Jalan Lintas Layak Dulu, Baru Tol

Pada tanggal 12/11/2021, saya mencuit di platform Twitter. Persisnya, bunyinya begini: "Proyek tol cara negara melepaskan tanggung jawab. Itu bukan kata saya, tapi perintah konstitusi: 'Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak' (Psl 34 ayat (3) UUD 1945). Yg biasa berpikir pasti paham ini".

Cuitan itu ditanggapi banyak netizen, berhari-hari. Pada umumnya "mendaram" (menyerang) saya. Dibilangnya saya anti tol dan tidak mendukung kebaikan hati pemerintah pusat. Twit pribadi saya itu juga dihubung-hubungkan dengan  posisi saya di Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

Ada pula yang sampai melontarkan kata-kata kotor. Simpulan sederhana para netizen yang menyerang saya itu begini: pantaslah progres pembangunan tol Padang-Pekanbaru jalannya beringsut-ingsut serupa siput, sebab orang dekat gubernur anti tol.

Saya bukan anti tol. Apalagi anti jalan lebar dan mulus yang melancarkan pergerakan orang dan barang. Tidak pula anti pemerintah pusat dan segenap kebijakannya. Sebagaimana keinginan banyak orang, ingin benar saya ke Pekanbaru dari Padang 3 jam saja. Tidak 7 jam (lebih kurang) serupa sekarang.

Twit itu bermaksud membangunkan yang tertidur, bahwa ada yang keliru dengan praktik pembangunan tol selama ini. Tol dibuat di tengah fakta sebagian besar ruas jalan lintas kita yang belum layak: sempit, banyak lubang dan bergelombang. Waktu tempuh dari satu provinsi ke provinsi lain menjadi tidak masuk akal. Dari Padang ke Jambi habis pula waktu 13 jam lebih. Padahal jaraknya cuma 543 km saja.

Seharusnya negara membangun jalan lintas sekelas tol terlebih dahulu, setelah itu mau bangun tol silakan. Jadi, utang konstitusional negara menyediakan jalan lintas yang layak tidak terbayar lunas dengan dibangunnya tol. Inilah yang saya maksud dengan: proyek tol cara negara melepaskan tanggung jawab.

Tulisan ini menjelaskan cuitan saya itu. Agak serius. Kalau mau diilmiah-ilmiahkan, tulisan ini bolehlah disebut sebagai perspektif konstitusi proyek tol di Indonesia.

Pesan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang saya kutip di cuitan itu ada dua: pertama, negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan, dan kedua, negara juga wajib menyediakan fasilitas umum. Keduanya haruslah yang layak. Tidak boleh yang asal jadi. Sekadar pelepas tanya saja.

Pasal 34 ayat (3) adalah norma yang diturunkan langsung dari pesan sebagian paragraf ke 4 Preambule Konstitusi kita: "...dan untuk memajukan kesejahteraan umum...". Maknanya, negara yang dijalankan oleh pemerintah wajib hukumnya menyejahterakan segenap rakyatnya. Rakyat yang menyebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas Sampai Pulau Rote. Kesejahteraan rakyat itu, salah satunya, diukur dari ketersediaan fasilitas umum yang layak.

Konstitusi tidak merinci, di level pemerintah yang mana tanggung jawab penyediaan fasilitas umum yang layak itu terletak. Semuanya memikul tanggung jawab. Baik pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota. Sesuai dengan kewenangan masing-masing. Yang pasti, secara konstitusional, kendali pelaksanaan tanggung jawab itu ada di tangan Presiden. Itu bukan permainan kata-kata saya, tapi tafsir lurus dari Pasal 4 UUD: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar".

Tumpukan kekuasaan besar di tangan Presiden itu adalah konsekuensi logis dari pilihan bentuk negara. Yaitu, negara kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Pilihan ini tentu sudah dipertimbangkan dengan matang oleh para pendiri negara kita dulu setelah mereka letih berdebat.

Di negara yang berbentuk kesatuan, Presiden adalah induk semang para kepala daerah. Baik kepala daerah provinsi (gubernur) maupun kepala daerah kabupaten dan kota (bupati dan wali kota). Gubernur dan bupati atau wali kota adalah anak buah Presiden di daerah, sesuai tingkatnya.

