Kurang lebih 150 masyarakat Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai menentang lahirnya izin persetujuan pemanfaatan kayu kegiatan non kehutanan dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat. Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatra Barat Nomor 90/230/PR.PH-2021 memang memberi persetujuan pemanfaatan kayu kegiatan non kehutanan untuk areal perkebunan tanaman minyak atsiri pada areal penggunaan lain atas nama Koperasi Minyak Atsiri Mentawai di Desa Silabu.
Secara legal formal perizinan telah dipenuhi perusahaan dalam hal ini Koperasi Minyak Atsiri Mentawai yang berbadan hukum No: 011062/BH/M. KUKM.2/XII/2018. Jika ditelisik dari dokumen perizinan koperasi ini, pemerintah dengan memakai turunan dari omnibus law Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yakni Permen LHK Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi membuka ruang untuk pemanfaatan kayu lewat konsep pemanfaatan kayu kegiatan non kehutanan (PKKNK).
Secara definisi, dalam kaca mata pemerintah pemanfaatan kayu kegiatan non kehutanan merupakan mekanisme pemanfaatan kayu yang tumbuh alami sebagai dasar untuk menebang kayu dan/atau memungut hasil hutan bukan kayu sebagai akibat dari adanya kegiatan non kehutanan. Selain itu pemerintah menganggap kegiatan non kehutanan dan pengaturan pemanfaatan kayu kegiatan non kehutanan oleh pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dapat dilaksanakan secara tertib dan benar.
Secara praktek APL, sebenarnya dapat diberikan alas hak berupa sertifikat hak milik. Namun areal ini selalu dijadikan kue untuk pengusaha oleh pemerintah daerah dan pusat. Dari sini terlihat keberpihakan kepada masyarakat melalui skema perhutanan sosial masih setengah hati dijalankan oleh pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Sumatra Barat.
Jika ditelisik, kewenangan pemberian PKKNK pada areal APL yang telah dibebani izin peruntukan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu kurang memahami syarat bebas konflik yang dimuat dalam Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2021 itu. Secara nyata kewenangan pemberian PKKNK tidak memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam bagi masyarakat di Mentawai.
Ancaman Kebudayaan
Keberadaan masyarakat dengan kebudayaannya telah dianggap remeh oleh pemerintah selaku otoritas yang berwenang. Kebutuhan akan modal dari luar, geliat ekonomi selalu dijadikan alasan oleh pemerintah memeberikan izin eksploitasi hutan – hutan mentawai. Padahal modal sosial dan modal uang dari masyarakat Mentawai sendiri sejatinya mampu memanfaatkan hutan secara lestari dan berlanjut bagi generasi kedepan. Kebutuhan sesaat akan keuntungan yang diraih selalu bertentangan dengan pemanfaatan hutan secara lestari. Kebudayaa meramu, berburu bagi masyarakat adat Mentawai dinafikan oleh pemegang kekuasaan.
Hilangnya budaya, perubahan sosial yang akan terjadi serta dampak lingkungan dipinggirkan dulu demi keuntungan sesaat oleh pengusaha. Padahal cara – cara lain yang dapat dilakukan demi keuntungan bisa dilakukan dengan pelibatan aktif masyarakat mentawai. Menjadi hutan sebagai sumber jasa lingkungan, wisata serta pemanfaatan HHBK dijadikan anak tiri dalam konsep pensejahteraan masyarakat mentawai.
Konflik horizontal dan vertikal
Lahirnya surat bebas konflik dari pengusaha bersama elit di desa dan daerah hanya dibuat-buat untuk kelancaran bisnis kayu dan kebun ini. Antitesis dari ekploitasi hutan Mentawai sebenarnya telah ada dalam konsep perhutanan sosial yang memang sudah banyak berjalan tetap dirasakan masih setengah hati. Percayalah, pada masyarakat mu wahai penguasa. Mereka akan mampu menggunakan cara lain untuk kesejahteraannya tanpa merusak budaya dan aset mereka berupa hutan.
Konflik horizontal yang lahir di Mentawai tidak serius diselesaikan oleh pemerintah. Keberpihakan kepada keuntungan cepat lewat tangan pengusaha luar mengakibatkan meletusnya konflik agraria di Mentawai.
Oleh sebab itu PKKNK yang diterbitkan berdasarkan SK Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat harus ditinjau ulang bahkan dicabut karena keterlibatan masyarakat banyak dan konflik yang terjadi dilapangan. Berikanlah kepercayaan bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengelola hutan mereka secara arif dan bijaksana.
Solusi Pemanfaatan Hutan Berkelanjutan
Skema perdagangan karbon adalah solusi tepat bagi masyarakat sekitar hutan karena dengan menjadikan hutan sebagai jasa penyerap udara kotor yang dihasilkan industri–industri akan dibayarkan oleh industri–industri pencemar lingkungan sesuai kesepakatan internasional dan keadilan global.
Krisis iklim perlu ditangani serius. Yakinlah tidak melulu eksploitasi mengahasilkan kesejateraan tapi merawat dan memanfaatkan hutan secara bijaksana dan pemberian kepercayaan mengelola hutan kepada masyarakat lewat perhutanan sosial adalah instrumen resolusi konflik yang tepat. Tinggal lagi dukungan serius pemerintah dan lembaga negara yang ada, agar kemakmuran didapat tapi hutan tidak rusak dan menyebabkan bencana terelakkan. Masyarakat sejahtera dan hutan lestari adalah tujuan mulia yang dilakukan bersama. Untuk itu daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak terlewati oleh kerakusan sesaat beberapa pihak. Semoga Mentawai dapat menjadi model bagaimana masyarakat Mentawai makmur dan hidup sehat tanpa terancam oleh bencana alam.
Mentawai oh Mentawai, semoga masyarakat hidup lestari dengan hutan yang mampu memberikan keuntungan dengan cara non eksploitasi. (*)
Roky Septiari adalah advokat dan pegiat lingkungan