Paling tidak ada dua kutub pemikiran Islam tentang kekuasaan. Pertama, rebut. Kedua, isi.
Merebut, kesannya lebih revolusionar. Lebih cepat sampai. Mengisi, seakan lebih berkeadaban. Hanya terkesan evolusioner, bertahap, lamban bahkan merayap.
Pendapat pertama, Sayyid Qutb (1906-1966 M ) . Katanya, Amar ma’ruf nahy mungkar tidak bisa ditegakkan tanpa kekuasaan.
Oleh karena itu, berkuasa dulu baru amar ma’ruf nahy mungkar bisa terlaksana dengan sempurna.
Gugus pikir yang demikian, antara lain sering dikutip ketika tokoh Ikhawanul Muslimin ini memahami, QS. Ali Imran, 3:104.
Kedua, Ibnu Katsir (1301-1372 M). Ketika memahami ayat yang sama tadi, mufassir klasik ini menisbahkan kepada hadist Rasulullah saw.
“Bila anda melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan “tangan” atau kekuasaan. Bila tak mampu ubah dengan lidah atau ucapan. Bila tidak mampu juga maka ubahlah dengan hati, (tidak mengikuti kemungkaran dan mendoakan yang berbuat mungkar berubah perlahan kepada yang khair dan ma’ruf, pada waktunya). Dan itulah selemah-lemah iman”.
Kedua prasa tadi dapat dibaca di dalam Tafsir Quran Fi Zhilal al-Quran oleh Sayyid Qutub dan Tafsir Al-Quranul Karim oleh Ibnu Katsir.
Para politisi Muslim modern dan kontemporer agaknya banyak yang mengikuti, paling kurang mempertimbangkan pemikiran politik Sayyid Qutb.
Sementara para muballigh dan da’i , lebih cendrung memviralkan pemikiran cara memahami gaya Ibnu Katsir.
Yang pertama tentulah lebih gebyar, bergemuruh, militan dan seakan-akan cepat sampai ke tujuan.
Yang kedua, terkesan lamban, memerlukan waktu, SDM, strategi dan upaya yang tak kenal lelah.
Yang pertama, lebih strukturalis dan jelas formatnya. Mereka berpendapat, segenggam kekuasaan lebih baik dan lebih bermakna dari pada segudang kebenaran.
Sementara yang kedua, lama memeras keringat, memerlukan waktu, tenaga, semangat dan pikiran tanpa henti.
Di Indonesia, kedua arus pemikiran di atas bervariasi dalam dinamika hubungan antara Islam politik dan Islam kultural.
Ada yang tak berhenti ingin merebut kekuasaan politik melalui demokrasi dengan aplikasi dan demokrasi prosedural partai.
Dengan niat, bila duduk di DPR RI atau DPRD akan bisa menjadi pengawas pembangunan, merancang APBN-APBD, menjadi media panyalur aspirasi.
Lebih dari itu bersama eksekutif membuat dan menetapkan Undang-undang dan Perda.
Itu artinya segenggam kekuasaan. Dapat digunakan untuk memenuhi aspisasi ummat.
Sementara yang lain, ada yang terus menerus menjalankan dan menggerakkan diri, keluarga dan persyarikatan, jama’ah, jami’ah serta organisasinya.
Mereka selalu berupaya dan bekerja membumikan nilai normatif dan amal aktual Islam melalui jalan kultural dan dakwah.
Mohammad Natsir (1908-1993) sebagai contoh. Beliau dengan gigih di dekade awal kemerdekaan RI (1945-1957) memperjuangkan Islam melalui kekuasaan.
Beliau menjadi Menteri, Perdana Menteri dan Anggota Lagislator Konstituante sekaligus Ketua Umum Partai Masyumi.
Pada dekade kedua (1957-1967), jalan kekuasaan tertutup baginya. Di masa Orde Lama, ditutup jalan itu oleh Soekarno, bahkan masuk penjara (1962-1966).
Masa Orde Baru (1966-sampai wafatnya Natsir 1993) jalannya melalui kekuasaan politik ditutup Soeharto.
Dimulai dari konsolidasi politisi Muslim modern 1967 di Semarang. Pada waktu itu M Natsir dan para tokoh visioner politik Islam ingin merevivalisasi atau merevitalisai Masyumi.
Tokoh pengikut Natsir (lebih sering disebut tokoh Bulan-Bintang mengacu ke lambang dan logo Masyumi) dalam Badan Koordinasi Amal Muslimin, mencoba dengan sangat kuat dan besemangat untuk bangkit.
