Langgam.id - Hari sudah malam pada 7 Agustus 1669, ketika serangan serentak datang dari Pauh dan Koto Tangah, Padang. Yang dituju adalah loji milik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), badan dagang Belanda di pinggir Muaro Batang Arau.
Serangan tersebut membuat benteng yang dijadikan VOC sebagai pusat perdagangan tersebut, hangus terbakar. Aksi itu tepat terjadi 350 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (7/8/2019). Hari yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Padang.
Saat serangan terjadi, VOC baru sekitar lima tahun memonopoli perdagangan di Padang. Mereka menjadi penguasa, setelah menyingkirkan pedagang Aceh pada tahun 1664. Sejak 1666, Belanda kemudian menjadikan Padang sebagai markas besar di pantai barat Sumatra.
Freek Colombijn dalam buku "Paco-Paco Kota Padang" menulis, supaya aman dari gangguan penduduk di Minangkabau ketika itu, Belanda menawarkan kekuasaan pemerintahan kepada Pagaruyung. Sementara, untuk urusan perdagangan Belanda yang mengatur melalui gubernur yang ditunjuk.
Meski akhirnya, Pagaruyung mengesahkan kedudukan Belanda di Padang, namun berkali-kali orang-orang dari Koto Tangah dan Pauh dengan bantuan Aceh, menyerang pos perdagangan Belanda di kawasan pelabuhan Batang Arau.
Mereka terus mengusik, bahkan menganggu stabilitas VOC di kawasan Muaro Batang Arau, yang menjadi bandar dagang. Serangan pada 7 Agustus 1669, adalah salah satu yang terbesar. Momen yang di kemudian hari dijadikan sebagai patokan untuk memperingati hari jadi Kota Padang.
Rusli Amran dalam buku "Padang Riwayatmu Dulu" (1988) menulis, serangan itu merugikan pihak Belanda sebesar 28.000 gulden. “Seorang yang disebut bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak penyerangan,” tulisnya.
Rakyat Pauh dan Koto Tangah, menurut Rusli, betul-betul menyulitkan kedudukan Belanda. "Entah berapa puluh kali mereka menyerang Padang. VOC yang menganggap bebas bertindak setelah kekuasaan Aceh berhasil diusir, kini menghadapi rakyat berjiwa revolusioner yang tidak senang kebebasan berdagang mereka diganggu."
Loji sebagai simbol kekuasaan asing di Padang, menurut Rusli, dua kali diserang dan dibakar habis. Selain pada 7 malam hingga 8 Agustus 1669, serangan terjadi pada 1870. Loji kembali dibakar masyarakat.
Menurutnya, VOC berusaha menutupi serangan hebat itu. Orang Belanda yang menjadi petinggi VOC kemudian mengatakan, loji terbakar bukan karena serangan rakyat.
"Tetapi seekor kucing nakal menyerang seekor tikus. Tikus menyambar sebuah lampu dan lampu membakar loji. Persis sewaktu rakyat sedang menyerang. Rupa-rupanya ada kerja-sama dengan tikus tadi," sindir Rusli.
Ketika dimintai pendapat Pemda Padang, Rusli memberi saran tanggal 7 Agustus tersebut dijadikan sebagai hari jadi Kota Padang, selain dua alternaif lain. Tanggal yang kemudian diterima sebagai hari jadi Kota Padang yang diperingati setiap tahun.
Hingga kemerdekaan, lanjut Rusli, sebetulnya Belanda tak selalu menguasai Padang. Tahun 1781, dengan mengirim lima kapal saja, Inggris berhasil menguasai Padang. Kekuasaan ini berlangsung hingga 1784, seiring adanya Perjanjian Damai Paris, yang mengharuskan Inggris mengembalikaan wilayah jajahan Belanda.
Selanjutnya, VOC harus menyerahkan Padang ke Prancis tahun 1793, berhubung Prancis menduduki negeri Belanda. Seorang perompak Prancis tersohor, Francois Le Meme, menaklukan Padang tanpa perlawanan.
Namun, dampak perkembangan politik Eropa yang dinamis, mengakibatkan Padang diambil alih lagi oleh Inggris. Dan mengembalikan lagi ke Belanda tahun 1814, seiring berdirinya Kerajaan Belanda yang baru.
Freek menuliskan, pada 22 Mei 1819, bala tentara Belanda yang tidak bisa dikumpulkan lebih awal, mendarat di Padang. Sejak saat itu, Kota Padang tak hanya dijadikan sebagai pos perdagangan, tapi juga daerah jajahan yang dikelola oleh pemerintah Belanda, bukan lagi VOC. (Osh/HM)