Langgam.id - Hanya dalam rentang waktu empat bulan, Indonesia kehilangan dua guru bangsa. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif berpulang pada 27 Mei 2022. Guru bangsa yang lain, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyusul Buya Syafii pada 18 September 2022.
Wafatnya kedua tokoh kebangsaan tersebut membuat Indonesia berduka, dalam tahun yang sama. Media sosial hingga media massa penuh dengan tulisan kenangan dan penghormatan atas kiprah kedua tokoh yang kebetulan sama-sama berasal dari Sumatra Barat.
Beberapa hari sebelum meninggal dunia di Malaysia (18/08/2022), Azyumardi Azra sempat berkunjung ke sejumlah wilayah di Sumatra Barat (Sumbar) selama enam hari, mulai Jumat (9/9/2022) sampai Kamis 9/9/2022).
Di antara agenda kunjungan ke tanah kelahiran tersebut, cendekiawan muslim ini menjadi pembicara dalam seminar internasional yang diadakan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Imam Bonjol Padang, pada Rabu (13/9/2022).
Rektor UIN IB Martin Kustati mengatakan, dalam kertas kerjanya pada seminar itu, Azyumardi memaparkan persinggungan pendidikan islam dan kearifan lokal. Hal itu disampaikan rektor saat menghadiri pertemuan virtual, "Mengenang Prof Azyumardi Azra" bersama Pimpinan Pusat Ikatan Alumni UIN IB yang disiarkan langsung secara live oleh Langgam TV, Sabtu (24/9/2022).
Baca Juga: 6 Hari Perjalanan di Tanah Kelahiran Sumbar, Sebelum Azyumardi Azra Berpulang
Ulama yang terkenal dengan konsep "Islam with smiling face" (Islam dengan wajah yang tersenyum) itu juga sempat menyambangi kampus III UIN IB yang baru diresmikan. Ia berharap UIN IB dan pendidikan Islam di Sumbar akan berkembang maju ke depan.
Pada pertemuan yang sama, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat Shofwan Karim mengatakan, Prof. Azra rencananya akan kembali ke Sumbar pada Oktober nanti. "Beliau menjawab insya Allah ketika kita undang untuk menghadiri pra kongres kebudayaan pada 3 Oktober nanti," tuturnya.
Sebelumnya, saat diwawancarai langgam.id, Shofwan memaparkan banyak kesamaan antara Azyumardi Azra dan Syafii Maarif. Keduanya, sama-sama cendekiawan dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Baik Buya Syafii dan Prof. Azra sama-sama menyuguhkan gagasan Islam yang ramah, moderat, dan humanis.
Keduanya berani menentang dan melawan radikalisme. Dengan pikiran jernih dan terukur secara rasional, Buya Syafii dan Prof. Azyumiardi Azra, bak angin penyejuk bagi umat yang dilanda huru hara perpecahan serta terorisme.
Dalam perjalanan karirnya, dua tokoh tersebut juga tidak segan-segan melontarkan kritik atau masukan kepada penguasa.
Perbedaan diantara keduanya, menurutnya, lebih kepada cara dan tidak prinsipil. "Visi keduanya sama. Bagaimana agar umat islam Indonesia dicerdaskan secara terus menerus, dirasionalkan berpikirnya, berkemajuan, melek literatur, dan paham Alquran Hadits."
Pengembaraan Intelektual
Ketua Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Sumbar Muhammad Taufik mengatakan, setelah kepergian keduanya, makin sulit menemukan ulama cendekiawan dengan pemikiran orisinil.
Buya Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fathiyah.
Sedangkan Azyumardi Azra lahir pada 4 Maret 1955 di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ayahnya Azikar, adalah seorang pedagang koprah dan cengkih. Sementara itu, ibunya Ramlah berprofesi sebagai guru agama. Secara antropologis,
Dengan demikian, secara kultur Buya Syafii bisa disebut berasal dari Minangkabau darek, sementara Prof. Azra dari ranah di pesisir Sumatra Barat.
Dari darek maupun pesisir, lazimnya dahulu remaja di Minangkabau memiliki tradisi belajar ilmu agama di surau. Setiap sore dan malam hari, mereka akan menginap, mengaji, dan melakukan tradisi ibadah lainnya disana. Buya Syafii menceritakan hal senada dalam autobiografi: Titik-titik kisar di perjalananku (hal 65).
Berbeda dengan Buya Syafii, proses belajar dan pendidikan Azyumardi Azra diterima langsung dari sang ibu. Hal tersebut diceritakan lewat jurnal ilmiah tulisan Lukmanul Hakim: Azyumardi Azra Sebagai Sejarawan Islam. Selain juga, Prof. Azra bersekolah secara resmi di SD negeri 01 Lubuk Alung.
Walau punya latar belakang intelektual berbeda semasa remaja, pemikiran mereka hari ini tidak terlepas dari akarnya sebagai putra Minang. Terlihat pada sikap kedua tokoh yang terkenal demokratis dengan wacana pemikiran yang luas.
Azra sendiri pernah menyebutkan bahwa orang Minang kental dengan ciri egaliter dan kosmopolitan. Kondisi sosio-kultural Minangkabau tersebut turut membentuk momentum kesadaran kedua tokoh ini untuk maju lebih dulu.
Hal itu diungkapkan oleh Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang Abdullah Khusairi, salah seorang mahasiswa Azra saat mengambil program doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kedua tokoh tersebut, menurut Khusairi, melakukan pengembaraan layaknya pemuda Minang lain yang pergi merantau. Tapi, tidak seperti kebanyakan orang yang pergi ke tanah seberang untuk berdagang, Buya Syafii dan Prof. Azra melakukan pengembaraan ilmu. "Keduanya merantau intelekual," katanya.
Menurutnya, selain latar belakang Minangkabau yang dimiliki keduanya, baik Buya Syafii dan Prof. Azra juga dibentuk melalui pengalaman semasa menjadi mahasiswa.
Maarif muda masuk ke Universitas Cokroaminoto Surakarta dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Sedangkan Azyumiardi Azra menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab di IAIN Jakarta atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1975.
Ada banyak kesamaan dari perjalanan kedua tokoh bangsa ini selama berada di perguruan tinggi. Mereka sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia. Keduanya juga pernah menjadi wartawan.
Maarif muda merintis karier sebagai korektor di redaksi Suara Muhammadiyah pada 1965-1972. Prof Azra merupakan wartawan Majalah Panji Masyarakat sejak 1979 sampai 1985. Selain itu, mereka juga terdata sebagai bagian dari keluarga besar Muhammadiyah.
Tidak sampai di situ, kesamaan antara kedua bapak bangsa ini berlanjut dalam bidang ilmu yang mereka geluti. Baik Buya Syafii dan Prof. Azyumiardi Azra, sama-sama memfokuskan diri dalam bidang sejarah dan filsafat Islam.
Terpaut satu generasi, Syafii Maarif lebih dulu melanjutkan studi pascasarjana di Amerika. Tepatnya di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Di Chigago lah Buya bertemu dengan Fazlur Rahman, seorang pemikir pembaharu Islam – yang nanti sedikit banyaknya mempengaruhi moderasi mantan Ketua PP Muhammadiyah itu dalam beragama.
Selang sepuluh tahunan, Pada 1992, Azra memperoleh gelar Doctor of Philosophy dari Universitas Colombia, dengan disertasi berjudul: The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries.
Pendidikan doktoral mereka di Amerika, dengan world view, pandangan dunia, dan perspektifnya inilah yang mengubah cara mereka dalam melihat nusantara, melihat Indonesia, dan melihat umat.
Abdullah Khusairi mengatakan, dengan pengalaman dan perjalanan panjang, kapasitas dan cakrawala penalaran dua tokoh tersebut menjadi luas.
"Cendekiawan yang paham filsafat dan sejarah Islam, juga mengerti betul bagaimana fenomena yang akan terjadi, berkaca pada sejarah yang ada sebelumnya. Kemampuan zoom in, zoom out nya lebih tajam," katanya.
Produktif Menulis
Ahmad Syafii Maarif dan Azyumardi Azra juga sama-sama terkenal sebagai intelektual, akademisi dan cendekiawan yang produktif dalam menulis. Sederet buku best seller juga pernah ditulis oleh mereka.
Sebut saja buku: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII buah tulis Azra yang terbit tahun 1994. Sampai saat ini, dibanyak jurnal ilmiah, kita masih menemukan peneliti-peneliti yang menjadikan buku tersebut sebagai referensi utama.
Atau buku: Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah gubahan Syafii Maarif.
Dalam buku ini, Buya hendak menyelaraskan tiga pokok pemikirannya terhadap keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan; tanpa harus mengancurkan dasar pikiran satu sama lain. Jika ditulis satu per satu, mungkin akan memakan banya halaman untuk memuat daftar buku dan artikel yang telah mereka tulis.
Selain itu, mereka berdua secara khusus juga mendapat tempat spesial di media cetak untuk menulis. Misalnya pada Harian Republika. Setiap Selasa, kita bisa membaca ruangan syafii. Dan pada Kamisnya, kita bisa melihat pojok Azra.
Keduanya memberi warna terhadap perjalanan Islam di Indonesia. Terutama berupa model pemikiran yang inklusif, terbuka, dan kritis. Serta mempertemukan cara dan model demokrasi yang kompatibel dengan Islam.
Dua-duanya memiliki karakter pemikiran yang ilmiah serta rasional. Azra dan Maarif termasuk orang yang marah, ketika cara berpikir umat tertutup dan stag, dan ketika ada pikiran yang intoleran terhadap perbedaan.
Dalam menulis dan berpendapat, Buya Syafii Maarif biasanya lebih lugas. Abdullah Khusairi yang pernah mewawancarai Buya sewaktu berkunjung ke UIN Imam Bonjol mengatakan, sikap pembaharuannya itu terang benderang, berani, tanpa tedeng aling-aling, dengan bahasa yang kritis juga terpelajar.
Misalnya, kata Khusairi, "Sudah lama kita merasakan bahwa sila kelima itu yatim piatu," mengutip Bahasa Buya Syafii. Diksi-diksi demikian, menurutnya, terpengaruh Budaya Minang yang memang kaya diksi dan analogi.
Buya juga pernah berujar, ketika ada fenomena politikus yang materialistik ketika sudah dapat jabatan. Dia sebut dengan "politik wadah cari makan". Kalimatnya pendek-pendek, tapi mengena ke hulu hati.
Pernyataan-pernyataan seperti itu, menurutnya, jarang kita temukan dalam kamusnya Azra. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu lebih teoritis berdasakan data dan fakta. Mendalam dan terukur berdasar metodologi ilmiah. Serta sistematis, terstruktur dan professional.
Ada kebiasaan menarik yang dijaga Azra semasa hidup. Khusairi yang merupakan salah satu muridnya menyebutkan, "Dia tidak boleh diganggu dari subuh sampai jam delapan pagi." Itu waktu bagi Azra untuk membaca dan menulis.
"Baginya menulis merupakan sebuah kebutuhan. Dia punya jalan sunyi sebagai cendekiawan, pemikir atau filsuf," ujar Khusairi.
Pancasila dan Islam yang Kompatibel
Buya Syafii dan Prof. Azra semasa hidupnya, juga berulangkali melawan dan mengutuk tindakan terorisme atas dasar apa pun. Termasuk kepada mereka yang tidak setuju dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pandangan kedua tokoh ini, Pancasila dan Republik Indonesia selalu kompatibel dalam islam. Cendekiawan Islam Muhammadiyah Sumbar, Shofwan Karim, menjelaskan, "Mereka sepakat dengan empat konsep dasar nasional kita," katanya.
