AJI Padang Gelar Nobar dan Diskusi Film A Thousand Cuts

AJI Padang Gelar Nobar dan Diskusi Film A Thousand Cuts

Foto: Dok. AJI Padang

Langgam.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Padang menggelar diskusi dan Nonton Bareng (Nobar) sebuah film tentang proses lambat pelemahan demokrasi yang berjudul A Thousand Cuts. Kegiatan tersebut digelar di Segeh Koffiehiuis, Kamis (4/11/2021) malam.

Nobar dan diskusi dengan tema "Ancaman Serangan Digital dan Pembatasan Bersuara serta Penggelembungan Kekuasaaan Eksekutif Terhadap Demokrasi Indonesia" itu menghadirkan Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara dan Indira Suryani, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sebagai pembicara.

Nobar dan diskusi tersebut dimoderatori Febrian, Jurnalis Republika yang juga merupakan anggota AJI Padang dan MC, Sonya Andomo, jurnalis CNN Indonesia yang juga merupakan anggota AJI Padang.

Ketua AJI Padang, Aidil Ichlas mengatakan, nobar Film a Thousand Cuts ini digelar di 10 AJI Kota yang tersebar di seluruh Indonesia.

Selain bentuk dukungan terhadap Maria Resa, kegiatan ini juga memperingati Hari Internasional Memperingati Impunitas Atas Kejahatan Terhadap Jurnalis.

"Film ini kita harapkan dapat menjaga semangat para jurnalis dan aktivis dalam membela HAM khususnya. Sekaligus mengingatkan adanya ancaman serupa, seperti yang terjadi di Filipina," ujar Aidil.

Sementara itu, Feri Amsari mengatakan, bahwa antara Filipina dan Indonesia itu ada persamaan, yaitu persamaan dalam budaya ingin memperpanjang kekuasaan atau masa jabatan.

Film yang dimulai dari seorang jurnalis bernama Maria Ressa mewawancarai seorang wali kota yang pandai mengambil hati publik, kata Feri, kemudian mendapat dukungan dari masyarakat untuk memimpin, hingga akhirnya terpilih menjadi presiden.

Apalagi, lanjut Feri, psikologi publik, ketika orang atau publik sudah simpatik, maka yang memimpin akan tergoda untuk melanjutkan masa jabatannya, meskipun telah dibatasi kosntitusi, mereka (pemimpin) akan mengubah kebijak-kebijakan tersebut.

Lalu, Feri juga menyorot terkait kebebasan pers dalam film tersebut. Apa yang terjadi di Filipina, kata Feri, juga dapat dirasakan hari ini di Indonesia. Termasuk di Sumatera Barat (Sumbar) meskipun tipikal pemimpinnya berbeda.

"Ketika jurnalis sudah dibungkam, apalagi ditangkap. Maka, tidak akan ada lagi apa-apa, karena tidak ada lagi yang memberitakan," katanya.

Jadi, kata Feri, jurnlasi itu harus membangun kekuatan, ketika terjadi sesuatu, maka advokasi juga berjalan dengan kuat.

"Kejahatan yang dilakukan Duterte dalam film itu, yang juga pernah terjadi di Indonesia, jangan sampai terulang lagi. Jangan sampai kapitalis politik menjadi pemilik media, karena bukan tidak mungkin mereka mengendalikan informasi," ucap Feri.

Feri juga menyampaikan kekhwatirannya terhadap Indonesai menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024.

Feri khawatir, ketika seseorang mencalon, ada ketegasan dalam berpolitik. Namun, ketika sudah memimpin, mereka malah tegas untuk memperpajang atau melanjutkan masa jabatan.

Kemudian, Direktur LBH Padang, Indira Suryani menyebutkan, film A Thousand Cuts merupakan film yang sangat luar biasa, bukan menampilkan kesedihan, namun memberikan motivasi yang bisa kita rasakan untuk memperjuangkan hal-hal yang benar.

Ketika seseorang memilih jati dirinya untuk membela HAM, maka sesuatu akan menghampiri. Pembela HAM akan berbahagia dengan apa yang mereka perjuangkan.

"Ketika Maria Ressa ditahan dan didiskriminasi, mereka tetap memiliki kekuatan yang luar biasa. Yang berjuang itu terkadang bukan siapa-siapa, mereka juga merasa lemah, tapi yang kuat di balik itu semua adalah masyarakat," ujar Indira.

Dari film itu, kata Indira, merepresentasikan bahwa sistem demokrasi yang murahan. Mata rakyat tertutup terhadap apa yang dilakukan pemerintah dan itu terjadi dengan banyak penyebab.

Indira mencontohkan, salah satu hal yang kerap terjadi di sekitar kita yaitu saat kampanye, kita gampang memilih atau memberikan suara kita untuk seseorang karena satu hal, seperti pemberian jilbab, lalu diminat untuk memilih dia, atau pemberian pakaian dan lain-lain.

Menurut Indira, kesamaan antara Filipina denga Indoensia dalam gambaran film tersebut yaitu oligarki. Ketika seorang ayah berkuasa, anaknya atau keluarganya juga akan berkuasa. Seperti anak Duterte yang juga menjadi wali kota.

Indira menegaskan, anak-anak muda di Indonesia hari ini perlu merebut ruang-ruang virtual, yang kemudian mewujudkan demokrasi yang lebih baik melalui dunia digital.

Apalagi, sebut Indira, pemilu sebelumnya masyarakat Indonesia terpecah belah di dunia maya. "Kedepan, ruang ini harus dimenangkan, termasuk penyerangan oleh buzzer," katanya.

Indira juga menyebutkan, sama halnya dengan jurnalis, serangan-serangan dunia digital juga dirasakan pembela HAM, bahkan sampai pelaporan ke polisi akibat perdenatan di grup WhastApp.

Baca Juga

Dewan Pers mengapresiasi program BRI Fellowship Journalism 2025. Wakil Ketua Dewan Pers Muhamad Agung Dharmajaya menyambut baik program yang
Tingkatkan Kompetensi Jurnalis, Dewan Pers Apresiasi BRI Fellowship Journalism 2025
Koalisi Cek Fakta Sumbar Gelar Diskusi Publik Bahas Ancaman Disinformasi di Pilkada 2024
Koalisi Cek Fakta Sumbar Gelar Diskusi Publik Bahas Ancaman Disinformasi di Pilkada 2024
Biasa tayang di YouTube, aksi serial komedi Minang yang terdiri dari Mak Ipin, Uda Rio dan Godok, kini bisa disaksikan di layar lebar.
Garundang Entertainment Rilis Film Sadang di Bawah, Tayang Perdana 21 September di CGV
Jadi Inspirasi Anak Muda, Merial Institute Gelar Nonton Bareng Film Lafran Pane di Padang
Jadi Inspirasi Anak Muda, Merial Institute Gelar Nonton Bareng Film Lafran Pane di Padang
Pemkot Padang Dorong Hotel dan Restoran Putar Video Promosi Wisata
Pemkot Padang Dorong Hotel dan Restoran Putar Video Promosi Wisata
AJI Se-Sumatra Gagas Sinergi Jaga Lingkungan
AJI Se-Sumatra Gagas Sinergi Jaga Lingkungan