalam memajukan musik minang. "Mereka kan ikut melestarikan, ikut memviralkan," katanya.
Ia berharap musik Minang makin dicintai masyarakat, dimanapun berada. Makin banyak yang viral dan makin mewarnai Indonesia juga hingga mancanegara. (Dharma Harisa/HM)