Oleh: Hafidh Akbar
Baru-baru ini santer tersiar pemberitaan mengenai aksi tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok remaja di kota Padang. Dua sekolah terlibat tawuran yang berujung pembacokan, sehingga korban harus segera dilarikan ke Rumah Sakit (RS) untuk mendapatkan penanganan medis. Melansir Okezone, tim Klewang Satreskrim Polresta Padang telah berhasil membekuk enam pelaku atas kejadian tersebut, dua diantaranya ditemukan membawa barang bukti senjata tajam.
Alih-alih diberikan edukasi dan efek jera agar kejadian serupa tak terulang, nyatanya mencuat suatu rencana untuk mengangkat para pelaku sebagai “Duta Anti Tawuran”. Memang sedikit nyeleneh, ketika semua berlaku umum, dan ketika terjadi kehebohan, perseorangan yang terkait dengan pemberitaan dan viral dijagat maya kemudian didapuk sebagai duta. Entah duta apapun itu.
Menilik beberapa waktu kebelakang, ketika salah seorang publik figur tersandung kasus penghinaan terhadap lambang negara, berdasarkan kejadian itu pula kemudian ia diangkat sebagai “Duta Pancasila”. Kasus lain yaitu sewaktu sejumlah remaja memetik bunga Edelweis pun juga ditunjuk menjadi “Duta Pelestari Edelweis”. Terlebih beberapa waktu lalu, sewaktu ramai kawula muda yang berseliweran di daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat (Jakpus). Angin kencang berhembus dan mengisyaratkan Jeje Slebew didaulat “Duta Nongkrong”.
Disinyalir fenomena ini seakan menjadi hal lumrah di masa sekarang, walaupun tidak dalam konteks yang sebagaimana mestinya. Seharusnya mereka atau perseorangan yang ditunjuk, dipilih dan diangkat menjadi duta tentu harus memiliki kriteria tertentu menduduki posisi tersebut. Bagaimana tidak, sebab mereka-mereka inilah yang nantinya akan menjadi mitra kerja pemerintah terkait sosialisasi dan edukasi ke masyarakat. Baik kalangan remaja maupun dewasa.
Duta selayaknya menjadi corong pemerintah perihal sosialisasi dari tujuan dan capaian yang hendak disampaikan. Kanal-kanal inilah yang akan menjadi sub bagian pelayanan untuk membantu memberikan penyuluhan guna menstimulus masyarakat mengenai persoalan apapun yang belum dan atau tengah terjadi. Sebut saja seperti bidang pendidikan, pengenalan kebudayaan, maupun penunjang sektor pariwisata.
Baca Juga: Wali Kota Padang Akan Jadikan 6 Pelajar Penyerang Sekolah Duta Anti Tawuran
Pemilihan duta sepatutnya harus melalui serangkaian proses panjang dan menyeluruh, baik dari segi penanaman nilai-nilai, karakter, pendidikan, wawasan, public speaking dan lain sebagainya. Senada dengan hal tersebut pula sebaiknya penentuan dan pengangkatan duta tidaklah berdasarkan hal-hal yang hangat dipermukaan saja tanpa meniadakan esensi yang terkandung di dalamnya.
Pemerintah semestinya tidak terkesan gagap menanggapi persoalan ini. Karena sudah barang tentu duta akan menjadi partner strategis terhadap berbagai program kerja yang dijalankan. Bertautan dengan hal tersebut pula pemerintah harus cakap memilah siapa-siapa saja yang dapat memberikan value bagi mereka. Agar citra yang hendak dibangun, sasaran yang hendak dipromosikan tidak cacat di mata masyarakat.
Berkenaan dengan aksi tawuran kemarin, tanpa menyebut salah satu duta yang telah ada, baik di ranah Provinsi Sumatera Barat maupun skop wilayah Kota Padang, alternatif lain pemerintah dapat memberdayakan kanal tersebut. Hal ini selaras dengan pengejewantahan dari pembentukan nilai dan norma terhadap kalangan remaja atau siswa-siswi di tiap-tiap sekolah.
Intensifikasi dari duta yang telah ada ini dapat memberikan fokus secara penuh dan nyata terhadap beragam kerugian dari aksi baku pukul antar kelompok remaja. Tidak hanya kerugian materil yang dirasakan langsung oleh para pelaku, tetapi juga masyarakat yang terkena imbasnya. Bukan tidak mungkin kerugian imateril bahkan juga bisa saja terjadi, entah itu korban luka-luka atau meregang nyawa.
Sebab jika hal ini diabaikan dan luput dari pandangan, bukan tidak mungkin lagi aksi anarkis yang melibatkan antar remaja semakin menggila dan tidak menutup kemungkinan juga korban-korban lain akan semakin berjatuhan.
Upaya mitigasi harus senantiasa dilakukan. Sosialisasi, edukasi, dan promosi harus terus digalakkan. Agar kota Padang yang dulu atau barangkali sekarang masih dikenal sebagai Kota Pendidikan tidak perlahan tergerus oleh hal-hal kecil seperti ini. Pemerintah Kota dan setiap elemen yang tercakup di dalamnya, baik sinergitas vertikal maupun horizontal harus mampu memberikan ruang bagi setiap pelajar agar dapat mengakses pendidikan dan memberikan wadah aman bagi setiap siswa yang berada di dalam kesatuan wilayah administratifnya. Melalui pencegahan dini, semoga hal-hal seperti ini tidak terulang kembali. (*)
Hafidh Akbar lahir di kota Padang, 02 Februari 1999. Mahasiswa aktif Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.