Langgam.id - Tiga organisasi jurnalis dan media mengajukan permohonan jadi pihak terkait dalam pengujian Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga organisasi tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Melalui kuasa hukumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, tiga organisasi mengajukan permohonan sebagai pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung kepada MK pada perkara nomor 38/PUU-XIX/2021.
Perkara tersebut diajukan Heintje Grontson Mandagie dkk. Mereka menguji Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap UUD 1945. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f mengatur kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membentuk peraturan dibidang pers. Sedangkan Pasal 15 ayat (5) terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan dengan keputusan presiden.
Dalam siaran pers yang diterima langgam.id pada Kamis (4/11/2021), ketiga organisasi menyatakan, permohonan itu merupakan bentuk kepedulian yang tinggi pada pengujian UU Pers itu. Sebagai konstituen Dewan Pers, AJI, AMSI dan IJTI merasa keterangan dalam permohonan ini bisa menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan majelis hakim MK dalam memeriksa perkara.
Empat poin pernyataan tiga organisasi itu adalah sebagai berikut:
1. Jika dibaca baik-baik terkait kewenangan Dewan Pers pada salah satu pasal yang diuji, Pasal 15 ayat (2) huruf f sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi–organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers. Sehingga sebenarnya tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli. Sebagai fasilitator, Dewan Pers diwajibkan memastikan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers.
2. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari memfasilitasi sendiri adalah: “memberikan fasilitas”. Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinya: “sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan”. Artinya pada konteks fungsi Dewan Pers dalam membentuk peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam membentuk peraturan di bidang pers.
3. Sebagai fasilitator, maka jika terdapat pembentukan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers maka barulah bisa dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers sendiri. Seandainyapun terjadi, permasalahan berada di tataran implementasi bukan pada tataran normatif dengan meminta Dewan Pers kehilangan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers membentuk peraturan di bidang pers.
4. Mencermati posita para Pemohon mengenai memfasilitasi adalah menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers. Hal tersebut dikhawatirkan justru membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, dan bahkan berpotensi bertentangan satu dengan yang lain. Hal ini berpotensi membuat munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers. Dikhawatirkan justru memunculkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers.
"Besar harapan para pemohon dan kuasa hukum agar majelis hakim MK mau mempertimbangkan keterangan-keterangan yang disampaikan dalam memeriksa perkara PUU yang diajukan," kata Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin. (*/SS)