Partai Nasdem baru saja menyelesaikan tahapan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tanggal 15-17 Juni 2022. Rakernas merekomendasikan tiga nama untuk digodok menjadi calon Presiden yang akan diusung dalam perhelatan pemilihan Presiden tahun 2024 nanti. Ketiga nama itu adalah Anies Baswedan mengantongi 32 suara, Ganjar Pranowo 29 suara dan Andika Perkasa 11 suara. Pemilihan tiga nama ini tidak berdasarkan perolehan suara terbanyak dalam rakernas, tetapi berdasarkan kriteria internal Nasdem.
Ganjar Pranowo yang direkomendasikan Nasdem sesungguhnya adalah kader PDIP yang tentunya punya keterikatan dan loyalitas yang kuat kepada partainya. Sementara pimpinan teras PDIP sendiri masih belum menentukan sikap untuk memutuskan siapa yang akan diusung dalam pilpres yang akan datang. Di permukaan ada dua kader potensial PDIP sebagai calon presiden yaitu Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.
Menurut sejumlah survey popularitas dan elektabilitas Ganjar jauh mengungguli Puan Maharani. Fakta ini menjadi beban tersendiri bagi PDIP karena partai ini sejatinya lebih focus menyiapkan Puan Maharani untuk menjadi pucuk pimpinan negara ini.
Tarik menarik antara Ganjar dan Puan ini akan menjadi dinamika yang selalu dinanti oleh sebagian masyarakat Indonesia sampai akhir tahun 2022 ini. Apapun itu, kemungkinan terbesarnya adalah, PDIP akan tampil dengan satu calon menyongsong pilpres mendatang.
Sebab jika kedua kader terbaiknya maju dalam dua pasang calon maka diprediksi keduanya akan kalah dan PDIP akan terdepak dari kursi kepemimpinan nasional. Karenanya Megawati sebagai pimpinan pucuk PDIP harus berpikir dan bekerja keras agar calon yang diusung memenangkan kontestasi. Dari sisi perolehan suara parlemen, PDIP akan aman dan tetap stabil meskipun jika pada akhirnya mengusung dua pasang calon dalam pilpres mendatang.
Berbeda dengan Ganjar, Anies Baswedan adalah tokoh non partai yang juga digadang-gadang sebagai calon presiden versi lembaga-lembaga survey. Anies bisa saja dipinang oleh partai-partai termasuk oleh PDIP sendiri, meskipun tingkat kemustahilannya tinggi. Fakta hari ini, Anies adalah politikus jomblo yang siap menerima lamaran dari partai pemilik suara di parlemen. Anies telah menjadi magnet bagi partai politik, karena elektabilitasnya termasuk tiga tertinggi selama ini.
Magnitudo Anies pada akhirnya mampu juga meluluhkan hati dan membuahkan simpati dari kader Nasdem dalam rakernas yang baru saja usai. Anies dipastikan menjadi bakal calon presiden yang akan diusung oleh Nasdem. Terutama jika dilihat dari posisi Ganjar yang pasti akan setia dengan keputusan partai pimpinan Megawati tersebut.
Fungsionaris Nasdem memang dengan jelas mengatakan tidak ada jaminan peraih suara terbanyak dalam rakernas akan diusung oleh Nasdem. Tapi perolehan suara terbanyak menjadi bukti bahwa minat kader Nasdem kepada Anies cukup tinggi.
Bagaimana konstalasi politik nasional kedepan jika Nasdem benar-benar akan mengusung Anies sebagai calon presiden tahun 2024? Pertanyaan yang menarik dan menggoda untuk dijawab baik oleh politisi, pengamat bahkan masyarakat awam sekalipun yang suaranya tidak pernah terdengar di pentas public. Untuk membangun sebuah jawaban perlu melihat persoalan ini dari berbagai sudut.
Pertama, salahsatu tujuan berdirinya partai politik adalah untuk meraih kekuasaan sebagai jalan mengimplementasikan platform partai. Sebagai contoh Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika didirikan untuk meraih kekuasaan melalui pemilu.
Partai Republik akan bekerja keras memenangkan pemilu untuk membumikan platform kebebasan individu (liberalism), begitu juga dengan Partai Demokrat akan berusaha mengalahkan pesaingnya untuk kemudian membuat kebijakan negara yang meneguhkan prinsip kesetaraan social dan kolektifitas masyarakat (socialism). Kekuasaan diperlukan agar partai pemenang pemilu memiliki media dan sarana untuk secara konsisten mengimplementasikan platform yang diusung.
