"Bung Halim, apa! Saya tidak percaya, Bung Halim bohong,” kata Bung Karno, tatkala Abdul Halim menyambangi Bung Karno di Pengangsaan Timur 56, tanggal 14 Agustus 1945.
Mengayuh sepeda dari tempatnya bekerja, Rumah Sakit Umum Negeri (Pusat) Jakarta (kini RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) ke rumah saudagar Faradj bin Said bin Awadh Martak alias Faradj Martak di Pengangsaan Timur 56, hati Halim sungguh riang. Ia tak sabar lagi mengutarakan informasi penting kepada tokoh kaum tua, Bung Karno, yang hari-harinya saat itu, beraktivitas di rumah tersebut.
Halim seorang maniak radio, sering memutar radio yang berpancar dari luar negeri, untuk mengetahui informasi penting dari segala penjuru dunia. Selasa, 14 Agustus 1945, Halim terpaku pada frekuensi radio Allied Forces. Begitu saksama, ia mendengarkan berita yang maha penting bagi Indonesia, perihal Sekutu melumatkan Jepang.
"Saya melompat sedikit (kamu bayangkan), ketika 14 Agustus 1945, gue sudah dengar bom meledak, Jepang akan menyerah. Lalu saya pergi kepada Bung Karno di Pengangsaan Timur 56 itu," bilang Halim kepada JR. Chaniago, pewawancara dari Panitia Sejarah Lisan Arsip Nasional RI, 10 Juli 1978.
Kepada Bung Karno, Halim menyampaikan Jepang akan menyerah, setelah sekutu membom Jepang tanggal 14 Agustus 1945.
Namun, Bung Karno yang baru saja pulang dari Dalat, agak kurang percaya informasi yang disampaikan Halim. Meski belakangan informasi dari Halim itu benar adanya.
Halim sendiri sehari lebih dahulu menyampaikan informasi sekaratnya Jepang akibat serangan Sekutu, ketimbang geng Asrama Angkatan Baru Indonesia seperti Chairul Saleh dan Sukarni.
Anak-anak Asrama Angkatan Baru Indonesia di Gedung Menteng 31, kelak dikenal sebagai kaum muda yang 'memaksa' kaum tua yang terwakilkan kepada Sukarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan itu akhirnya terwujud tanggal 17 Agustus, 76 tahun silam.
“Saya termasuk yang menginginkan proklamasi hendaknya dilakukan sebelum Jepang formal menyerah. Karena itu saya datang kepada Bung Karno. (Saya katakan), keadaan sudah begini, sebaiknya lebih cepat berbuat sesuatu yang berhubungan dengan proklamasi. Tapi saya harus akui, barangkali dapat dihitung berapa orang yang sependapat dengan saya,” jelas Halim.
Di antara ribuan orang yang hadir saat proklamasi di Pengangsaan Timur 56, Halim termasuk salah seorang di antaranya. Setelah menghadiri peristiwa bersejarah itu, ia kembali ke rumah sakit (RSUP) atau Centrale Burgerlikje Zieken.
Nasionalisme Dokter THT
Halim termasuk dokter progresif di masa kolonialisme Jepang di Indonesia. Meski berlatarbelakang dokter, Halim adalah salah seorang pendulum gelombang yang berhulu merdekanya Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai seorang dokter, ia tak terpaku di ruang laboratorium saja, tidak bergelut dengan suntik atau perkakas untuk mengobati penyakit di bagian telinga, hidung, dan tenggorok (THT), sebagaimana itu menjadi spesialisnya sejak Juli 1943.
Lika-liku Halim di dunia kedokteran cukup menarik. Terlebih ia adalah seorang dokter yang pernah menjadi perdana menteri, persisnya 21 Januari 1950 - 6 September 1950.
Kabinet Halim demikian nama kabinet yang ia pimpin, adalah parlementer di masa Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Presidennya Asaat.
Abdul Halim lahir dari pasangan Achmad Sutan Mangkuto dan Darama. Keduanya berasal dari kampung di kaki Gunung Marapi, yakni Sungai Pua dan Banuhampu.
Kala berusia 7 tahun, Halim diboyong ke Jakarta oleh mamaknya, Abdullah. Mamaknya tersebut cukup berdaya dari sisi ekonomi, karena menjadi salah satu pemimpin Bataafsche Petroleum Maatscappij (BPM - sekarang dikenal sebagai Pertamina).
Di Jakarta, Halim melahap semua jenjang pendidikan. Puncaknya ia menggondol gelar dokter setelah merampungkan pendidikan dari Geneeskundige Hooge School) atau Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekarang.
Karir Halim sebagai dokter banyak dihabiskan di RSUP atau RSCM sekarang. Dia pernah menjadi Wakil Direktur RSUP sebelum kemerdekaan, hingga diamanatkan menjadi Direktur RSUP selama 10 tahun, dari Juli 1951-Juli 1961.
Menjadi pimpinan rumah sakit terbesar di Indonesia itu, Halim telah menunjukkan heroiknya sebelum kemerdekaan. Di lingkungan RSUP, ia pantang tunduk pada aturan yang dibuat Jepang saat itu seperti kirei. Ia juga melindungi para tenaga medis perempuan dari risiko kejahatan seksual pria Jepang.
Sementara di luar RSUP, Halim giat ikut diskusi politik untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Ia aktif mendengarkan perkembangan terbaru dari Perang Dunia Kedua, lalu menyampaikannya ke tokoh bangsa saat itu seperti Sukarno-Hatta.
Setelah dipercaya menjadi Wakil Pimpinan Umum RSUP oleh Ikadaigakuco pada 28 Juli 1943, Halim menjadi penengah sesama dokter Indonesia yang berseteru seperti Subandrio dan Darmasetiawan.
Sisi lain, ia juga menjadi pelindung bagi dokter-dokter yang tidak patuh pada kebijakan Jepang, seperti kirei. Kirei adalah sebutan untuk memberi hormat ala Jepang (membungkukkan badan), antara sesama anggota masyarakat.
Halim juga tipikal manusia cerdik. ‘Yang di urang diiyoan, nan di awak yang dijalankan, seperti petuah yang berkembang di tengah masyarakat Minangkabau.
“Jepang perintahkan mesti tanam jarak, Ya. Saya Ok. Cuma letaknya di pinggiran saja, dan di tengah ditanami dengan ubi dan singkong. Kita diperintahkan untuk menanam jarak itu buat membuat oli. Pada suatu ketika, di barak kelas, Pav. VI itu beberapa Jepang sakit. Diminta perawat kita, cewek-cewek. Yang minta sipil Jepang. Tidak boleh sama saya. Saya tahu mereka mau main-main."
Menurutnya, anak-anak dan cewek-cewek itu sudah menangis, tidak mau ke situ. Sebagai pimpinan rumah sakit degan kedudukan kuat, Halim menggunakan pengaruhnya untuk melindungi pekerja rumah sakit terutama mereka yang rentan.
Ia juga rela berkorban untuk mencukupi kebutuhan primer pekerja di masa itu. Suatu hari, Halim, menjual raket tenisnya, dengan tujuan uangnya untuk beli kecap agar anak-anak asrama bisa makan.
Cerita menggelitik lainnya, saat Halim melepaskan penat dengan bermain biliar dengan kawan-kawan di Porpetusi (kini Taman Ismail Marzuki, Cikini). Mereka didatangi orang Jepang tatkala sedang asyik sodok menyodok bola biliar.
“Mungkin mata saya yang jelek, saya lihat (dia), begitu langsung dia marah. Dia ambil tongkat biliar, saya dipukul. Wah ramai. Saya lawan, dia jatuh di ubin, karena memakai sepatu yang laarsnya tinggi, jatuh dia. Saya lari sambil ketawa cekikitan)."
Kala proklamasi, Halim sudah berhenti menjabat pimpinan RSUP. Persisnya ketika pakar bidang radiologi dari Tokyo, Prof. Murakani menjabat Direktur RSUP. Meski demikian, ia tidak pernah meninggalkan profesinya sebagai dokter spesialis THT.
Buih Politik Bermuara Posisi Perdana Menteri
Pada 3 Januari 1946, Halim bareng dengan Sukarno-Hatta, berangkat dari Pengangsaan Timur menuju Yogyakarta.
Di Yogkarta kebiasaan lasak ini diteruskan. Ia rajin mendengar siaran radio BBC, dan sering jalan-jalan naik sepeda. Markas di rumah sakit (Bethesda), tapi saya tidak tetap, tetap di tempat. I am not staying in hospital the whole day. Sedangkan dokter-dokter lain betul-betul sebagai dokter pekerja di situ. Saya memang dokter, tapi saya mubeng-mubeng, muter-muter, ke sini ke situ, saya tangkap berita di sini tangkap berita di situ,”…
Menariknya, kala dipercaya menjadi Perdana Menteri, Halim membentuk ‘Negara Kesatuan’ sebagai program kerja pertama. Sebagaimana diketahui, karibnya sesama orang Minang, Mohammad Natsir di tahun 1950 itu, mengikis Negara serikat lewat Mosi Integral Natsir, dan kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Halim sebenarnya bukanlah seorang politisi karir (dalam artian aktif di partai). Keterpilihannya menjadi perdana menteri boleh dikatakan sebuah keberuntungan, imbas perseteruan dua kekuatan partai politik besar saat itu; Masyumi dan PNI. Halim menjadi jalan tengah perseteruan dan sama-sama diterima menjadi Perdana Menteri ke 4.
Kancah politik awalnya dimulai selepas proklamasi kemerdekaan tahun 1945, dimana ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, Oktober 1945 – 16 Januari 1950.
Peran penting lainnya yang dimainkan Halim dalam kesejarahan Indonesia adalah menjadi perutusan dalam penjemputan para penggerak Pemerintah Darurat Republik Indonesia di pedalaman Sumatra Barat di tahun 1949.
Buah dari Perjanjian Bangka, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengutus Halim bersama Leimena dan Natsir, membujuk Sjafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan mengembalikan mandat ke Yogyakarta atau persisnya dua tampuk pimpinan Sukarno-Hatta.
Dan Halim memainkan peran amat penting untuk itu. Diplomasi cuci muka di pancuran di Padang Jepang, Kabupaten Limapuluh Kota, melumerkan hati Sjafruddin dan kawan-kawan, yang sebelumnya bergeming pidato rayuan Leimena sepanjang malam.
Karir politik selepas menanggalkan jabatan Perdana Menteri adalah menjadi Menteri Pertahanan pertama untuk NKRI pada bulan September 1950.
Keponakan Asaat ini juga dikenal sebagai pendiri Voetbalbond Indonesia Jakarta (VIJ), yang kemudian dikenal sebagai Persija, tahun 1927. Di bidang olahraga, Halim memimpin kontingen Indonesia dalam partisipasi pertama di arena Olimpiade di Helsinki, Finlandia, tahun 1952.
----------
Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-76 yang jatuh pada Selasa (17/8/2021), masih dibayangi gabak. Segenap bangsa menyabak; meratapi kematian, ekonomi yang perih. Dan di balik hambarnya gegap gempita peringatan proklamasi, mereka yang bekerja di sektor kesehatan, sudah selayaknya ditempatkan sebagai pahlawan dewasa ini.
Tenaga medis, mulai dari perawat hingga dokter adalah mozaik pahlawan itu. Mereka bertarung nyawa dalam meredam ganasnya pandemi covid-19. Ratusan di antara mereka sudah gugur.
Langgam.id, dalam menghargai heroik para tenaga medis melawan corona yang berlangsung hingga kemerdekaan Indonesia menginjak angka 76 tahun, menurunkan tulisan kisah-kisah para dokter asal Sumatra Barat di masa lalu; mereka yang ikut menjadi pendulum gelombang kemerdekaan.
Abdul Halim adalah serial ketiga dari heroiknya dokter asal Minangkabau di masa lalu yang diturunkan Langgam.id. Berhubung temanya soal heroik tenaga medis, maka menyenggol Halim kali ini lebih kepada aktivismenya sebagai seorang dokter, dan puncaknya jabatan perdana menteri yang diperolehnya.