Gunung Marapi terus bergejolak setidaknya hingga Senin (9/1/2023). Sejak erupsi pertama, Sabtu (7/1/2023), pukul 06.11 WIB, hingga Senin siang, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) merilis Marapi telah erupsi sebanyak 67 kali.
“Tinggi kolom 150-200 m di atas puncak. Kolom abu teramati berwarna putih hingga kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah timur-tenggara,” beber Pengamat Gunungapi Marapi Ahmad Rifandi.
Marapi gunung yang menjulang di pedalaman Minangkabau, bersisian dengan ruas patahan Sumatra. Segmen Sianok sesar aktif patahan Sumatra, dengan panjang 90 km, menjalar dari sisi timur laut Danau Singkarak melewati sisi Barat Daya Gunung Marapi, sebelum berakhir di Ngarai Sianok.
Menurut geolog Ade Edward, tautan antara gunung Marapi dengan jaringan patahan Sumatra, lebih dari sekedar bersisian. Dikatakan Ade, pembentukan gunung Marapi berhubungan dengan segmen patahan Sumatra di kawasan tersebut.
Artinya, sel-sel patahan di perut bumi dengan gergasi alam seperti Marapi, bertalian atau kelindan yang tak terpisahkan.
“Melalui rekahan zona patahan Sumatra lah keluarnya magma yang membentuk Marapi dan juga gunung-gunung api sepanjang patahan Sumatra. Jajaran gunung api sepanjang patahan Sumatra termasuk bagian dari ring of fire,” jelas Ade, mantan Koordinator Manajer Pusdalops PB BPBD Provinsi Sumbar ini.
Nah, dengan kondisi demikian, apakah erupsi Marapi bisa membangkitkan gempa (besar)?
“Bisa saja,” ujar Ade.
“Sebaliknya getaran dari gempa besar sekitar gunung api juga bisa memicu aktifitas gunung api,” Ade menambahkan.
Ade mencontohkan letusan gunung Merapi di Yogyakarta/Jawa Tengah dan dan gempa bumi Yogyakarta di bulan Mei 2006. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY menjelaskan, letusan awal Gunung Merapi di tahun 2006 terjadi pada tanggal 13 Mei dan berstatus awas hingga 9 Juni 2006.
Erupsinya diawali dengan pertumbuhan kubah lava dengan jarak luncur awan panas mencapai 7 Km dan menghanguskan sebagian besar hutan di kawasan Kaliadem, Kabupaten Sleman.
Pada 27 Mei 2006, gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 SR mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Ade menjelaskan, ketika gunung api erupsi akan ada volume magma yang terlontar kepermukaan sehingga tekanan di dalam dapur magma berkurang. Hal ini akan dapat memicu pergerakan masa batuan pada patahan sehingga bergerak.
“Gerakan masa batuan inilah yang membangkitkan gempa,” tukasnya.
Lalu bagaimana dengan potensi erupsi Marapi yang hingga kini masih menggebu-gebu? Apakah bisa memicu gempa besar di Sumbar? Jawaban paling rasional, bisa saja atau kemungkinan tidak.
Sependek pengetahuan penulis dengan memungut peristiwa gempa di Sumbar di masa lalu, belum didapatkan erupsi gunung api khususnya Marapi membangkitkan gempa bumi tektonik dengan skala besar di bumi Sumatra Barat.
Para Ahli Turun Tangan Meluruskan Musabab Gempa 1926
Alkisah, gempa 28 Juni 1926, gempa terbesar di pedalaman Minangkabau (Dataran Tinggi Padang), menyisakan penasaran bagi para geolog, seismolog atau pun vulkanolog memastikan sumber gempa (episentrumnya). Guncangan di hari Senin itu, melepaskan dua energi besar; sekira pukul 10 pagi, M 7,6, lalu siangnya M 7,8. Alhasil, bangunan-bangunan beton di Kota Padang Panjang dan sejumlah kota di dekatnya, rontoh, rebah kuda. Sementara bangunan kayu agak minim kerusakannya, lebih kepada kuda-kuda rebah saja.