Di Indonesia, semua partai politik memiliki platform, sayangnya kosakata “platform” cepat sekali menghilang setelah pemilu usai. Sejalan dengan kosakata platform, partai politik di Indonesia juga menggunakan istilah visi dan misi partai.
Uniknya pengertian visi dan misi versi partai politik berbeda dengan definisi akademik tentang kata itu. Jika partai politik menyebutkan kalimat “kesamaan visi dan misi” dengan partai lain dalam sebuah kontestasi pemilu, maka maknanya adalah tentang kesamaan dan persetujuan terhadap seseorang yang akan diusung dan urusan sharing kekuasaan setelah itu. Sulit menemukan konten visi dan misi yang dimaksud berkaitan dengan platform atau idealisme yang menjadi dasar pendirian partai tersebut seperti halnya Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika.
Kedua, jika secara general dibuat peta basis platform partai politik menjadi ideologis dan pragmatis, menurut penulis hanya ada dua partai masuk kategori partai ideologis yaitu PDIP dengan Soekarnoisme-Marhaenisme dan PKS dengan konsepsi syariahnya. Selain kedua partai itu, bisa dikatakan penganut platform pragmatisme.
Namun tidak menutup kemungkinan partai-partai ber-platform pragmatis tiba-tiba berorientasi kepada ideologi tertentu seperti ideologi kebangsaan yang berbasis kebinekatunggal ika-an. Partai Nasdem dari panggung depannya melalui rakernas 2022, memunculkan sebuah idealisme ini dalam berselancar menuju perhelatan politik 2024.
Pidato politik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dalam rakernas mengisyarat suatu jalan baru politik. Surya Paloh berusaha menjejakkan ideologi partai kepada para kader dalam beberapa kesempatan, termasuk pada acara rakenas yang lalu. Di sini, Nasdem sudah melangkah dari sekedar berusaha mendapatkan kekuasaan lewat pemilu kepada usaha menghidupkan dan mewujudkan tagline perjuangan partai, sebagai Gerakan Perubahan, Restorasi Indonesia.
Beberapa narasi Surya Paloh terkait dengan muatan ideologis “tidak ingin didikte oleh survey”, “memberikan kesempatan yang sama kepada anak bangsa untuk menjadi pemimpin nasional”, “meminta kader untuk tidak tunduk kepada pihak manapun dalam menentukan capres pilihannya”. Ini sebuah pertanda sang Ketua Umum ini sedang membuncahkan ideologi kebangsaan versi Nasdem.
Ketiga, sampai saat ini, partai berbasis ideologis belum menentukan siapa yang akan diusung dalam pemilihan presiden (pilpres) yang akan datang. Sebabnya PDIP memiliki sejumlah kader potensial sehingga betul-betul harus berhitung secara cermat untuk mengajukan calon presiden yang dapat memikat hati dan pikiran rakyat.
Sementara itu PKS belum memiliki calon internal yang elektabilitasnya meyakinkan untuk diusung. Di luar partai ideologis sudah muncul koalisi seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dalam satu-dua kesempatan bertemu dan berembug dengan jejaring Presiden Jokowi seperti Gerakan Pro-Jokowi (Projo).
Sudah jamak pula diketahui umum bahwa Jokowi lebih nyaman mengendors Ganjar Pranowo sebagai penerusnya memimpin Indonesia kedepan ketimbang yang lain. Tidak salah pula jika para pengamat berspekulasi bahwa KIB dan Jokowi pada akhirnya akan memunculkan Ganjar sebagai calon presiden.
Dalam ulasan beberapa pengamat dan peneliti, kolaborasi KIB dan Jokowi didukung oleh pemodal kuat sehingga sangat tangguh dalam mengarungi kontestasi pilpres. Satu slot calon presiden diasumsikan sudah terisi melalui koalisi KIB-Jokowi.
Keempat, di luar KIB tersisa 6 partai politik yang belum mengirimkan sinyal untuk mengajukan capres pilihan masing-masing, yaitu PDIP, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PKB dan PKS. Melalui rakernas tahun 2022, Nasdem telah menetapkan tiga kandidat yang salah satunya akan diusung sebagai calon presiden. Seperti disebut di atas, besar kemungkinan calon itu adalah yang meraih suara terbanyak dalam rakernas yaitu Anies Baswedan yang juga ikut membidani lahirnya organisasi masyarakat Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai cikal bakal berdirinya partai Nasdem.
