Langgam.id - Sebuah siaran radio ditangkap Kantor Pos Telegrap dan Telepon (PTT) Padang, malam hari pada 17 Agustus 1945. Informasinya seperti petir yang menyambar: kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan. Peristiwa itu tepat terjadi 74 tahun yang lalu, dari hari ini, Sabtu (17/8/2019).
"Berita proklamasi diterima pertama kali di Padang oleh Sudibyo dan bawahannya Aladin dari kantor PTT (Pos, Telegrap dan Telepon) pada malam hari 17 Agustus 1945," tulis Sejarawan Uiversitas Negeri Padang Mestika Zed, dalam Buku "Somewhere in The Jungle, Pemerintah Darurat Republik Indonesia" (1997).
Di Jakarta, upaya untuk mengabarkan proklamasi kemerdekaan sudah berlangsung sejak 17 Agustus pagi. Sidik Kertapati di Buku "Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945" (2000) menyebutkan, empat pemuda, masing-masing Radja Tjut Rachman, Rahadi, Usman dan Ridwan, mendatangi Gedung radio di Jalan Gambir Barat yang saat itu dijaga ketat tentara Jepang.
Sambil membawa secarik kertas berisi naskah proklamasi, para pemuda berhasil masuk lewat pintu belakang karena dibantu pegawai radio. Namun, belum sempat mereka menyerahkan naskah untuk disiarkan, mereka ketahuan tentara Jepang. Semuanya kemudian diusir dari radio.
"Penyiaran proklamasi kemerdekaan melalui pemancar radio pada pagi hari itu gagal," tulisnya.
Namun, para pemuda tak berhenti berupaya. Upaya itu membuahkan hasil ketika waktu jelang berbuka pada sore hari. "Seorang wartawan Domei bernama Sjachruddin berhasil memanjat tembok belakang gedung radio dan menyelusup ke ruang siaran," tulis Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin dalam Buku "Dasar-Dasar Penyiaran: Sejarah, Organisasi dan Regulasi" (2017).
Para pegawai berunding. Siaran studio dalam negeri tak dihubungkan ke pemancar, tapi tetap terhubung ke speaker, sehingga tentara yang menjaga radio mengira tetap ada siaran seperti biasa.
Sementara, studio siaran luar negeri yang biasanya kosong dihubungkan ke pemancar. Maka, selama 15 menit Jusuf Ronodipuro berulang kali membacakan teks proklamasi di corong radio. Teks proklamasi juga dibacakan dalam Bahasa Inggris oleh Suprapto.
"Siaran tersebut kemudian dipancarkan juga oleh Radio Bandung dengan para penyiar seperti Sakti Alamsyah, Abdul Hanan dan Sjah Amir," tulis Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin
Siaran-siaran radio inilah yang ditangkap Aladin dan kawan-kawan di PTT Padang. Menurut Kamardi Rais Datuak P. Simulie dalam Buku "Mesin Ketik Tua" (2005), siaran dari Bandung inilah yang salah satunya ditangkap di Padang.
"Setelah itu bergemalah suara Sakti Alamsyah dari bumi Parahiyangan. Teks proklamasi mengudara. Pada mulanya tampak sebagai peristiwa sederhana di depan Gedung Proklamasi, Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Siaran itu berulang kali," tulis Dt. Simulie.
Mendengar kabar itu, menurut Mestika Zed, malam itu juga dari kantornya di Jalan Belantung (sekarang Jalan Sudirman), Aladin segera memberitahukannya kepada pemuda Jahja Djalil. "Sejak itu, berita proklamasi disampaikan secara berantai dari mulut ke mulut," tulisnya.
Informasi yang disebarkan dari mulut ke mulut, menurutnya, saat itu di Padang disebut "Radio Lutuik" yang dalam Bahasa Indonesia "Radio Lutut". Maksudnya, memang harus mengandalkan kaki untuk berjalan dari satu tempat ke tempat lain, untuk mengabarkan informasi.
Kabar itu menyebar cepat. Menurut Mestika, pada malam hari 18 Agustus 1945, teks proklamasi sudah diperbanyak di percetakan "Padang Nippo".
"Gudang percetakan itu sudah terkunci, sebab beberapa saat sebelum proklamasi, Jepang telah menjalankan kontrol sensor informasi secara sangat ketat. Begitu juga Kantor Berita Jepang, Domei, telah disegel sejak tanggal 14 Agustus. para pegawainya dilarang bekerja," tulisnya.
Akibatnya, lanjut Mestika, Arifin Alip dan kawan-kawannya, dengan bantuan beberapa orang bekas karyawan percetakan itu membuka secara paksa gudang pencetakan. Teks proklamasi pun bisa dicetak.
