Pemuda identik dengan perubahan dan pembaharuan. Peran mereka dalam sejarah dianggap penting dan menentukan, termasuk di Indonesia. Para perintis republik ini umumnya dari golongan muda.
Tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Soepomo, Muhammad Yamin, MH Thamrin, Rasuna Said, Leimena, dan Mohammad Natsir (untuk menyebut beberapa nama) sudah berjuang sejak menduduki bangku pendidikan. Mereka berjuang bagi pembebasan bangsanya dari penjajahan asing.
Saat memimpin Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925), Hatta masih berusia 23 tahun. Soekarno masih berumur 26 tahun saat mendirikan PNI (1927), organisasi politik yang langsung menantang kolonialisme.
Saat bergabung dan memimpin PNI Baru bersama Hatta (1932), usia Sjahrir juga masih sekitar 23 tahun. Kiprah politik mereka mempengaruhi pertumbuhan nasionalisme Indonesia untuk masa-masa setelahnya.
Momen penting yang selalu dianggap sebagai “tonggak utama” kiprah pemuda Indonesia adalah Sumpah Pemuda Oktober 1928. Pemuda dari berbagai latar etnis, daerah, agama, dan budaya berikrar untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia yang terbebas dari segala bentuk penjajahan.
Demi merajut persatuan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka, “sejenak” mereka lupakan aneka perbedaan latar belakang eksistensial mereka itu.
Sangat jelas bahwa pemuda perintis di masa lalu adalah idealis dengan kesadaran tinggi akan nasib bangsa dan masyarakatnya. Mereka menolak diam melihat kondisi di sekitarnya. Kesadaran politik generasi awal ini tentu tidak muncul tiba-tiba.
Pendidikan jelas memegang peran penting dalam membangun visi dan kesadaran eksistensial pemuda pergerakan. Lewat proses pendidikan yang dilalui, mereka berkenalan dengan berbagai idiologi politik, mulai dari Islam, nasionalisme, sosialisme, bahkan komunisme, yang kemudian dijadikan sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme.
Golongan pemuda juga berperan besar di sekitar Proklamasi dan masa Revolusi Kemerdekaan. Pada tahun 1945 mereka “mendesak” generasi senior mereka yang diwakili Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tanpa semangat revolusioner dari mereka, jalannya sejarah negeri ini mungkin akan lain. Pada masa Revolusi, ketika rekolonisasi mengancam kemerdekaan yang baru diraih, peran dan perjuangan pemuda diwakili lewat keterlibatan tentara-tentara pelajar di berbagai medan tempur, seperti di Jawa dan Sumatera Barat.
Sejarah Indonesia kemudian juga mencatat peran Angkatan 1966 (Angkatan 66) dalam arus perubahan politik bangsa. Mereka terlibat dalam upaya mendobrak dan menumbangkan sistem politik otoriter Demokrasi Terpimpin, eksistensi partai komunis dan bahkan paham komunisme.
Bersama militer dan golongan teknokrat, kaum muda kemudian ikut menegakkan Orde Baru, sekalipun setelah beberapa tahun berjalan mereka menganggap penguasa baru telah “melenceng” dari cita-cita awal perjuangan moral menegakkan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Sejak tahun 1970-an peran golongan pemuda pun mulai terlihat dalam wajah yang dualistis. Ada yang masuk dan bahkan menjadi bagian inheren dari sistem kekuasaan, namun tak sedikit juga yang konsisten berada di luarnya sebagai bagian dari kelompok kritis.
Dengan kata lain, pada zaman Orde Baru yang otoriter pun, (sebagian) kaum muda tetap menunjukkan perannya sebagai agen pembaharu.
Barulah pada momen gerakan reformasi 1998, golongan pemuda, khususnya elemen mahasiswa, kembali menunjukkan peran kesejarahannya sebagai gerakan moral. Mereka bahu-membahu dengan kalangan reformis kota lainnya menumbangkan Orde Baru untuk memulai suatu periode baru dalam bernegara dan berdemokrasi, sekalipun secara esensial tidak semua unsur rezim lama itu bisa dilikuidasi.
Pasca-1998 memang tidak muncul lagi kiprah “spektakuler” golongan pemuda (terutama elemen mahasiswa) dalam arus perubahan politik bangsa.
Meskipun pemuda masih dilihat dalam gambaran yang dualistis atau bahkan dualitas, namun dalam dua dekade terakhir ini bisa dikatakan tidak ada perubahan politik drastis yang mengundang peran golongan muda untuk tampil di garda depan.
Tidak muncul penamaan angkatan-angkatan baru untuk gerakan pemuda dan mahasiswa pasca generasi 1998.
Walaupun demikian, sejarah tentu tidak sepenuhnya bisa menafikan peran-peran kalangan pemuda masa kini pada berbagai spektrum dan tingkatan. Mereka tidak hanya berperan dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi tertentu dalam menjalani masa (konsolidasi) demokrasi, tetapi juga dalam upaya-upaya merintis kemajuan pada semua tingkatan, termasuk dalam konteks menghadapi tantangan disrupsi di berbagai bidang kehidupan saat ini dan ke depan.
Dukungan kalangan mahasiswa menolak pelemahan KPK akhir-akhir ini (misalnya) bisa dikatakan sebagai peran historis yang tak kalah penting dan bernilai dibandingkan peran generasi-generasi pendahulu.
Dengan kata lain, masih banyak dari anak muda yang disebut “Gen Z” itu menolak apatis terhadap perkembangan keadaan yang mereka rasakan sudah melenceng dari cita-cita reformasi. Pada tingkatannya, mereka dapat mewakili gambaran sisi idealisme dan visi kaum muda masa kini.
*Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas