Indonesia terdiri dari banyak etnik, suku dan budaya. Masing-masing etnik memiliki keunikan sendiri-sendiri yang membuatnya terlihat berbeda dengan yang lain. Etnik Minangkabau juga demikian, dikenal dengan beragam keunikannya antara lain pada system kekerabatan matrilineal, tradisi merantau, berdagang, kuliner yang disukai oleh lidah nusantara bahkan mancanegara dan implementasi Islam dan adat yang berkelindan dalam kehidupan sosial-budaya. Kita sebut saja 5 (lima) keunikan etnik Minangkabau.
Dari segi populasi penduduk, etnis Minangkabau yang mayoritas berdomisili di Sumatera Barat berjumlah 5 setengah juta jiwa, hanya sekitar 2 persen total penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 278 juta jiwa. Populasi yang sangat kecil, jika dilihat dari sisi politik praktis dampaknya sangat tidak signifikan dalam perhelatan pemilihan umum Indonesia. Namun populasi mungil secara kuntitatif ini justru telah memberikan konstribusi signifikan dalam mendirikan sebuah negara bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih dari 50 persen dari founding father negeri ini berasal dari etnik Minangkabau. Adalah Tan Malaka yang membubuhkan narasi Naar de Republiek Indonesia tahun 1925, lalu disambut dengan rumusan naskah sumpah pemuda oleh M Yamin di tahun 1928, kemudian diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta di tahun 1945.
Konsep Pancasila sebagai dasar negara pertama kali diapungkan oleh M Yamin pada 29 Mei 1945, disusul oleh Soepomo pada 31 Mei 1945 dan diakhiri oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Ketika Indonesia terbelah menjadi negara serikat (RIS) maka tampillah M Natsir dengan mosi integral pada 3 April 1950. Indonesia yang berada di tubir kehancuran kembali menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1950. Menurut bung Hatta, proklamasi kemerdekaan pertama dilakukan oleh Soekarno-Hatta tahun 1945, sedangkan proklamasi kedua diinisiasi oleh M Natsir tahun 1950.
Si kecil cabe rawit, begitu kira-kira posisi Minangkabau dalam konstalasi kehidupan berbangsa dan bernegara tempo doeloe. Kemampuan memproyeksikan diri ala Daud yang mengalahkan Goliat sudah tergambar dalam tambo (sejarah) Minangkabau ketika sang raksasa kerajaan Majapahit akan menganeksasi sang lilliput kerajaan Minangkabau. Kemenangan pertama kerajaan Minangkabau diperoleh ketika kerajaan Majapahit menyetujui pemindahan arena dari pertempuran langsung (battlefield) kepada pertempuran simbolis yaitu mengadu lembu dari masing-masing kerajaan.
Walhasil lembu kerajaan Minangkabau yang masih anak-anak mampu mengalahkan lembu raksasa kerajaan Majapahit. Alih-alih menguasai Minangkabau, raja Majapahit justru dijadikan sumando oleh rakyat Minangkabau, seumpama laki-laki yang menumpang di rumah gadang isterinya.
Dalam skala regional, etnik mungil ini juga berhasil mendirikan beberapa kerajaan penting dan besar di Nusantara. Sebut saja misalnya Maharaja Tuanku Abdul Rahman keturunan Raja Melawar adalah Yang Dipertuan Agong Malaysia Pertama, Awang Alak Betatar alias Muhammad Syah pendiri kerajaan Brunei Darussalam, Raja Sulaiman pendiri kota Manila-Pilipina, dan Raja Bagindo pendiri kerajaan Sulu-Pilipina Selatan. Di samping tentunya peran signifikan para ulama yang membawa Islam ke antero daerah timur Indonesia.
Apa sesungguhnya yang menjadikan etnik Minangkabau yang kecil-mungil memainkan peran signifikannya dalam kehidupan social-budaya dan politik di Indonesia? Seperti diutarakan di atas bahwa 5 (lima) keunikan Minangkabau itu yang membuat signifikasinya terjaga. Sepertinya cocok dengan narasi sebuah iklan produk rokok “nggak ada lo, nggak rame”. Tanpa si mungil Minangkabau dinamika social terasa hambar, bagaikan rendang tanpa garam.