Gambaran hierarkinya begini: Presiden induk semang besar pemerintah, gubernur adalah wakil Presiden (wakil pemerintah pusat) di daerah yang dibebani tanggung jawab membina dan mengawasi anak buah Presiden lainnya: bupati atau wali kota.

Sebagai induk semang, Presiden dituntut jeli melihat fakta daerah-daerah. Ada daerah yang kaya, ada pula yang serba kekurangan. Presiden harus mengaturnya dengan baik: sebagian harta daerah yang kaya diambilnya untuk membantu daerah yang kekurangan. Tujuannya, agar tidak terjadi ketimpangan yang ekstrim antara daerah yang kaya dengan yang miskin. Begitu benarlah tanggung jawab Presiden mewujudkan kesejahteraan yang tidak bisa dielakkan dalam konsep negara kesatuan.

Kekuasaan tentu berbanding lurus dengan tanggung jawab. Besar kekuasaannya, besar pula tanggung jawabnya. Termasuk tanggung jawab menyediakan jalan lintas yang layak. Jalan lintas sekelas tol. Tanggung jawab gubernur dan bupati atau wali kota ada pula. Tapi tentu tidak sebesar tanggung jawab Presiden.

Jalan lintas yang layak adalah hak segenap rakyat. Tol bukan. Dimana-mana begitu. Makanya, tol berbayar. Jalan lintas tidak.

Logikanya begini: karena sebagian rakyat sudah menyetorkan pajak dan/atau menunaikan kewajiban mereka, balasannya, negara membuatkan jalan lintas yang layak. Karena hak, rakyat boleh menjajal jalan lintas sejadi-jadinya. Tanpa karcis.

Negara harus menjaganya saban waktu. Yang berlubang ditambal, yang bergelombang didatarkan lagi. Begitu seterusnya. Uangnya dari mana? Jelas dari saku rakyat yang menunaikan kewajiban dan/atau (bisa jadi) dari utang atas nama rakyat dan sumber-sumber lainnya.

Rakyat tidak boleh merengek-rengek kepada negara untuk dibuatkan tol. Dibuatkan syukur. Tidak, jangan pula marah. Sebab, secara konstitusional, tol bukan kewajiban, tapi semacam pekerjaan tambahan. Sepatutnya, pekerjaan tambahan sebaiknya "diresek" bila pekerjaan pokok sudah tuntas.

Tol, biasanya, dibangun dengan pelibatan investor. Baik investor yang merupakan swasta murni atau badan usaha milik negara. Investasi pasti bicara laba. Wajar. Sewajar pengguna tol membayar setiap masuk atau keluar tol.

Yang tidak wajar: negara memaksa diri menggunakan uang investor dan utang membangun tol pada saat jalan lintas yang layak belum lagi tersedia. Sebab, konsekuensinya, rakyat terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan haknya (jalan yang layak) pada saat negara tidak atau belum menunaikan kewajiban konstitusionalnya.

---

Miko Kamal
Legal Governance Specialist

Baca Juga

Jelang Lengser, Jokowi Resmikan 2 Ruas Tol Trans Sumatra
Jelang Lengser, Jokowi Resmikan 2 Ruas Tol Trans Sumatra
Tol Palembang-Jambi Segera Diresmikan, Sumbar Jadi Satu-satunya Provinsi di Sumatra Tak Terhubung Jalan Tol
Tol Palembang-Jambi Segera Diresmikan, Sumbar Jadi Satu-satunya Provinsi di Sumatra Tak Terhubung Jalan Tol
HK Lanjutkan Pembangunan Trans Sumatra Tahap II, Tol Betung-Tempino-Jambi
HK Lanjutkan Pembangunan Trans Sumatra Tahap II, Tol Betung-Tempino-Jambi
HKI Garap Proyek Simpang Susun Palembang Hubungkan 2 Ruas Tol
HKI Garap Proyek Simpang Susun Palembang Hubungkan 2 Ruas Tol
Mulai 30 Juli, Hutama Karya Berlakukan Tarif Tol Bangkinang - Koto Kampar
Mulai 30 Juli, Hutama Karya Berlakukan Tarif Tol Bangkinang - Koto Kampar
1 Bulan Gratis, HK Segera Tetapkan Tarif Tol Bangkinang-Koto Kampar
1 Bulan Gratis, HK Segera Tetapkan Tarif Tol Bangkinang-Koto Kampar