Mungkin sudah banyak di antara kita yang mengetahui bahwa momentum Hari Ibu yang kita peringati setiap 22 Desember, berawal dari terselenggaranya Kongres Perempuan pertama yang diselenggarakan pada 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri lebih dari seribu orang di Yogyakarta, sebagian besarnya adalah kaum perempuan yang diutus dari 30 organisasi perempuan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Pertemuan yang berlangsung sembilan puluh tiga tahun lalu itu dimotori oleh Nyi. Hadjar Dewantara (Wanita Taman Siswa), Ny. Soekonto (Wanita Oetomo), Sujatin Kartowijono (Poetri Indonesia).
Namun, mungkin belum banyak yang tahu bahwa pada Kongres Perempuan kedua yang diselenggarakan di Batavia pada 20-24 Juli 1935, ada seorang “Singa Betina” yang orasinya menggetarkan sekaligus menghebohkan. Dialah Ratna Sari, salah seorang peserta kongres yang berasal dari Pulau Sumatera.
Dalam buku "Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI" karya Saskia Wieringa, Maria Ulfah (Menteri Sosial pada masa Kabinet Syahrir II) yang juga merupakan salah satu peserta kongres menuturkan “Perempuan Minangkabau ini penuh semangat, sangat nasionalis, dan Islam tegar. Ia mengenakan kerudung dan busana tradisional Islam. Kami semua menjadi khawatir. Bagaimana kira-kira reaksi Ibu Pringgodigdo”. Ibu Pringgodigdo yang dimaksud adalah Suwarni Pringgodigdo, pendiri organisasi Istri Sedar yang dikenal sangat menentang praktik poligami.
Rupanya salah satu hal yang disampaikan oleh Ratna Sari adalah tentang poligami. Sebagai seorang perempuan Minangkabau tentu tidak mengherankan jika Ratna terkesan sebagai perempuan Islam tegar. Mungkin yang dimaksud Maria Ulfah dengan ungkapan Islam tegar ini, adalah penganut Islam yang konservatif.
Minangkabau sudah terlanjur lekat dengan falsafah "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah". Di dalam Kitabullah, tercantum jelas kalimat yang memang membolehkan praktik poligami. Sangat wajar jika Ratna terkesan mendukung poligami. Namun di tulisan ini saya tidak sedang mengupas tentang poligami, melainkan tentang sosok Ratna dan organisasinya.
Ratna hadir dalam kongres tersebut sebagai perwakilan dari organisasi Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Permi adalah sebuah organisasi yang lahir di Ranah Minang pada 1930. Cikal bakalnya adalah organisasi Persatuan Sumatra Thawalib yang didirikan 1928. Sebagaimana kita ketahui, era tersebut termasuk pada zaman pergerakan dalam periodesasi sejarah pra kemerdekaan Indonesia, dimana memang banyak tumbuh organisasi pergerakan yang menggelorakan semangat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. Pada kongres ketiga di Bukittinggi, Persatuan Sumatra Thawalib bertransformasi menjadi sebuah Partai Politik yang diberi nama Permi.
Permi memang dikenal memiliki banyak “singa podium”. Ada tiga tokoh yang dikenal sebagai “Tiga Serangkai Permi" : Djalaluddin Thaib yang didaulat menjadi Ketua Umum, Ilyas Yacoub Ketua Dewan Pendidikan dan Muchtar Luthfi yang diberi amanah sebagai Ketua Dewan Propaganda. Ketiga tokoh ini kerap memberikan orasi yang menyerukan rakyat agar bersatu, menyusun kekuatan bersama, berjuang untuk kemerdekaan. Pemerintah Belandapun kian meningkatkan intimidasi terhadap kaum pergerakan. Awalnya pemerintah kolonial sering mengirimkan mata-mata untuk memantau pergerakan Permi, hingga akhirnya ketiga tokoh inipun dicekal dari mengisi forum-forum umum.
Sebagai organisasi yang beranggotakan orang Minang, Permi tentu tidak kehabisan akal. Sebagaimana pepatah Minang “indak ameh, bungkah diasah, indak kayu, janjang dikapiang”, Permi akhirnya mengorbitkan para propagandis lain, termasuk perempuan-perempuan Minang yang juga berpotensi sebagai orator ulung. Di sinilah muncul Ratna Sari sebagai salah satu “singa betina”, selain juga Rasuna Said, Rasimah Ismail, dan Khadijah.
Para “singa betina” inipun tak kalah garang dalam menggelorakan semangat anti koloniaisme. Akhirnya merekapun satu per satu harus menerima risiko perjuangan, ditangkap oleh aparat penjajah. Rasuna Said yang pertama ditangkap. Terkait isi ceramahnya dalam rapat umum Permi di Diniyah School Payakumbuh November 1932, pemerintah kolonial menuduhnya telah menanamkan rasa permusuhan terhadap Belanda di muka umum. Ia pun dibuang ke Semarang untuk menjalani pidana kurungan selama satu tahun tiga bulan.
Menyusul di bulan yang sama, Rasimah Ismail juga bernasib serupa. Dia ditangkap di Sungai Pua, Agam, tak jauh dari Bukittinggi. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya pun persis seperti yang dialami Rasuna Said. Hukuman yang diterimanya sedikit lebih ringan, yakni penjara sembilan bulan dan diasingkan ke Semarang. Sampailah giliran Ratna Sari dan koleganya Fatimah, juga bernasib hampir sama. Keduanya juga ditangkap, namun lebih beruntung karena hanya dijatuhi hukuman kurungan selama sepuluh hari.
Sebagaimana Rasuna Said, Ratna Sari juga mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan khusus putri yang sangat banyak melahirkan perempuan-perempuan hebat, Diniyah Putri Padang Panjang. Ratna adalah putri Minangkabau kelahiran Pariaman, 1 Juni 1914. Pada era pascakemerdekaan Indonesia, Ratna mendapat amanah sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia dari Fraksi Masyumi. Dia duduk di majelis tersebut sejak 9 November 1956 hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante. (*)
Selly Afrida Oltar: Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Ibu Negeri