Kita sudah melewati kegembiraan dan hiruk-pikuk tahun baru dengan penuh glamor dan sukacita. Sebahagian turun ke jalan-jalan, tempat wisata, di panggung-panggung hiburan, di panggung-panggung pidato kebudayaan dan sebagainya. Bulan Desember menandai juga penutupan akhir tahun 2022, intansi-intansi dan perusahaan membayarkan dan menutup segala anggaran belanja.
Awal tahun ini kita seakan melepaskan lelah dari kerja berat dan perjalanan panjang. Namun detik dan perubahan tentu tidak berhenti. Pertukaran tahun memang terlihat pada angka sebagai penanda. Namun perubahan berjalan terus, proses tidak pernah berhenti.
Seperti cuaca yang berganti, atau seperti laut yang selalu mendesah dan berpacu ke pantai.
Berkaitan dengan pikiran dan menyiasati perubahan itu, tepat pada pagi hari awal Januari 2023, saya sempat menuliskan beberapa baris frase puitik kepada sebuah group sastra. Maksudnya adalah perubahan tidak berhenti pada perubahan angka tahun; lalu apa yang mau dilakukan ke depannya? Begini bunyi frase itu.
“Selamat pagi semua. Semoga sehat menempuh 2023. Puisi akan berlari dalam nafas yang panjang. Puisi tidak tidur dalam kesepian Nyawa-nyawa bergerak dalam kata. Penyair tak terasing dalam malam. Penyair adalah tubuh yang bergairah, tonggak yang tak mudah patah. Penyair di depan pada setiap yang berlari. Penyair, raga dan nyawa yang tidak mudah lelah. penyair adalah kekuatan yang memandang dunia dari ketinggian, penyair masuk ke dalam dunia yang selalu bergergelora”.
Sebenarnya frase-frase itu tidak hanya berbicara mengenai Penyair, namun kaum intelektual, akademisi dan semuanya yang terlibat dalam perubahan. Tahun 2023 tentu mempunyai tantangan yang semakin lengkap dari berbagai sisi; ekonomi, teknologi, kenegaraan dan sosio-budaya.
Apa lagi Indonesia akan memasuki suatu masa Pemilu, memilih para pemimpin untuk kelanjutan ke-Indonesiaan dan kenegaraan.
Setiap adanya perististwa politik, terutama Pemilu, sering diiringi berbagai konflik dan gesekan. Isu-isu bertebaran di media massa dan media sosial. Isu-isu itu sering di luar rasa adat-istiadat atau budaya Timur, bahkan di luar kemanusiaan. Kubu-kubu politik berani mencaci-maki secara terbuka di berbagai media, bahkan di darat.
Perubahan-perubahan di dalam negeri tentu tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan global dari berbagai aspek. Peristiwa demokratisasi pun tidak terlepas dari berbagai soft-intervention dari luar. Perkembangan teknologi digital dan media berbasis web telah masuk ke seluruh tubuh kebudayaan.
Suatu yang tidak bisa dielakkan. Slogan-slogan pemurnian kebudayaan, kembali ke asal, sterilisasi kebudayaan apalagi kembali ke adat lama adalah tidak mungkin dilakukan. Pemimpin-pemimpin kebudayaan lama yang tidak mengharapkan perubahan sama dengan para utopis yang hidup dalam lautan dan tak mau keciprat air.
Kapal-kapal kebudayaan di manapun, berada di tengah gelombang lautan peradaban yang tidak bisa dielakkan. Suku terasing pun akan didesak perubahan. Cara yang paling mendasar adalah menyiasati perubahan dan membuat strategi baru kebudayaan.
Kaum akademisi sejatinya memikirkan jalan baru peradaban. Kalau tahun 1930-an Sutan Takdir Alisjahbana, Djamaluddin Adinegoro dan seangkatannya berpikir untuk melirik Barat sebagai jalan perubahan. Dalam tataran yang berbeda mereka membangun manusia baru Indonesia dengan berpijak pada kebudayaan yang sudah membentang.
Itulah dasar rumusan ke-Indonesiaan kita yang kemudian dikemas dalam Pancasila dan UU Dasar 1945.
Dasar berpikir para perintis peradaban Indonesia itu tentu bukan pikiran di dalam ruangan yang tertutup dan di balik meja yang penuh siraman air conditioner. Mereka hadir dari realitas yang ada di tengah masyarakat. Banyangkan bagaimana Muhammad Yamin dan Adinegoro berangkat dari Talawi, Sawahlunto, yang secara eksistensial adalah dalam ruang kebudayaan Minangkabau dan masyarakat terjajah.
Mereka melihat masyarakat yang harus dibangun dan mesti mengejar peradaban Barat yang mereka anggap lebih maju. Karena itulah Adinegoro pergi ke Eropah dan meninggalkan sekolah dokter Stovia (Jakarta) yang penuh dengan iming-iming kemewahan dalam masyarakat kolonial.