Merawat dan menjaga lima keunikan etnik Minangkabau dapat menghidupkan spirit yang terkandung dalam keunikan tersebut. Pertama, konsepsi kekerabatan matrilineal yang mengambil ranji keturunan kaum dari pihak ibu atau perempuan menginspirasi munculnya pribadi yang penuh simpati, empati dan kasih sayang layaknya seorang ibu. Sebuah kasih sayang yang universal untuk umat manusia. Perempuan mampu mentransformasikan ketinggian rasa (raso jo pareso) dan kesempurnaan cita rasa dalam diri anak-anak mereka.
Kedua, ketinggian dan kesempurnaan rasa itu berdampak pula kepada citarasa masakan perempuan Minangkabau yang mampu menyihir selera makan manusia multi etnis tanpa batas geografis. Salah satu contoh makanan yang memanjakan selera adalah rendang Minangkabau yang secara mengejutkan ditahbis oleh media barat sebagai makanan terlezat sedunia
Ketiga dan keempat, anak-anak yang dibekali kasih sayang dan ketinggian rasa oleh para ibu dalam system matrilineal akan menjadi pribadi yang percaya diri dan tangguh mengarungi samudera kehidupan. Merantau sekaligus berdagang adalah ekspresi anak-anak Minangkabau merefleksikan cintanya kepada keluarga dan tanah leluhurnya. Sebuah pepatah adat mengatakan Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di kampung baguno balun. Merantau dan berdagang menjadi ajang mengasah mental berani mengarungi samudera kehidupan. Etnik Minangkabau mengerti arti loyalitas dan kesetiaan komunal sesuai pepatah dimano bumi dipijak disitu langik dijunjuang. Komitmen dan loyalitas komunal ini dilukiskan dalam pepatah perantau-pedagang:
Kok anak pai ka pakan
Ikan bali balanak bali
Ikan Panjang bali dahulu
Kok anak pai bajalan
Kawan cari dunsanak cari
Induak samang cari dahulu
Dima aia disauak disitu rantiang di patah
Dima nagari diunyi disitu adat dipakai
Kelima, mengental berkelindannya spirit keagamaan dengan budaya. Minangkabau terkenal sebagai kawah candradimuka para ulama. Beberapa daerah mungkin memiliki keunikan budaya yang sama dengan Minangkabau seperti Aceh yang identic dengan Islam. Aceh adalah tempat bermula Islam disebarkan di nusantara sehingga dikenal sebagai serambi Makkah. Di Aceh berdiri meunasah-meunasah sebagaimana di Minangkabau berdiri surau-surau. Tetapi ada perbedaan yang signifikan sesuai dengan karakter etnik masing-masing. Di Minangkabau ke-Islaman berkelindan dengan adat dan kemodernan. Surau-surau yang menghasilkan ulama adalah surau yang bersentuhan dengan budaya, pengetahuan umum dan ide-ide kebangsaan. Surau-surau di Minangkabau terafiliasi secara ketat dengan pasar tempat kehidupan social berpendar, ini membuat alumni surau bersentuhan langsung dengan pergerakan social-ekonomi dan politik.
Lima keunikan etnik Minangkabau yang disebutkan di atas sekaligus merupakan nilai dan norma social yang diterima dan dipertahankan secara turun temurun sampai hari ini. Pelanggaran terhadap nilai dan norma social etnik Minangkabau, pasti mendapatkan teguran yang tegas dan bahkan bisa menggunakan hukum positif sebagai upaya preventif dan kuratif.
Dalam dua minggu terakhir, ranah sosial heboh dengan pemberitaan tentang salah satu keunikan Minangkabau yaitu kuliner Minangkabau yang diolah dari daging babi dan dijual menggunakan branding Babiambo. Dua entitas yang berlawanan disajikan dalam sebuah suguhan kuliner yaitu babi dan etnisitas Minangkabau.
Sudah jamak diketahui bahwa Islam adalah identitas Minangkabau yang berkelindan dengan budaya yang disimpulkan dalam adagium adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (ABS-SBK). Sedangkan babi adalah makanan haram untuk didekati apalagi dikonsumsi oleh etnis Minangkabau.
Kok bisa babi disandingkan dengan Minangkabau? Faktanya memang sudah terjadi. Kenapa bisa terjadi? Karena “nggak ada lo, nggak rame”. Minangkabau yang mungil tetap akan dibawa dan diseret-seret dalam dinamika social-budaya dan politik karena peran cabe rawitnya yang signifikan.
Oleh sebagian kalangan mungkin kejadian itu sebagai fakta biasa, sebuah kegiatan business as usual. Kalangan ini tentu tidak salah jika melihatnya dari kacamata bisnis an sich. Tapi jika sedikit cerdas, maka mereka bisa memahami bahwa bisnis ini sudah memasuki ranah nilai dan norma social yang harus dijaga dan diperhatikan. Pelanggaran terhadap nilai dan norma social sama fatalnya dengan pelanggaran terhadap hukum positif. Hans Jonas menyebut nilai sebagai the address of a yes, sesuatu yang diinginkan, dicari dan dipejuangkan oleh manusia.
Le Senne mengungkapkan dengan baik bahwa nilai adalah ce qui est digne d’etre recherche. Makanya tidak mengherankan, kasus kuliner olahan daging babi yang menegasikan nilai dan norma akan dengan mudah memantik kemarahan etnik Minangkabau.
Contoh lain dari penghormatan terhadap nilai dan norma suatu etnik di Indonesia layaknya hukum positif adalah sikap takzim dalam memperingati hari raya Nyepi di Bali. Pada hari Nyepi semua mesin bermotor dimatikan sejenak, mulai dari mesin motor roda dua sampai mesin pesawat. Tidak ada yang protes, karena kepatuhan kepada nilai dan norma social pada hakekatnya adalah kepatuhan kepada kemanusiaan itu sendiri.
Respon berbagai kalangan terutama dari etnik Minangkabau terhadap kasus Babiambo dalam satu minggu terakir ini masih dalam kategori proporsional. Dari sisi keberlangsungan nilai dan norma social Minangkabau protes dan penyadaran perlu dilakukan secara massif. Untuk kategori pelanggaran nilai dan norma social tidak berlaku semata pandangan bisnis. Hak-hak untuk berkarya dan berusaha adalah hak asasi, tapi seharusnya tanpa sedikitpun mencederai nilai dan norma social yang dianut oleh etnik tertentu di Indonesia. Membentur-benturkan hak seseorang dengan nilai dan norma social bukan ciri dari masyarakat Indonesia beradab yang berideologi Pancasila.
Muncul pertanyaan, apakah persoalan Babiambo ini akan menjadi persoalan yang terakhir bagi etnik Minangkabau? Jawabannya pasti tidak. Lagi-lagi dengan meminjam narasi iklan di atas tadi “nggak ada lo, nggak rame”, maka kedepan persoalan-persoalan yang menyinggung lima keunikan etnik Minangkabau akan terus terjadi.
Oleh karenanya diperlukan napas yang Panjang untuk merawat local genuine Minangkabau agar tetap eksis dan menjadi pedoman hidup bagi generasi berikutnya.
Masyarakat Minangkabau dari berbagai lapisan dan seluruh penjuru harus menyuarakan sikap kritis terhadap bencana yang mendegradasi nilai dan norma yang dianut. Bersuara dan menggunakan kanal-kanal yang patut sudah semestinya dilakukan agar masyarakat umum tahu bahwa lurah lai babatu, ijuak lai basaga.
Semua dilakukan tetap dalam koridor lima keunikan Minangkabau itu sendiri yaitu bersikap penuh kasih seorang ibu kepada sesama meskipun amarah sedang menyala; berani, tegas dan bertanggungjawab layaknya perantau-pedagang; bercitarasa kebangsaan dan kenegarawanan serta bersuluh kepada ajaran agama dan adat Minangkabau.
Dengan berbekal lima keunikan Minangkabau tersebut, maka pendeka Minangkabau sempurna memainkan silatnya, telak dan berbekas serangannya, sulit dipancing jurusnya, ogah tasorong langkahnya, terdistribusi napasnya dengan sempurna dan tidak terasa kalah saja lawan dibuatnya.
Prof Eka Putra Wirman Rajo Mangkuto
Cendikiawan Muslim