Ikut sertanya Gubernur Sumatera Barat, Buya Mahyeldi dalam prosesi penyatuan air dan tanah se-Indonesia di titik nol IKN mendapatkan sambutan negatif dari ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar. Gusrizal menilai prosesi tersebut bertentangan dengan prinsip ABS-SBK (Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah).
Tentu saja polemik ini akan berdampak bagi, utamanya masyarakat Sumatera Barat. Ditambah lagi, mengingat dua sosok ini sama-sama dipanggil buya dan disegani di Sumatera Barat.
Sebelumnya, pada 14 Maret lalu, Mahyeldi bersama 33 gubernur dan/atau perwakilan gubernur se-Indonesia, bersama dengan Presiden Joko Widodo dan 15 pemuka adat Kalimantan Timur, menggelar prosesi penyatuan air dan tanah.
Mahyeldi menilai kegiatan ini sama dengan membangun sebuah bangunan secara gotong royong. Masing-masing orang membawa material yang dapat digunakan untuk membangun.
Gubernur Sumatera Barat sendiri membawa tanah dari kawasan Ophir, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat dan air dari Angek Bukik Gadang, di kaki Gunung Talang, Kabupaten Solok. Alasannya adalah karena tanah dan air tersebut memang dikenal sebagai tanah yang subur di Sumatera Barat dan sumber air terbaik yang mengaliri sawah warga hingga 1.000 hektare.
Dilansir dari Kompas.co (14 Maret 2022) Antropolog Sipin Putra menjelaskan, berdasarkan riset yang dilakukannya terhadap TKI asal Blitar, Tulungagung, dan Kabupaten Malang biasanya membawa tanah mereka ke rumah majikan agar mereka kerasan di sana. Sejalan dengan itu, Sipin melihat prosesi tersebut dilakukan agar pembangunan tersebut langgeng dan berkelanjutan. Inilah yang kemudian dikritik oleh buya Gusrizal Gazahar.
Dalam tinjauan fiqih, ulama dan umara menempati kedudukan yang tinggi. Masing-masing bertanggung jawab atas umat sesuai dengan perannya sendiri-sendiri.
Beberapa ulama dalam menafsirkan kata “ulil amri” dalam surah An-Nisa:59 sebagai ulama, umara, sahabat Rasulullah SAW, dan terbatas pada Abu Bakar RA dan Umar Ibn Khattab RA saja. Diantara ulama yang menyebutkan demikian adalah Imam al-Mawardi dan Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari.
Terlepas dari perbedaan penafsiran terhadap kalimat ulil amri tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud adalah pemimpin-pemimpin umat. Atau bicara dalam lingkup yang lebih kecil lagi, bisa jadi itu menyangkut seluruh orang yang memikul sebuah tanggung jawab, sesuai dengan hadis semua kita adalah pemimpin.
Langkah yang paling tepat untuk diambil dalam permasalahan ini adalah bertabayyun. Tabayyun merupakan sikap para ulama. Bisa saja perselisihan yang terjadi antara dua pemimpin ini hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat.
Gubernur Mahyeldi sendiri, seperti yang dilansir dari Tempo.co (17 Maret 2022) bahwa ia sama sekali tidak melihat unsur ritual dalam prosesi tersebut. Mahyeldi mengaku juga tidak tahu ada tauhid yang dilanggar.
Namun Gusrizal menilai tanggapan Mahyeldi adalah tindakan mencari-cari alasan. Alasannya adalah jika itu bukan ritual mengapa harus tanah dan air tertentu? Sebenarnya, kendati hanya bersifat simbolik tidak perlu dipermasalahkan jika dibawa dari daerah tertentu. Apalagi dua tempat di mana tanah dan air tersebut diambil serta dipandang oleh Masyarakat Sumatera Barat sebagai suatu barang terbaik. Jadi, seharusnya bukan masalah karena ini merupakan prosesi kenegaraan.
Sejatinya setiap perbedaan harus dilihat dengan kepala dingin. Perbedaan pandangan dalam Islam sendiri bukanlah suatu permasalahan. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dapat ditemukan bab al-ikhtilafu ‘inda al-ulama’. Perbedaan dalam memandang sebuah permasalahan adalah suatu yang niscaya. Sebagai dua orang buya dan tokoh masyarakat, tentu Mahyeldi dan Gusrizal lebih memahami terkait permasalahan ini.
Presiden Joko Widodo sendiri menyebut prosesi tersebut bersifat simbolik. Jokowi menjelaskan kegiatan itu dilakukan untuk menunjukkan kesepakatan, kebhinekaan, dan kesatuan pandangan seluruh Indonesia dalam membangun ibu kota baru itu.
Senada dengan itu, Rais Mustasyar Dewan Ulama Thariqah Internasional, Hanafiah ar-Rabbani saat mendapatkan kabar tentang hal tersebut juga turut berkomentar. Syeikh Hanafiah ar-Rabbami melihat kegiatan tersebut hanyalah simbol semata, bukan ritual apa pun. Kebudayaan apapun tidak masalah selama tidak bertentangan dengan akidah.
Yang paling penting dalam setiap permasalahan adalah penyelesaiannya. Bagaimana permasalahan diselesaikan tergantung kepada memandang permasalahan itu sendiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kemungkinan besar perselisihan ini hanyalah perbedaan pandangan. Tidak perlu dibawa berlarut-larut. Sebab, yang menjadi korban atas perselisihan dua tokoh ini adalah masyarakat Sumatera Barat itu sendiri. (*)
Riki Saputra adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.