Mereka adalah tokoh-tokoh Muslim yang berbilang. Di antaranya, H. Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun dari Muhammadiyah. Para tokoh itu berinisiasi mendirikan satu partai Islam modernis, reinkarnasi Masyumi.
Maksud itu dihalau oleh intelijen dan gagal.
Pada tahun 1968 konsolidasi politik Islam itu berlanjut. Mereka lolos dengan sedikit berkelit seakan merajut keinginan rezim yang berkuasa.
Dengan begitu maka lahirlah Partai Politik Parmusi. Untuk Pemilu 1971, Parmusi mendapat suara hanya 5,6 persen.
Belakangan 1973, Parmusi bergabung menjadi PPP sebagai fusi dari Parmusi, Partai Islam Perti, Partai NU dan PSII Syarikat Islam.
Kearifan dan spekulasi positif menyelinap ke diri M.Natsir. Melihat gelagat cakrawala politik Islam di Indonesia kala itu tidak begitu cerah, M. Natsir berubah.
Tokoh ini mulai mengubah haluan dan strategi. Beliau mentransfomasi diri dari pejuang politik sturuktural ke politik kultural.
Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyiah Indonesia (DDII) 1967. Mengirim ribuan da’I dan muballigh ke daerah transmigrasi, daerah terisolir dan terpencil.
Mendirikan rumah sakit di berbagai kota. DDII sepertinya mengikuti pola amar ma’riuf nahy mungkar dengan amal usaha aktif, produktif dalam Pendidikan, Kesehatan dan pelayanan sosial.
Beliau bersama pemimpin DDII lain medirikan Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI) dengan membangun banyak Rumah Sasit. DDII juga mendirikan Sekolah Tinggi, Universitas dan Pesantren Pertanian.
Bahkan di Sumatera Barat, misalnya banyak sekali tokoh Muhammdiyah juga adalah tokoh DDII. Duplikasi positif itu ada pada generasi awal, masa pertengahan dan masa sekarang.
Sejak dari HMD Dt. Palimo Kayo, H Hasan Bayk Dt. Marajo, Buya Mas’ud Abidin, Prof Dr. Amirsyah, Prof. Dr. Yaswirman, Drs. H. Adly Etek dan lainnya.
Natsir pada masa belakangan tadi, lebih dari sekedar tokoh DDII dan penggerak politik non-kekuasaan tetapi politik sosial dan kebudayaan Indonesia bahkan trans nasional.
Natsir menjadi tokoh pemimpin, cendekiawan, kebudayaan dan memajukan peradaban dunia.
Natsir menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se-dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967).
Beliau menjadi anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah.
Pada tahun 1976, Natsir bersama tokoh Muslim di dunia mengadakan konperensi dan pameran kebudayaan Islam sedunia di Oxford dan London.
Pada tahun 1987, Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.
Peraih gelar 3 Doktor Kehormatan dari Lebanon dan Malaysia ini, akhirnya menjadi Pahlawan Nasional yang diumumkan pada 10 November 2018.
Dari sketsa di atas, kelihatan kedua pemimpin dunia Islam abad ke-20 Sayyid Qutb dari Mesir dan M Natsir dari Indonesia, memberikan pelajaran berharga kepada tokoh pemikir dan pejuang serta penggerak Islam dan ummat di mana saja.
Belajar dari Sayyid Qutb yang berjuang melalui struktur bahkan mau merebut struktur tetapi dianggap melawan legalitas dan oriritas yang ada.
Lalu tokoh ini dituduh berkomplot akan melakukan pembunuhan Presiden Gamal Abdul Naser.
Ulama pejuang ini akhirnya dihukum gantung oleh pemerintahnya sendiri pada tahun 1966.
Lain dengan M. Natsir, meski penuh onak dan duri dalam perjuangan merebut struktur kekuasaan yang legal demokratis berujung juga dengan kegagalan.
Sejak zaman Belanda dan Jepang berjuang untuk kemerdekaan RI. Natsir melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dan mengisi kemderdekaan itu dalam proses pemerintahan demokratis.
Belakangan terasa ada prinsip-prinsip yang berubah dan tak kondusif. M. Natsir melanjutkan perjuangan itu ke strategi kebudayaan, peradaban dan dakwah, nasional dan internasional.
Ujungnya, 25 tahun setelah wafat, M. Natsir diakui pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional.
Baca juga: Al-Farabi, Teori Organik
Inilah ibrah (pembelajaran) gaya perjuangan tokoh Muslim modern ummat dan bangsa Indonesia abad ke-20 yang perlu menjadi kenangan dan torehan memori berbilang generasi. Wa Allah al-‘lam bi al-Shawab.
__
Shofwan Karim
Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat