Kini, Mahyeldi-Audy menunjukkan keseriusan dan komitmen yang tinggi. Keduanya membentuk susunan Tim Percepatan Sumbar Madani (TPSM).
Pada 25 Februari 2021 menggelora progam100 hari Mahyeldi-Audy. Beberapa saat setelah dilantik menjadi Gubernur-Wagub Sumbar 2021-2024 itu, beberapa komitmen telah di gaungkan. Intinya, keduanya ingin membangun masyarakat Sumatra Barat madani. Tak lama lagi, 25 Februari 2022 ini menjadi ulang tahun pertama, semangat dan agenda itu berjalan.
Kini, Mahyeldi-Audy menunjukkan keseriusan dan komitmen yang tinggi. Keduanya membentuk susunan Tim Percepatan Sumbar Madani (TPSM). Selain Gubernur-Wagub, Mahyeldi-Audy sebagai Pengarah, ada 14 Anggota Tim Pelaksana dengan Sekretariat adalah Bappeda Provinsi Sumbar.
Ke-14 Tim Pelaksana dimaksud yaitu, Tijas Utomo, S.E., Akt., M.B.A., Ph.D; Miko Kamal, S.H.H., L.L.M., Ph.D., Drs. Sudarman, M.A., Dr. Ir. Hidayat, S.T., M.T., I.P.M., Ir. Djoni., Acep Lulu Iddin, S.Sos.I., Yosrizal, S.T., M.T., Ph.D., Syariuf Maulamna, S.Sos.I.; Hamdanus, S.Fil.I., M.Si.; M.Zuhrizul, S.E., M.Lt.; Maksun Jatmiuko, S.E., M.M.; Muhammad Irfan, S.E., M.Si.; Mulyadi Muslim, L., M.A.; Nikki Lauda Hariyona, S.Ikom., M.Sc.
Ketika masih Wako Padang, Mahyeldi sudah menyebut juga pembangunan masyarakat madani. Itu artinya, ketika menjadi Gubernur, Mahyeldi bertekad memperluas dan memperdalam program ini. Kini Gubernur-Wagub dengan TPSM, sedang kebut program demi kepentingan umat dan masyarakat provinsi ini.
Sebelum menyauk lebih dalam , pembangunan Sumbar Madani yang dimaksudh Gubernur-Wagub dan TPSM, ada baiknya kita ikhtisarkan secara sepintas apa yang pernah menjadi konsepsi dalam sejarah pemikiran tentang masyarakat madani tersebut.
Civil-Society atau Masyarakat Madani?
Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero (104-43 SM) dalam filsafat politiknya societies civilis (Raharjo , 1997). Artinya masyarakat-kewargaan atau masyarakat sipil. Menurut orator Yunani itu, civil society merupakan gambaran komunitas politik yang beradab .
Ia mencontohkan masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka dipahami bukan hanya sekadar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Civil-society, semakin populer sepanjang sejarah. Filsuf Yunani Aristoteles (384-322 M) berpendapat bahwa masyarakat sipil sebagai suatu sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini mengalami beberapa fase.
Pertama, wacana civil society ang berkembang dewasa ini, merupakan wujud asasi dari masyarakat sipil dari luar, sebagai penyeimbang lembaga negara. Pada masa ini civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson (1723-1816) mengembangkan wacana civil society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, filsuf Scotlandia ini lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas Paine (1737-1809) memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagain anitesis negara. Filsuf Inggris ini bersandar pada paradigma, bahwa peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah, menurut pemikiran ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M).
Dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini kelihatannya sebagai reaksi atas pandangan Paine. Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara.
Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid (73), erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa. Pertumbuhannya ditandai oleh pejuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Agaknya pada fase kelima inilah civil society sampai sekarang menjadi pilar demokrasi. Seperti disinggung Dewi Fortuna Anwar (64) peran warga sipil ini sebagai advokasi, pemberdayaan dan pengawas jalannya demokrasi (Detik, 2011). Dalam makna mempengaruhi kebijakan public, memberdayakan peran public dan menjadi sosial kontrol di luar parlemen.
Civil society menjadi populer di ujung masa Orde Bariu Indonesia. Sebagai mana di negara mayoritas Muslim, konsep civil society sering dirujuk sebagai inspirasi masyarakat madani.
Masyarakat Madani
Madani terambil dari kosa kata Madinah. Empat belas abad lalu, telah berdiri sebuah masyarakat yang mampu melakukan lompatan besar peradaban dengan berdirinya sebuah komunitas yang bernama Masyarakat Madinah. Negara-Kota (City-State) Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Rasulullah SAW (Umari, 1999) mengubah urat tunggang dan struktur masyarkat Madinah.
Terjadi transformasi radikal dalam kehidupan individual dan sosial. Nabi merombak dan mengubah total nilai, simbol, dan struktur masyarakat yang telah berakar kuat dengan membentuk sebuah tatanan baru yang berlandaskan pada persamaan dan persaudaraan.
Bentuk masyarakat Madinah inilah, yang kemudian ditransliterasikan menjadi “masyarakat madani. Suatu gugus pradigma tipikal ideal mengenai kosepsi sebuah negara modern yang menjunjung hak-hak sipil, kebersamaan, kebhinnekaan, kebebasan di bawah hukum, berbudaya dan berperadaban, menghomati hak asasi manusia, perempuan, orang tua dan anak.