Hal yang sama juga dilakukan di percetakan Gazaira Pasar, Batipuh, atas prakarsa Pemuda Pelajar Tsu Gakko (Sekolah Teknik) di Simpang Haru.
Ismail Lengah, salah satu pemuda Giyugun senior yang dilatih militer Jepang saat informasi proklamasi beredar, sedang berada di Duku, sekitar 20 kilometer di utara Padang.
"Pada 18 Agustus 1945, seorang koleganya, A. Manan datang menjemputnya ke Duku. Ia diutus oleh Chatib Soelaeman, aktivis terkemuka sejak sebelum perang, Engku Abdullah (guru Sekolah HIS Adabiah), Inyiak Basa Bandaro, seorang saudagar dan juga tokoh nasionalis yang disegani masyarakat luas," tulis Mestika.
Dari A. Manan, menurut Mestika, Ismail yang pada masa perang kemerdekaan menjadi salah satu komandan TNI menerima cerita bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan. Dari Duku, keduanya kemudian ke Padang pada 18 Agustus.
Mereka langsung menuju ke sebuah toko milik A. Abdul Latief, seorang saudagar nasionalis. Ia menyediakan kedainya untuk mengadakan pertemuan di siang hari itu. "Di sana telah menunggu beberapa orang tokoh, antara lain Chatib Soelaeman, Engku Abdullah dan Inyiak Basa Bandaro."
Mestika Zed menulis, sesudah bersalam-salaman, Chatib Soelaeman langsung membuka pembicaraan. Dikatakan bahwa kemerdekaan sudah diproklamasikan, tetapi Jepang masih ada. "Rakyat mungkin bingung menghadapi kenyataan ini. Kita sedang berada dalam transisi. Harus ada gerakan untuk mendukung proklamasi, sekaligus menghilangkan keragu-raguan rakyat," ujar Chatib Soelaeman, sebagaimana dilansir Mestika.
Uraian Chatib Soelaeman disambung oleh Inyiak Basa Bandaro: "Tentu di Jawa orang sudah bergolak, malu kita terhadap orang- orang di Jawa."
Ismael Lengah kemudian mengusulkan agar dibentuk sebuah badan yang akan menjadi wadah perjuangan; ia juga mengusulkan nama "Balai Penerangan Pemuda Indonesia" (BPPI) untuk wadah tersebut.
Badan itu akan bertugas menampung segala persoalan dan memberikan pejelasan kepada siapa saja yang bertanya tentang Proklamasi Kemerdekaan. "Pokoknya BPPI sudah mencerminkan state oriented" tambahnya.
"Rapat kecil di sebuah kedai itu merupakan gejala pertama dari usaha segelintir pemimpin lokal dalam mengkoordinasikan diri mereka ke dalam langkah perjuangan selanjutnya," sebut Mestika.
Hampir sama dengan di Padang, di Bukittinggi penyebaran informasi proklamasi juga sudah dimulai pada hari yang sama: 17 Agustus 1945.
"Setelah menerima berita proklamasi yang disebarkan secara diam-diam oleh Ahmad Basya, bekas pegawai kantor berita Jepang pada malam hari tanggal 17 Agustus, para pemuda di kota itu langsung bergerak," tulis Mestika.
Salinan berita proklamasi, lalu diketik 10 rangkap oleh Asri Aidit Sutan Rajo Nan Sati. Kemudian diteruskan kepada Adinegoro, tokoh Chuo Sangi In di Bukittinggi.
Pada 19 Agustus 1945, salinannya sampai ke tangan tokoh pendidikan Engku Mohammad Syafei. "Kemudian diadakan suatu pertemuan di rumah dr. Rasyidin di Padang Panjang."
Hasil pertemuan di Gedung Majelis Islam Tinggi (MIT) Bukittinggi, kemudian menghasilkan kesepakatan mendirikan organisasi pemuda bernama Pemuda Indonesia (PI) dan kemudian berubah menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Bila BPPI di Padang diketuai Ismail Lengah, PRI di Bukittinggi dipimpin Noesjirwan A Hamzah. PRI kemudian mengembangkan sayapnya sampai ke Pekanbaru dan Rengat. Sementara, BPPI di Padang lebih banyak bergerak di Padang. Meski demikian, menurUT Mestika, organisasi ini kemudian banyak menentukan revolusi dan arah perjuangan di hari-hari pertama kemerdekaan itu.
"Pertemuan-pertemuan di kalangan pemuda dan pemimpin senior di Padang antara tanggal 27-29 Agustus 1945, membuat revolusi di daerah semakin relevan dengan keputusan Jakarta," tulisnya. (HM)