Umumnya begitulah para perintis Indonesia, meninggalkan kesenangan pribadinya demi peradaban Indonesia baru yang bebas merdeka.
Masyarakat kontemporer adalah masyarakat mewah, masyarakat yang penuh kemudah-kemudahan. Terlepas dari masih adanya yang miskin dan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Itu adalah dampak kepongahan dari kemewahan sebahagian orang.
Realitas sehari-hari, jalan-jalan di negara ini mulus dan ber-hotmix. Kenderaan bermotor berluncuran di jalan raya. Rumah-rumah bagus berdiri tegak. Pakaian-pakaian mewah dan parfum-parfum ternama sudah menjadi bahagian dari hidup masyarakat.
Namun hal yang sering terlihat adalah terjadinya keterbelakangan kebudayaan (meminjam ahli budaya W.F Ogburn); tidak sejajarnya perkembangan budaya materi dan non materi. Kebudayaan materi sudah berjalan begitu maju dan menjadi bahagian hidup, sementara mentalitas masyarakatnya jauh dari beradab.
Ini bisa dibuktikan dengan sampah-sampah yang ditebar dari atas mobil mewah, pemasangan tenda-tenda pesta di jalan-jalan raya sehingga merampas hak publik. Trotoar-trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dirampas oleh para pedagang yang katanya mencari uang atau materi. Sangat banyak contoh.
Apa lagi dikaitkan dengan kasus-kasus non-beradab di dunia pendidikan dan politik kita;pelacuran intelektual, kekerasan terhadap anak didik dan penjegalan-penjegalan kekuasaan yang di luar batas rasional orang beradab. Termasuk pembunuhan-pembunhan dan pemerkosaan oleh kalangan berijazah dan berkedudukan. Kita benar-benar terjermbab dalam jurang dan lumpur dari residu peradaban.
Lembaga pendidikan tentu jantung peradaban. Pada lembaga pendidikan sejatinya disemaikan nikai-nilai agung akal sehat dan jiwa kemanusiaan. Perguruan tinggi diproyeksikan untuk membentuk masyarakat yang penuh etika dan kehalusan budi. Lembaga pendidikan akan menjadi mesin peradaban.
Produk dari pendidikan tinggi akan dikirim ke tengah masyarakat dan di sana akan menjadi agen perubahan untuk tatanan baru. Namun pendidikan moderen fenomenanya lebih banyak menghasilkan material-material, manusia-manusia yang mengantongi ijazah namun kurang nalar.
Capaian-capaian pendidikan lebih banyak diukur pada capaian-capaian formal. Capaian-capaian itu nampak pada hasil akreditasi-akreditasi imitasi. Hasilnya mengangumkan dalam tataran imitasi, namun realitasnya “pahit”. Capaian-capaian imitasi ini adalah berbasis dokumen yang baik, bukan realitas yang baik. Ini menyedihkan dan merisaukan.
Perguruan tinggi kehilangan roh akademis dan intelektualitas. Orang-orang bekerja seperti mesin yang diperintah; fisik bergerak, akal sehat dan roh seakan hilang. Ruang-ruang perbedaan pun hilang di tangan kekusaan.
Orang yang berbeda perlu dikesampingkan, tak perlu apakah yang disapaikannya substansial atau tidak. Lembaga perguruan tinggi seperti lembaga adat konvensional. Pendapat publik tidak dibenarkan yang dibenarkan adalah pendapat para “Datuk”. Datuk dalam adat tidak boleh didahului.
Tetapi beda juga, pimpinan adat tradisional zaman purba ia adalah pemberi yang sudah berkorban banyak. Pemimpin dalam zaman kontemporer, setelah menjadi “datuk” sering ia mengorbankan masyarakatnya, bahkan institusinya.
Mulai menapak tahun baru 2023, kita akan menapak ke dalam kerja baru namun suasana yang terasa usang. Sering orang bertanya, apa perubahan yang telah terjadi di lingkungan kita? Apa capaian kita untuk masyarakat sekitar sekalian karya-karya ilmiah yang tidak dibaca oleh masyarakat namun membanggakan komunitas? Apa capaian-capaian yang berpengaruh pada masyarakat luas selain capaian kepentingan pribadi?
Tentu banyak pertanyaan pada setiap awal tahun. Pertanyaan-pertanyaan yang berulang-ulang dan serius. Sayang diabaikan dalam setiap pertanyaan itu muncul. Sebab kita asyik dengan capaian dan ambisi pribadi, bukan memikirkan masyarakat luas dan peradaban.
Kita selalu berada di menara gading yang semakin tinggi dan penuh glamor-kemewahan.
*Dr. Wannofri Samry adalah Dosen Sejarah di FIB, Universitas Andalas