Sepertinya satu slot lagi tercipta dengan ditetapkannya nanti calon presiden dari Nasdem mendampingi slot pertama yang menyodorkan Ganjar Pranowo. Partai mana yang akan bermitra dengan Nasdem mengusung calon presiden dan wakil presiden?. Hanya PDIP dan Gerindra yang kemungkinan tidak bersedia menjadi makmum dalam koalisi Nasdem. Sedangkan Demokrat dan PKS berpeluang masuk dalam koalisi ini.
Jika diasumsikan PDIP dan Gerindra tetap mengusung Prabowo dan Puan sebagai calon presiden dan wakil presiden, maka slot ketiga otomatis terbentuk dengan sendirinya. Kemana PKB berlabuh?. Berdasarkan statemen petingginya PKB akan membaca arah koalisi dan peta politik. Koalisi yang lebih berpeluang memenangkan kontestasi pilpres akan menjadi pilihan rasional PKB.
Dengan demikian ada tiga slot yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu KIB-Jokowi mengusung Ganjar-Erick Thohir, koalisi PDIP-Gerindra mengusung Prabowo-Puan Maharani dan koalisi Nasdem mengusung Anies-Agus Harimukti Yudonyono (AHY). Namun jika PDIP tidak ingin terbelah karena dua kader terbaiknya bersaing, maka bisa saja hanya ada dua koalisi yaitu KIB-PDIP-Gerindra-PKB (baca: KIB) yang mengusung Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno dan koalisi Nasdem-Demokrat-PKS (baca: koalisi Nasdem) mengusung Anies Baswedan-AHY.
Kelima, dengan model koalisi seperti ini, maka pilihan posisi Nasdem sangat dilematis. Pertama, karena memilih untuk berada di barisan oposisi pemerintah saat ini, sementara Nasdem masih bagian dari the rulling party. Kedua, dukungan finansial koalisi Nasdem berada jauh di bawah KIB ditambah lagi KIB sedang menjadi pengelola negara beserta aparatur dan sumberdaya finansialnya. Ketiga, diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius mengendalikan narasi sectarian seperti menggunakan symbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis-pragmatis seperti pada pilpres dan pilkada sebelumnya.
Mampukah Nasdem memerankan posisi heroic ini dengan mempertimbangkan tiga kondisi krusial tersebut? Di atas kertas, Nasdem akan kesulitan karena pergerakan politik memerlukan perangkat politik dan sumber dana yang tidak terbatas. Ditambah lagi godaan pragmatisme politik sangat mematikan dan mampu membunuh idealisme yang setengah-setengah. Pilihan politik Nasdem dengan berada di luar KIB termasuk pilihan nekad.
Sebenarnya sangat mudah bagi Nasdem untuk menjadi pemenang pilpres 2024 dengan tetap mempertahankan koalisi bersama KIB seperti yang telah dilakukan 10 tahun terakhir.Nasdem berada di persimpangan jalan menghadapi pilpres mendatang, antara keinginaan memenangkan kontestasi dengan mudah atau mewujudkan idealisme yang tertuang dalam tagline partai yaitu Gerakan Perubahan dan Restorasi Indonesia.
Rakernas Nasdem mengirim pesan, bahwa partai ini menginginkan keduanya meskipun perjuangan untuk mewujudkan idealisme dan pragmatisme sangat berat bahkan hampir mustahil. Apabila Nasdem mampu bermanufer cantik dan lincah, maka tidak menutup kemungkinan Nasdem menjadi the real king maker in century, from zero to hero.
Banyak hal tak terduga terjadi dalam politik, boleh jadi salah satu yang tak terduga di millennium ini adalah sikap Nasdem yang berbeda dengan kolega koalisinya. Sikap ini sekali termasuk langkah nekad dan sangat berisiko. Namun jika berkaca pada individu Surya Paloh, sesuatu yang tidak terduga itu mungkin saja muncul mengingat latarbelakang Paloh sebagai seorang pengusaha yang terbiasa dihempaskan badai persaingan bisnis. Secara primordial, Paloh berdarah Aceh yang dikenal sebagai bangsa pejuang yang tidak mudah ditaklukkan penjajah. Di zaman orde baru, Paloh juga pernah menentang sebuah kemapanan dengan versinya sendiri melalui beberapa media massa yang dipimpinnya seperti koran Prioritas yang dibredel pemerintah kala itu. Semua pilihan terhampar di depan Nasdem dan setiap pilihan memiliki resiko sendiri.
Prof Eka Putra Wirman Rajo Mangkuto
Cendikiawan Muslim