Empat pilar itu adalah: Pancasila, UUD NRI tahun 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. "Mereka selalu jadi juru bicara empat pilar itu, karena tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah," ucap Shofwan.
Dalam istilah Muhammadiyah, Shofwan menyatakan, empat pilar itu adalah “Darul Ahdi Wa Syahadah.” Negara kesepakatan dari perjanjian yang disepakati. Sehingga harus diterima umat Islam di Indonesia, dan tidak perlu diungkai lagi. Oleh karena itu, empat pilar tersebut harus jadi pandangan positif dan kondusif bagi umat islam di Indonesia.
Hal senada juga dikatakan Abdullah Khusairi. “Berulangkali dibanyak tulisan, keduanya (Buya Syafii dan Prof. Azra -red) menyatakan kompatibel Islam dengan Pancasila serta demokrasi, tak perlu diperdebatkan lagi.”
Ketika sebagian orang masih meragukan hal tersebut, Khusairi memandang hal itu terjadi karena karena dangkal dan miskinnya literasi mereka soal islam.
“Sektarian itu tidak membuka diri dan cenderung membangun intoleransi, dan kadang-kadang ahistoris terhadap perjalanan bangsa. Sementara itu, dua tokoh bangsa yang baru berpulang ini sangat paham akan sejarah," ujar Khusairi.
Buya dan Prof. Azra melihat bagaimana para pejuang kita dahulu memiliki konsep yang matang dan kompatibel sampai Indonesia 77 tahun merdeka.
Yang dibutuhkan adalah, sikap terkepung dan terancam itu harus bangkit dengan cara edukasi. Tingkatkan dengan pendidikan. Oleh karena itu, kedua tokoh ini mendorong agar umat Islam berpendidikan lebih, baru dia akan terbuka cara berpikirnya.
Keduanya dalam perjalanan adalah tokoh pembaharu. Mengajak banyak orang dan juga menggerakkan, bahwa kesadaran terpenting dari kehidupan umat Islam adalah pendidikan. Buya Maarif dan Azra berjuang untuk itu dan berangkat lebih dulu, walaupun beda generasi (waktu).
Islam di Indonesia
Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang Muhammad Taufik berpandangan Buya Syafii Maarif mendefinisikan Islam dalam konteks Indonesia.
Menurutnya, kedua tokoh ini, meninjau dari sosio-budaya, Islam sangat kompatibel dalam sistem tata kehidupan Indonesia.
Umat Islam di Indonesia, kata Khusairi, sudah bisa mewarnai jauh dunia pendidikan Indonesia. Sudah sangat bagus dalam sejarahnya, yang membawa umat islam di Indonesia menjadi sangat kuat dan memiliki corak yang patut dicontoh negeri lain.
Hadirnya Islam sebenarnya sudah memberi ruang untuk interpretasi. Itu memungkinkan Islam memiliki corak yang berbeda-beda. Lalu muncul sikap moderasi beragama, gerakan Islam garis tengah, Islam washatiyah, Islam yang memahami satu sama lain, berbeda cara menafsirkan doktrin-doktrin yang diterima dari Al-Qur'an.
"Kata Harun Nasuiton, Al-Qur'an butuh orang yang berpikir, butuh penafsiran, bukan hanya sekadar literal semata. Dan bagaimana mungkin penafsiran bisa sama?" tuturnya.
Ada sebab lain kenapa penafsiran dapat berbeda. Pertama beda zaman, kedua beda ilmu pengetahuan, dan ketiga beda budaya. Abdullah Khusairi menjelaskan, "Apakah itu dimaknai bahwa Islam itu berbeda-beda? Tidak, Islam itu umat yang satu (wasatan), dengan cara melihat sistem nilai yang dibangunnya."