Masyarakat madani, sering dikonsepsi sebagai aplikasi cerdas dari penerjemahan istilah dari civil society dengan penyempurnaan tegaknya nilai-nilai rububiyah ke-Tuhanan, Allah swt.
Isitilah ini, kemudian digulir ulang oleh Dato Seri Anwar Ibrahim (75) dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta.
Wakil PM Malaysia 1993-1998 itu memberikan inspirasi ke banyak tokoh Indonesia. Apalagi di penggalan akhir dekade ke-3 Orde Baru, ketika masyarakat tokoh sipil Muslim Indonesia yang lama terpinggirkan, mulai dekat pemerintah.
Diawali dengan kelahiran Ikatan Cenekiawan Muslim se-Indonesia, 1990 dengan naikya pamor Habibie, istilah madani menjadi menu utama pada dekde 1990-an itu. Kosa kata Islam dan Syariah mulai lagi bergulir. Lahir Bank Muamalat sebagai Lembaga keuangan-ekonomi Syariah pertama ujung Orde Baru menambah getah perekat masyarakat madani.
Sepanjang 1990-an itu, wacana masyarkat madani bergulir. Mun’im (1994) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara.
Robert Hefner menyatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat modern yang bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadan seperti ini masyarakat diharapkan mampu mengorganisasi dirinya, dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Mahasin (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju dan berketuhanan.
Istilah madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata.
Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Hall (1998) mengemukakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan dalam kehidupan sosial. Pada masyarakat madani pelaku social akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan.
Kembali konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat madani diharapkan menjadi sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu untuk stabilitas masyarakat. Inisiatif individu dan masyarakat akan berpikir, berapresi tinggi kepada seni. Melaksanaan kepemerintahan berdasarkan hukum dan tidak karena nafsu atau keinginan individu.
Mereka adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran oleh beberapa kalangan dirujuk sebagai framing masyarakat madani. Q.S. Saba, 34: 15.
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Di awal abad ke-20 KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, 1912 mengguinakan kata maju. Belakangan oleh Muhammadiyah dipahami sebagai aplikasi agama islam yang berkemajuan. Penggunaan akal-pikiran, ilmu-pengtahuan untuk membumikan ajaran Islam. Begitu pula di zaman Abdullah Ahmad Badawi (83) PM Malaysia, 2003-2009 mengumandangkan istilah masyarakat hadhari (bekemajuan)
Lalu, di atas semua uraian tadi, pertanyaannya masyarakat madani yang bagaimana sedang diformat dan dituju oleh Mahyeldi-Audy?
Salah seorang TPSM, Miko Kamal (25/1/2022) memberikan kepada Penulis deskripsi singkat dari Perda Np. 6 Tahun 2021 tentang RPJMD 2021-2021. Intinya “Masyarakat Madani di Sumbar yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki tatanan kehidupan yang demokratis. Masyarakat madani berpegang teguh pada demokrasi, menghargai hak asasi manusia, taat hukum dan menghormati nilai keadilan dan peradaban. Misi untuk mewujudkan masyarakat Sumatera Barat yang madani tentu selaras dengan adat dan budaya Minangkabau yang egaliter dengn pengetahuan dan pemahaman tentang adat dan agama yang berkaitan dengan etika dan moral”.
Untuk wujudnya Sumatera Barat Madani yang dimaksud, Mahyeldi -Audy mengkontruk misinya: (1)meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, berpengetahuan, terampil dan berdaya saing; (2) meningkatkan tata kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan Falsafah Adaiak Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah; (3) meningkatkan nilai tambah dan produktifitas pertanian, perkebunan, perternakan dan perikanan; (4) meningkatkan usaha perdagangan dan industri kecil/menengah serta ekonomi berbasis digital; (5) meningkatkan ekonomi kreatif dan daya saing kepariwisataan; (6) meningkatkan pembangunan infrastruktur yang berkeadilan dan berkelanjutan; (7) mewujudkan tata kelola pemerintah dan pelayanan publik yang bersih, akuntabel serta berkualitas. https://sumbarprov.go.id/home/pages/1-visi-dan-misi.html Akses, 20/1/2022.
Dibandingkkan dengan konsepsi awal mulai dari Cicero, Aristoteles, sampai ke Anwar Ibrahim dan Dewi Fortuna Anwar, ada yang tak kelihatan dari visi dan misi Mahyeldi-Audy. Di antaranya yaitu advokasi, pemberdayaan dan pengawasan oleh masarakat madani itu sendiri di luar pemerintahan. Apakah konten ini hanya terserah kepada mereka ke mana akan bergerak, ataukah harus ada auranya di RPJMD 2021-2026?
Baca juga: NU dan Cakupan Multi Polar
Bagaimana masyarakat sipil membangun masyarakat Sumbar madani sebagai mitra pemerintah, agaknya perlu didiskusikan lagi. Mahyeldi-Audy lebh cendrung yang mana: Civil Society atau Masyarakat Madani? Wa Allah al-A’lam bi al-Shawab.
__
Shofwan Karim
Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat