Langgam.id - Persis di persimpangan Lapai yang menghubungkan Jalan Johnny Anwar dan Jalan Gajah Mada, Kota Padang, sebuah tugu berbentuk kepalan tinju berdiri kokoh.
Bentuknya yang khas, membuat monumen itu lebih dikenal warga Padang sebagai tugu simpang tinju. Tepat di sekitar tugu yang dibangun pada 1983 itu, Wali Kota Bagindo Aziz Chan gugur pada 19 Juli 1947, atau tepat 72 tahun lalu dari hari ini, Jumat (19/7/2019).
Seorang wali kota, adalah simbol dari seluruh warganya. Pembunuhan terhadap wali kota di masa perjuangan itu, sama saja dengan menyemai bibit permusuhan dengan seluruh warga Padang.
Pelakunya terang benderang diungkap sejarawan. Ini adalah bagian dari provokasi menjelang meletusnya agresi militer pertama yang dilakukan tentara Belanda.
"Provokasi mencapai puncak dengan tindakan pembunuhan brutal terhadap Walikota Padang Bagindo Aziz Chan. Tepatnya hari Minggu tanggal 19 Juli 1947," tulis Sejarawan Mestika Zed dkk dalam Buku 'Sumatera Barat di panggung sejarah, 1945-1995' (1995).
Gugurnya Bagindo Aziz Chan adalah salah satu puncak ketegangan antara tentara Belanda dengan pejuang dan rakyat Indonesia di Sumatra Barat. Ketegangan itu bermula dari pendaratan tentara Sekutu di Padang.
Audrey Kahin dalam Buku 'Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998' (2005) menulis, pasukan Inggris mendarat di Padang pada 10 Oktober 1945.
Pasukan Inggris dipimpin Mayor Jenderal H.M. Chambers yang didampingi Mayor Jenderal AI. Spits sebagai wakil Belanda. Mereka menerima penyerahan diri Jepang pada 21 Oktober 1945.
Waktu dua bulan lebih antara 14 Agustus 1945 saat Jepang menyerah dan kedatangan Sekutu telah memberi waktu tokoh-tokoh Republik menyusun kekuatan, termasuk di Sumatra Barat.
Karena itu, selama 13 bulan di Sumatra Barat, menurut Kahin, hubungan tentara Inggris dengan pihak Republik selalu tegang. Hal ini karena, ketika mendarat di Padang, pasukan Inggris selalu diikuti perwira Belanda. Ini menimbulkan kecurigaan, bahwa Sekutu datang juga untuk mengembalikan kekuasaan Belanda. Hal yang kemudian menjadi kenyataan.
Bagindo Aziz Chan diangkat jadi wali kota kedua pada 15 Agustus 1946 menggantikan Abu Bakar Jaar yang pindah tugas ke Sumatra Utara, dalam suasana seperti itu. Pusat pemerintahan keresidenan Sumatra Barat ketika itu, ada di Bukittinggi. Wilayah keresidenan ini berada di bawah Provinsi Sumatra.
Sama halnya dengan wali kota Padang, residen Sumbar juga beberapa kali berganti. Sejak 20 Juli 1946, yang menjadi residen adalah Mr. Sutan Mohammad Rasjid.
Suasana Padang berbeda dengan Bukittinggi. Padang yang mulai diduduki sejak Oktober 1945 perlahan-lahan mulai diduduki Belanda. Praktis, setelah Inggris pergi, tentara Belanda sudah menduduki Kota Padang. Karena itu, kondisi Padang sudah terlebih dahulu tegang dibanding daerah lain di Sumbar.
"Selama sekitar dua tahun pertama kemerdekaan, kontak senjata antara tentara Republik dengan tentara Sekutu, dan kemudian tentara Belanda, hanya berlangsung di Kota Padang," tulis Kahin.
Menurutnya, kala itu, daerah pinggiran Kota Padang adalah garis depan perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda. Kontak tembak terjadi di berbagai sudut.
Wali Kota Bagindo Aziz Chan menegaskan keberpihakannya pada perjuangan Republik. Dalam buku 'Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 4'. Rosihan Anwar menulis pidato Aziz Chan di depan umum, "Langkahi dulu mayatku, baru Kota Padang aku serahkan!" Hal yang membuat ia jadi target tentara Belanda.
Usia Bagindo Aziz Chan baru 36 tahun, saat diangkat jadi wali kota. Meski ada yang sempat meragukannya di awal kepemimpinan, ia menunjukkan kepemimpinan yang kuat.
Pada 23 Agustus 1946, saat baru saja jadi wali kota, ia melabrak markas Belanda yang menangkapi masyarakat di Gunung Pangilun setelah mereka diserang oleh gerilya. Masyarakat yang dikumpulkan di Lapangan Dipo, Padang Pasir dan Muaro akhirnya dibebaskan Belanda.
Bagindo Aziz Chan lahir di Padang pada 30 September 1910. Ia menamatkan HIS pada 1926 di Padang, kemudian MULO pada 1933 di Surabaya dan AMS tahun 1933 di Batavia. Ia kemudian melanjutkan ke RHS (Sekolah Hakim Tinggi).
Aziz Chan sudah terlibat dalam dunia pergerakan sejak usia muda. Ia tercatat sebagai anggota dan pengurus Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Ia juga membentuk Persatuan Pelajar Islam di Padang Panjang. Aziz Chan yang kemudian berprofesi sebagai guru kemudian menjadi kepala sekolah pergerakan modern Islamieten Kwekschool (MIKK) di Bukittinggi.
Rosihan Anwar dalam bukunya, menulis cerita kakaknya Johnny Anwar, yang saat itu jadi kepala polisi di Padang tentang saat-saat terakhir Bagindo Aziz Chan.
Sore hari, sebelum dikabarkan meninggal, Aziz Chan bertemu dengan Johnny Anwar bersama pembantu tetap wali kota Noersoehoed Akhir dan wartawan surat kabar 'Cahaya' Sutan Djoan. Saat itu bulan puasa.
"Mereka membicarakan situasi Kota Padang yang sangat gawat. Bagindo Chan membuka pembicaraan. Dia perlu sekarang juga melapor kepasa Residen Sumatra Barat di Bukittinggi tentang keadaan Kota Padang. Terlalu riskan mempergunakan telepon," tulis Rosihan.
Johnny Anwar mengaku sempat bertengkar dengan Aziz Chan. "Tidak perlu dilaporkan karena keadaan betul-betul tidak mengizinkan lagi. Saya telah menerima info tentang wali kota. Begitu juga tentang beberapa orang Republik lainnya. Kita akan dibunuh," teriak Johnny.
Ia menganjurkan Aziz Chan mengirim kurir. Menurut Johnny Anwar, wali kota dan dia harus tetap berada di tengah penduduk Kota Padang.
"Tidak. Saya harus melaporkan secara pribadi. Tidak bisa orang lain menjalankan mission ini. Tidak akan terjadi apa-apa di diri saya. Kalaupun akan terjadi juga buruk baiknya, Kota Padang terletak di tangan Saudara Johnny Anwar sebagai kepala polisi Kota Padang, Fi Sabilillah," katanya.
Bagindo Aziz Chan bersalaman dengan Johnny dan sahabat lainnya. Bersama keluarga, ia naik mobil menuju Bukittinggi.
Arya Ajisaka dalam Buku 'Mengenal Pahlawan Indonesia' menulis, di daerah Ulak Karang, mobilnya dihentikan oleh Tentara Belanda.
Letnan Kolonel Van Erp, komandan tentara Belanda berpura-pura minta tolong menghentikan kekacauan yang ia sebut dilakukan ekstrimis di daerah Lapai.
Bersama tentara Belanda, Aziz Chan pergi ke Lapai dari Ulak Karang. Itulah terakhir kali, ia dilihat keluarga dalam keadaan hidup.
Johnny Anwar sebagaimana ditulis ulang Rosihan, menulis, "Pukul 18.00 lewat sedikit, kami hendak berbuka puasa. Tiba-tiba datang seorang polisi dengan nafas sesak menyampaikan berita bahwa Bagindo Aziz Chan mati tertembak dan kini mayatnya ada di Rumah Sakit Ganting."
Johnny langsung pergi ke rumah Kolonel Van Erp. Ia membenarkan berita meninggalnya Bagindo Aziz Chan. Komandan tentara Belanda itu menyebut, wali kota Padang ditembak ekstrimis ketika memeriksa garis demarkasi.
"Onmogelijk (tidak mungkin)," terlontar kata itu dari mulut Johnny. "Alles is mogelijk (semuanya mungkin)," jawab komandan U-Brigade itu sinis. Johnny Anwar lantas minta izin melihat jenazah Bagindo Aziz Chan. Tapi tidak diizinkan. Ia diminta menunggu sampai besok.
Kalangan Republik meyakini Bagindo dibunuh oleh Belanda. "Pasti pula dari belakang. Belanda tidak akan berani menembaknya dari muka," tulis Rosihan.
Jenazah Bagindo kemudian dibawa ke Bukittinggi. Hasil pemeriksaan empat dokter, wali kota pemberani itu meninggal setelah dipukul dengan benda berat di kepalanya sehingga tulang kepalanya sebelah belakang hancur dan remuk. Bagindo tidak disenangi Belanda, sebagaimana Johnny Anwar yang ditahan dan dimasukkan ke penjara setelah Agresi Militer kesatu mereka lancarkan pada 21 Juli 1947.
Bertahun-tahun kemudian, pada 1983, Wali Kota Padang Syahrul Ujud meresmikan tugu simpang tinju, di ujung Jalan Johnny Anwar. Jalan yang diberi nama salah satu sahabat sang wali kota. Sebuah monumen lain juga diresmikan di dekat museum Adityawarman, selain jalan protokol yang diberi nama Bagindo Aziz Chan.
Pada 2005, giliran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerbitkan Kepres Nomor 082/TK/2005, mengangkat Bagindo Aziz Chan sebagai pahlawan nasional.
Darah Bagindo Aziz Chan yang tertumpah di sekitar simpang tinju, terus hidup jadi semangat dalam kepalan monumen itu sepanjang waktu. (HM)