"Kalau sistem nilai yang dibangunnya memporak-porandakan tatanan umat, itu bukan lagi Islam yang mendeduhkan, yang satu, dan bukan lagi yang rahmatan lil’alamin," kata Khusairi.
Menurutnya, semua orang perlu untuk introspeksi diri. “Seperti kata Prof. Azra, penalaran yang dangkal melahirkan kebencian. Bisa membuat orang saling bunuh, itu dalam sejarah sudah pernah terjadi. Apakah kita mau jatuh ke dalam lubang yang sama?” tanya Khusairi.
Dia melanjutkan bahwa Azra sering menyayangkan sikap-sikap egosentris, sektarianisme, yang dikemukakan oleh kalangan tertentu. Hanya mementingkan kelompok kecilnya saja, tapi menamakan Islam.
Menurut Shofwan Karim, baik Buya Syafii maupun Prof Azra menupakan penjaga wasatiyah Islam. "Mereka tidak ke kiri dan ke kanan. Mereka mengakomodir keduanya di tengah," ujar Shofwan yang menukil pernyataan mantan menteri agama, Lukman Hakim Saifuddin.
Teladan Sederhana dan Cinta Kampung Halaman
Tidak hanya soal akademik dan pemikiran, Buya Syafii dan Prof. Azyumardi Azra juga memiliki banyak kesamaan dalam laku hidup sehari-hari. Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, Shofwan Karim, yang sudah mengenal buya Syafii sejak tahun 1978, mengungkapkan hal tersebut.
“Mereka dua-duanya rendah hati dan sangat humbel. Terlebih Maarif, punya rasa percaya diri yang tinggi.
Sepengetahuan beliau, khususnya Buya Syafii, guru bangsa tersebut tidak pernah lupa melaksanakan sholat dhuha.
Shofwan menceritakan pengalamannya ketika hendak menjemput Buya Syafii ketika masih punya rumah di aia dingin. Terlihat, kehidupan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Yogyakarta itu sangat sederhana.
Begitu pula saat Shofwan menjemput keduanya di bandara. “Dua-duanya tidak mau dibantu kalau di airport, berangakt simpel, tas kecil saja.” Ketika hendak dibantu ujar Shofwan, Buya pernah menjawab, “Hei saya kan masih punya tangan.” Azra juga begitu terang pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Sumbar ini.
Pernah pada tahun 2003 ujar Shofwan, ketika Syafii MaariF menjabat Ketua PP Muhammadiyyah, sewaktu itu ada kasus di Padang. Ada seseorang yang datang ke depan forum dan menuding-nuding Buya Syafii.
"Buya tenang saja, kalau ada orang yang mengkritik dia. Dia akan dengan senang menjawab dengan baik,” tuturnya. Soal kerendahan hati, dua tokoh tersebut punya banyak cerita.
Walaupun sederet penghargaan dan prestasi sudah ditorehkan keduanya, hal itu tidak membuat mereka jumawa. Juga tidak melupakan tapian, tempat mereka pernah dibesarkan. Prof. Azra ketika menerima penghargaan The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star dari Kaisar Jepang, tampak memakai pakaian penghulu khas minangkabau.
Ulama yang menjadi juru kunci perubahan nomenklatur IAIN menjadi Universitas Islam Negeri ini, tetap memegang erat identitas akarnya.
Sama halnya dengan Azra, Buya Syafii yang lama di perantauan, punya kontribusi besar untuk kampung halaman. Mengutip sumbar.jppn.com, Anwar Abbas, Wakil Ketua MUI pernah mengatakan, “Sejak dia bukan siapa-siapa hingga menjadi orang yang disegani se-Indonesia, Buya Syafii tetap tak lupa pada kampung halaman.”
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) inilah yang membantu untuk memasukkan listrik ke kampungnya di Calau, Sumpur Kudus.
