Langgam.id - Hari ini (28/6/2020), berpaling ke 94 tahun silam, hentakan di hari pekan, meremukkan Padang Panjang dan sekitarnya. Gempa bumi itu tercatat terbesar dalam sejarah masa pendudukan kolonial di Sumatra Barat, dan membekas dalam bentuk puing-puing ingatan penduduk sekitar Padang Panjang.
Betapa tidak, kejadian gempa dengan tarikh, Senin, 28 Juni 1926, bertepatan dengan hari pekan Padang Panjang. Hari pekan adalah hari pasar besar yang dihelat dua kali seminggu, yakni Senin dan Jumat.
Mentari masih berpendar dari arah ufuk timur, kawasan Danau Singkarak, orang-orang sudah menjejali pasar serikat Padang Panjang Batipuh, X Koto itu.
Mereka bukan saja datang dari Kota Padang Panjang, Batipuh, X Koto, tapi juga dari wilayah Tanah Datar dan Agam lainnya.
Ada yang berjualan, ada yang menjadi pembeli, dan ada yang sekedar untuk menghilangkan suntuk dengan berjalan-jalan di sepanjang pasar, atau sekedar minum kopi di kedai.
Sekira pukul 10.00 pagi, tiba-tiba bumi berguncang. Menghentak secara vertikal, mengaduk perut bumi Padang Panjang dan sekitarnya. Begitu cepat dan liar.
Perkakas yang ada di atas meja berserakan ke lantai, lampu gantung berjatuhan, orang-orang yang sedang berada di warung maupun rumah seketika itu langsung berhamburan ke luar, menuju ke tempat ruangan yang terbuka.
"Getarannya cukup lama. Seketika itu juga bangunan banyak roboh dan hancur. Pada reruntuhan puing-puing bangunan itu banyak yang terjebak dan terhimpit," demikian laporan jurnalistik yang diturunkan koran Sin Po, terbitan Jumat, 9 Juli 1926.
Gempa yang berpusat di Padangp Panjang ini terjadi berkali-kali, dimana dua kali yang tercatat cukup besar. Berdasarkan data National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), pada pukul 10.00 pagi, besaran getaran gempa 7,6 SR. Sekira pukul 13.15 siang lebih keras lagi yakni berkekuatan 7,8 SR.
Hamka mengisahkan pengalaman hidup ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan nama Haji Rasul saat terjadinya gempa bumi itu, pada laman buku Ayahku. Sehari setelah gempa melanda Padang Panjang, Haji Rasul (warga Padang Panjang), sedang dalam perjalanan dari Medan, Sumatra Utara menuju Sumatra Barat.
Sesampainya di Sibolga, Sumatra Utara, Haji Rasul mendengar Padang Panjang diguncang gempa dahsyat.
Dia membayangkan bahwa gempa itu pasti telah meruntuhkan rumah-rumah, surau milik sahabatnya Abdullah Ahmad di Jembatan Besi, dan orang-orang yang meninggal akibat gempa.
Sesampainya di Padang Panjang, apa yang dibayangkan tersebut sungguh nyata adanya. Rumah yang dimilikinya di Gatangan, rusak berat karena gempa. Demikian juga dengan Surau Jembatan Besi kepunyaan Abdullah Ahmad, yang menjadi tempat Haji Rasul mengajar ilmu agama sehari-hari. Sekitar surau tersebut juga banyak rumah yang sudah rusak dan hancur.
Sebagian besar keluarganya telah lebih dahulu meninggalkan Padang Panjang, menuju ke Maninjau, kampung halamannya. Ketiadaan rumah karena rusak berat karena gempa, tanggal 30 Juni Haji Rasul memutuskan pulang kampung ke Maninjau.
Getaran gempa yang cukup kuat, menimbulkan kerusakan pada pelbagai infrastruktur. Paling kentara terlihat pada bangunan berbahan batu yang umumnya bertumbangan.
Misalnya saja rumah batu di Pasar Baru, Padang Panjang, rumah-rumah pegawai, kantor, sekolah berkonstruksi batu, stasiun kereta api. Bukti kuatnya energi gempa, air membusar dari perut bumi.
Di Pasar Usang, Padang Panjang, persis di bawah halte keluar air besar setelah guncangan hebat berhenti. Kejadian persis sama juga terjadi di Pasar Kapur, Lubuk Alung, Padang Pariaman.
Beberapa lubang mengeluarkan air, namun sesaat kemudian mengering kembali. Sementara di Danau Singkarak, riak berubah menjadi ombak, menandakan ada tsunami akibat gempa tersebut.
Kejadian berdurasi sekian detik itu, mempercepat banyak orang menemui ajalnya. Laporan-laporan dari otoritas yang dipublikasikan sejumlah media seperti Sin Po, korban tercatat ratusan orang.
Harian Dagblad Radio sehari setelah gempa yakni pada tanggal 29 Juni 1926, menurunkan berita jumlah korban yang meninggal akibat gempa seribu lebih.
Sebaran korban bukan hanya di Padang Panjang dan sekitarnya, melainkan juga di wilayah Solok, Agam, dan kawasan lainnya di Sumatra Barat.
Perbedaan data korban bisa dipahami bencana besar yang datang secara mengejutkan, membuat semua orang terutama otoritas tergagap. Belum ada data yang terintegrasi. Data menggelinding begitu saja.
Dampak lain yang ditimbulkan seperti kerusakan rumah, Sin Po terbitan tanggal 10 Juli, memperkirakan ada sekitar 3000 rumah yang rusak dan roboh akibat gempa. Kebanyakan di Padang Panjang dan negeri sekitar seperti Batipuh dan X Koto.
Di balik berjatuhannya korban jiwa dan meruntuhnya bangunan serta kerusakan berarti infrastruktur lainnya, sesungguhnya gempa 1926 dengan pusat Padang Panjang mewariskan rekonstruksi pengelolaan (mitigasi) bencana seperti apa yang ideal untuk kita yang tinggal di ranah penuh ancaman bencana ini?
Dari kejadian gempa 1926 bisa dipetik kegamangan dalam menghadapi gempa besar karena minim pengetahuan soal bencana tersebut.
Seorang jurnalis dan pengarang buku yang cukup produktif, Muhamad Radjab mengingat, saat gempa datang, ayahnya mengatakan bahwa dunia memasuki kiamat. Dia menasehati orang-orang kampungnya di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh (kini Kecamatan Batipuh Selatan), 14 kilometer dari Kota Padang Panjang, yang sedang meringkuk di surau agar bertawakal.
Kiamat dianggap sebagai konsekuensi dari semakin banyaknya manusia melakukan kejahatan dan perbuatan dosa lainnya.
"Dia mengingat, orang-orang kampungnya ketakutan, langsung mengumandangkan takbir atau seruan minta pengampunan kepada Tuhan. Kejadian gempa ini sedikit banyaknya mengusik sisi regilius masyarakat Sumpur, dengan gambaran sesaknya surau sewaktu shalat zuhur," tulis Radjab dalam buku Semasa Kecil Di Kampung.
Sisi lain, di level otoritas belum ada lembaga yang berfokus pada kebencanaan. Al hasil, bala tentara juga didatangkan dari pusat pemerintahan kolonial, Bogor, untuk ikut serta dalam melakukan evakuasi dan tanggap darurat.
Gempa 1926 Padang Panjang juga mengingatkan kembali tentang konstruksi ramah gempa itu sebetulnya yang mana? Kerusakan yang ditimbulkan, justru konstruksi tembok paling gamblang. Sementara konstruksi berbasis kayu masih kuat berdiri. Jarang yang rubuh.
Sin Po pada 2 Juli 1926 melaporkan, dampak gempa, rumah asisten residen retak-retak, sebagian dindingnya pecah. Namun atapnya tidak sampai jatuh ke tanah. Sederet rumah opsir, sebagian retak, sebagian lagi hancur. Rumah bola (tempat berkumpul atau pesta) di sana juga rusak berat.
Sementara rumah berbahan kayu lebih banyak bertahan alias berdiri kokoh, ketimbang mengalami kerusakan. Kalau dikategorikan rusak, mungkin hanya karena miring akibat getaran gempa atau sebagian bumbungan bergeser atau terlepas sebagai dampak dari guncangan gempa.
Lindu 1926 juga menyejarahkan empati tanpa tepi, berkelindan dalam semangat kebangkitan. Selepas gempa, fonds (lembaga donasi) bermunculan. Mulai dari berbasis komunitas, hingga lintas etnis. Bahkan banyak gerakan donasi dimunculkan oleh pejabat kolonial dan orang Eropa yang tinggal di Sumatra Barat, bahkan dari luar negeri.
Donasi dihimpun dalam suatu iven yang sengaja digagas untuk membantu korban gempa misalnya di rumah bola. Dan banyak juga penghimpunan donasi dilakukan dalam waktu yang lama, dengan transparansi yang kuat. Sumbangan yang mengalir diterbitkan tiap hari oleh media saat itu seperti Sinar Sumatra dan Sin Po.
Penulis pikir, pengalaman dari gempa 1926 dan pola-pola penanganannya masih relevan saat ini; mitigasi bencana, kejadian yang kadang kita tidak tahu kapan datangnya.
Pandemi virus corona (covid-19) misalnya untuk konteks bencana yang kita hadapi hari ini. Solidaritas yang berkibar pascagempa 1926, harus dipelihara dan menjadi sukma dalam menghadapi pandemi.
Wujudnya, bisa saling membantu secara materi, atau sepakat untuk mematuhi apa yang telah dijadikan protokol kesehatan covid-19.
*Pernah menempuh pendidikan Pascasarjana Jurusan Ilmu Sejarah Unand-Peneliti Gempa 1926 Sumatra Barat