Jumlah korban tak ada yang valid sejauh ini. Di sejumlah koran kolonial angka korban dianggap ratusan orang. Sementara sekitar 70 ribu orang mengungsi, artinya kehilangan rumah. Imbasnya yang begitu besar ini, membuat pemerintah kolonial menaruh perhatian mencari penyebab terjadinya gempa tersebut.
Terlebih terjadi simpang siur sumber gempa. Ada yang menyebut itu akibat letusan gunung Marapi. Asumsi ini wajar saja, mengingat Marapi gunung api aktif itu tegak mengangkang di halaman depan Padang Panjang, wilayah paling terdampak gempa.
Ada juga interpretasi yang sangat liar seperti itu kejatuhan komet dari langit; itu tanda-tanda kiamat; bahkan ada yang mengaitkan dengan isu komunis, sebuah paham ideolog dan gerakan yang menyubur di Padang Panjang saat itu. Ini bisa dibaca di buku Semasa Kecil di Kampung karangan Muhammad Radjab.
Atas permintaan Residen Sumatra’s Weskust P.C Arends, seismolog Visser dan vulkanolog M. E. Akkersdijk dikirim ke Sumatra Barat untuk menyelidiki penyebab dan dampak gempa bumi.
Visser menganalisa kejadian gempa tektonik dan dampak yang ditimbulkan. Secara teori, gempa adalah energi hasil tumbukan lempeng bumi yang tidak bisa dihindari. Jika energi yang dilepas besar, gempa bisa menimbulkan kerusakan yang besar.
Prof. Dr. Berend George Escher, Guru Besar Geologi Universitas Leiden yang telah banyak meneliti gunung-gunung di Hindia Belanda, ikut menyelidiki penyebab gempa besar 1926.
Dalam laporannya yang dimuat di koran De Courant Het Niuews van den Dag, terbitan 3 juli 1926, George Escher ihwalnya mempertanyakan apakah mungkin untuk menyimpulkan dari laporan surat kabar di mana episentrum gempa Padang Panjang berada? Kala itu, memang misinformasi jamak terjadi yang kemudian diamplifikasi sama surat-surat kabar.
Keterbatasan narasumber yang punya kapasitas ilmu kegempaan atau pun geologi masa itu, menyuburkan beragam interpretasi sekaitan dengan episentrum gempa itu sendiri.
Menurut Escher, gempa bumi dirasakan di atas tanah, tidak membuktikan bahwa pusat gempa terletak di bawah tanah. Di atas pusat gempa terdapat titik yang disebut episentrum dari mana gempa tampak meluas di atas permukaan bumi.
Menurutnya, riwayat sebagian besar gempa bumi yang dirasakan di Sumatra berasal dari pergeseran di bagian kerak bumi yang terletak di bawah dasar laut, di barat daya Sumatera. Juga episentrum sebagian besar gempa bumi yang dirasakan di Jawa terletak di selatan Jawa di wilayah palung dan pegunungan laut dalam.
Jika dilihat dari peta letak pusat-pusat gempa tersebut, tampak bahwa semuanya tersusun dalam satu garis yang hampir sejajar dengan pantai barat daya Sumatera. Namun, dari penyelidikan geologi diketahui sumber gempa 28 Juni 1926, berasal dari garis patahan membujur melintasi Sumatra. Garis patahan adalah titik lemah di permukaan bumi. Singkapan dari permukaan patahan yang menembus jauh ke dalam kerak bumi.
Pergerakan terjadi di kedalaman sepanjang permukaan patahan yang sudah lama ada ini, tegangan diubah menjadi gerakan, dimana getaran diciptakan, yang menyebar ke seluruh bumi. Patahan yang dimaksud Escher itu dikenal dengan patahan Sumatra, sesar Sumatra, patahan Semangko, atau sesar Semangko.
“Apakah mungkin untuk menyimpulkan dari laporan surat kabar di mana episentrum gempa Padang Pandjang berada? Tidak pasti, tetapi laporan yang diterbitkan sejauh ini memungkinkan bahwa kali ini pusat gempa berada di Sumatera sendiri, yaitu di jalur patahan yang terkenal, yang membentang dari tepi barat Danau Toba melalui Fort de Koek dan danau Kurintji ke Teluk Semangka.”