Kepergian
Berbeda waktu empat bulan, namun ada kesamaan saat kedua tokoh meninggal dunia. Ucapan duka muncul bermunculan di media sosial hingga media massa. Rasa duka karena kehilangan tak henti muncul di lini massa.
Sejak dari murid-murid kedua tokoh yang berpencar di Nusantara dan Mancanegara hingga ke kampung halamannya. Takziah virtual diadakan dimana-mana. Kedua tokoh ini unik, dan karena keunikan itu kita merasa kehilangan.
Beliau berdua punya pemikiran-pemikiran yang mencerahkan. Itu akan sulit kita dapati lagi. Orang-orang seperti Buya dan Prof Azyumardi Azra.
Kita agak sulit menemukan satu dua orang cendekiawan yang bisa dikenang dunia. Selain mereka berdua, butuh waktu lama, melihat siapa cendekiawan yang diakui dunia. Yang bisa seperti keduanya.
Generasi Penerus Intelekual
Dahulu saat Haji Agus Salim meninggal, kemudian Yamin, Sjahrir, disusul Bung Hatta, Buya Hamka dan Pak Natsir, semua orang berpikir sama. Siapa lagi gantinya?
Setiap zaman ada tokohnya, setiap tokoh ada zamannya. Sebuah nukilan yang sering kita dengar jika sedang membicarakan seorang tokoh. Termasuk ketika mengenang Buya Syafii Maarif dan Prof. Azyumardi Azra. Mereka berdua dibentuk oleh prototype zamannya. Ada sesuatu yang pada zaman itu bisa membawa mereka, mengajarkan mereka, bisa sampai pada titik yang kita banggakan saat ini. Persoalannya, bagaimana prototype itu terbangun pada zaman mendatang?
Kita tidak tahu, bagaimana kita mengambil semangat, kemudian meletakkan kondisinya pada hari ini. Lalu melahirkan seorang atau dua orang putra Minang yang seperti Ahmad Syafii Maarif dan Azyumardi Azra. Tentu ada yang bisa dipasang seperti daya juang mereka. Tetapi apakah itu cukup? Dengan kemajuan teknologi dan percepatan zaman pada saat ini?
Menurut Abdullah Khusairi, tak ada teori lain dalam perubahan sosial kehidupan manusia selain belajar. "Membaca dan menulis harus menjadi sebuah kebutuhan. Dunia butuh kita tundukkan dengan ilmu," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, perlu ada desain dan pola pendidikan yang baru. "Sehingga bisa menskenariokan tumbuhnya Azra-azra dan Maarif-maarif baru. Ada semangat juang baru sekarang ini dengan menyekolahkan anak-anak di sekolah Islam. Namun perlu diingat pula, benturan ideologis dalam Islam sendiri, sedang memiliki masalah sendirinya juga."
Menurutnya, meski saat ini merantau atau pengembaraan fisik terlebur secara artifisial, merantau intelektual harus digalakkan. "Pemuda harus menjadi masyarakat yang haus akan bacaan serta menjelajahi banyak budaya."
Untuk itu, kata Shofwan Karim, perlu mendorong generasi muda rajin menulis. Baik di media mainstream atau pun media sosial.
"Media sangat menentukan lahirnya tokoh-tokoh. Ide dan pemikiran mereka harus dilihat oleh masyarakat banyak. Di samping perlu ada halaqah-halaqah yang terus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas intelektual dan spiritual generasi penerus," ujar Shofwan.
Para pemuda, kata Shofwan, harus memiliki karakter tahan banting. "Jangan takut dikritik orang, dihina orang.
Banyak orang tidak sesuai dengan Buya Syafii dan Azra, tapi mereka balas dengan fakta, data, dan ilmu pengetahuan. Hal itu diperlukan agar calon intelektual tidak berjarak dengan orang maupun masyarakat," tuturnya. (Dharma Harisa /HM)
--