Pada 1947 ketika umur Republik muda ini belum genap dua tahun, Wakil Presiden Mohammad Hatta merencanakan sebuah perjalanan dinas melalui jalan darat. Tak tanggung-tanggung, perjalanan ini direncanakan menuju Kutaraja di ujung utara Sumatera. Perjalanan di Pulau Jawa menggunaka kereta api, dimulai dari Stasiun Tugu, Yogyakarta menuju Stasiun Merak, Banten. Setelah menyeberang menuju Pelabuhan Panjang Lampung, sebuah mobil telah disiapkan. Juga mobil pengiring lengkap dengan tim kecil pendamping. Beberapa nama yang ikut adalah Abu Bakar Lubis seorang tokoh pemuda, Ir H Laoh Menteri Perhubungan dan Pak Surjo dari Dewan Pertimbangan Agung. Juga ada Kolonel Hidayat, penasehat militer Wakil Presiden. Kelak ketika rombongan Kembali ke Jawa, Kolonel Hidayat yang orang Sunda ini, ditinggalkan di Bukittinggi untuk memimpin organisasi militer di Sumatra.
Di Sumatra sendiri, perjalanan menggunakan moda transportasi campuran. Lampung dan Sumatra Selatan, sebagian besar menggunakan moda transportasi kereta api. Setelahnya baru full menggunakan moda transportasi mobil. Hampir di semua stasiun dan tempat pemberhentian, masyarakat menunggu dengan ramainya. Mereka ingin melihat sosok Bung Hatta, sang Wakil Presiden. Proklamator kemerdekaan negara ini.
Hari-hari perjalanan ini diisi dengan pidato di tengah kerumunan rakyat, dilanjutkan dengan konsolidasi tatap muka dengan para elit lokal. Konsolidasi menjadi penting, karena di sisi lain van Mook sedang berusaha merangkul elit lokal untuk mendirikan negara-negara bagian berdasar sentimen primordial. Belum lagi konflik-konflik kecil pemimpin lokal Sumatera ketika itu. Perjalanan ini bagi Hatta mungkin untuk melihat kesiapan orang sumatera untuk melakukan revolusi. Mulai dari infrastruktur, kekompakan elit-elit lokal, dan tentu saja dukungan rakyat untuk Republik muda ini.
Lintas sumatera yang mereka lewati bukanlah lintas sumatera yang kita kenal hari ini. Jika Trans Jawa direncanakan di jaman Daendels di abad 18, jalan raya Sumatera baru direncanakan secara komprehensif di tahun 1916. Ketika pemerintah kolonial merancang longitudinalen weg. Jalur ini baru dinyatakan selesai tahun 1938, walaupun di beberapa tempat masih menggunakan rakit ponton ketika melewati sungai besar. Jalan ini ditujukan untuk transportasi hasil perkebunan, bahan tambang dan inspeksi jalur minyak menuju pelabuhan. Aspal hanya ditemui di kota tempat asisten residen berkedudukan. Jalan pun masih sempit, bukan selebar sekarang.
Perjalanan itu sendiri tak berakhir di Kutaraja seperti yang direncanakan, karena harus berakhir di Padang Sidempuan sebelum kembali ke Bukittinggi. Untuk tujuh bulan ke depan sampai Februari 1948, Hatta akan melaksanakan pemerintahan dari Bukittinggi. Banyak cerita sepanjang perjalanan yang menarik, dan tentu saja menambah kaya pengalaman bathin seluruh rombongan. Mulai dari kebingungan Hatta ketika mendengar warga Padang Sidempuan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan nada yang aneh. Kebingungan lain adalah ketika Hatta harus menyiapkan pidato yang berbeda di setiap kerumunan yang memintanya menyampaikan sepatah atau dua patah kata. Sampai kepada keheranannya ketika menemukan 12 orang dari 20 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jambi adalah orang Minang.
Sampai hari ini, mungkin Hatta lah pejabat aktif tertinggi negara ini yang melakukan perjalanan darat sejauh ini. Walaupun tak sampai di Kutaraja, Aceh seperti yang direncanakan, tapi tetaplah sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang di awal perencanaan sudah ditingkahi dengan keberatan dari beberapa orang dengan alasan yang “jawa-sentris” yakni, di Yogya sedang kekurangan pemimpin dan pekerjaan di Pulau Jawa sangat banyak dan sulit ditinggalkan begitu saja”. Keberatan yang ditanggapi Hatta dengan serius,” Apakah Sumatra itu bukan Indonesia?”
Bagi saya, penikmat mudik jalur darat Jakarta-Sijunjung, Hatta adalah bapak mudik darat Orang Minang. Dengan segala keterbatasan infrastruktur dan logistik, ia memulai mudik darat dengan menyeberangi selat sunda. Keterbatasan yang kelak menjadi salah satu tuntutan orang Sumatera ketika memulai sebuah koreksi bernama PRRI. Dimana Presiden Sukarno berusaha merangkul semua yang terlibat dengan menyelenggarakan Musyawarah Nasional dan Musyawarah Nasional Pembangunan. Bahkan Presiden Sukarno sampai membuat jabatan Menteri Urusan Jalan Raya Sumatra dalam sebuah Kabinet Dwikora.
*)Menurut Googlemaps: Perjalanan ini menempuh jarak 2,431 km
**) Sebagian pernah dimuat di www.ranah.id
Yoss Fitrayadi, Praktisi Digital Marketing. Aktif di Jilatang Institute