Sebagai tujuan wisata, Kota Bukittinggi, Sumatra Barat memiliki sejarah panjang, mulai dari sebelum kedatangan Bangsa Belanda hingga masa kemerdekaan dan peristiwa Agresi Militer Belanda II.
Kota beriklim sejuk dengan hamparan panorama Gunung Marapi dan Singgalang ini menyimpan banyak cerita tentang perjalanan bangsa Indonesia.
Pada awalnya, Bukittinggi merupakan salah satu nagari di Luhak Agam yang pada zaman dahulu lebih dikenal dengan sebutan Nagari Kurai.
Dalam buku Tambo Alam Minangkabau tulisan Ibrahim Dt Sanggano Dirajo disebutkan bahwa keberadaan Nagari Kurai dimulai dari perpindahan penduduk yang berasal dari Pariangan Padang Panjang.
Dari empat gelombang perpindahan penduduk, Nagari Kurai dibentuk oleh gelombang kedua yang dalam keberangkatannya terdiri dari empat kelompok.
Selain Nagari Kurai, tiga nagari lain yang terbentuk dari rombongan tersebut adalah Nagari Canduang, Koto Laweh dan Banuhampu.
Secara harfiah, nama Bukittinggi memiliki arti bukit yang tinggi, hal tersebut sesuai dengan wilayah Bukittinggi yang secara geografis berada di area perbukitan.
Setidaknya terdapat 27 buah bukit yang ada di area Nagari Kurai, bukit-bukit tersebut adalah Bukik Kubangan Kabau, Bukik Jirek, Bukik Sarang Gagak, Bukik Tambun Tulang, Bukik Cubadak Bungkuak, Bukik Malambuang, Bukik Mandiangin, Bukik Ambacang, Bukik Upang-Upang dan Bukik Pauh.
Selanjutnya adalah ukik Lacir, Bukik Jalan Aua nan Pasa, Bukik Cindai, Bukik Campago, Bukik Gumasik, Bukik Gamuak, Bukik Guguk BuIek, Bukik Sangkak, Bukik Apik, Bukik Pinang nan Sabatang, Bukik Cangang, Bukik Parit, Bukik Nantuang, Bukik Sawah Laweh, Bukik Batarah, Bukik Pungguak, Bukik Paninjauan, dan Bukik Gulimeh.
Dari seluruh bukit tersebut, Bukik Kubangan Kabau adalah bukit tertinggi dengan ketinggian 936 meter di atas permukaan laut.
Sejarawan Universitas Andalas, Dr Zulqayyim dalam buku Bukittinggi Tempo Doeloe menuliskan bahwa Bukik Kubangan Kabau terletak pada bagian selatan dari seluruh bukit tersebut,.
Menurutnya, letak bukit itu cukup strategis, yaitu menghadap ke Lembah Dataran Tinggi Agam dan Gunung Merapi.
Selain itu, Bukik Kubangan Kabau pada masanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah oleh para penghulu di Nagari Kurai V Jorong.
Berdasarkan kesepakatan bersama, kemudian bukit tersebut berganti nama menjadi Bukik Nan Tatinggi yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Bukittinggi.
Lebih lanjut, dalam buku tersebut Zulqayyim menyebutkan pada masa penjajahan Belanda, daerah ini dikenal dengan sebutan de Kock, hal tersebut sesuai dengan nama benteng yang didirikan sekitar tahun 1825-1826 di atas Bukik Jirek.
Benteng tersebut didirikan oleh Kapten Bauer, seorang Kepala Opsir Militer Belanda di daerah dataran tinggi Agam dengan mengambil nama Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Hendrik Markus de Kock sebagai nama benteng.
Pada zaman Jepang, nama de Kock kembali diganti dengan sebutan Bukittinggi Baru, hingga pasca kemerdekaan disebut dengan Bukittinggi.(SR)