Langgam.id - Sejumlah literatur mencatat tanggal 4 Maret dalam sejarah Sumatra Barat. Pada hari tersebut, dalam tahun yang berbeda, setidaknya terjadi dua peristiwa yang dicatat berbagai buku sejarah. Dua peristiwa tersebut masih terjadi dalam rentang Perang Padri, yakni pada 1822 dan 1831.
4 Maret 1822
Dengan kekuatan sekitar 400 infanteri dan artileri, Belanda menyerbu Pagaruyung dan daerah sekitarnya. Pada tengah hari tanggal 4 Maret 1822, serdadu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Antoine Theodore Raaff tersebut menduduki Pagaruyung dan kemudian pusat-pusat lain di sebelah tenggara Tanah Datar.
Demikian disampaikan Sejarawan Christine E Dobbin dalam Buku "Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847" (1992).
Menurut Dobbin, kekuatan Belanda yang menyerang Pagaruyung sudah bersiap sejak Februari 1822 di dataran tinggi Sumbar.
Dalam buku "Ketika Nusantara Berbicara", Joko Darmawan mengungkapkan, serbuan yang direncanakan dengan matang itu berhasil memukul mundur kekuatan Padri keluar dari wilayah Pagaruyung.
Setelah menguasai Tanah Datar, Raaff bersama pasukannya kemudian membangun benteng yang kemudian dinamakan Fort Van der Capellen. Raaff dan pasukannya kemudian tak berhenti. Ia merencanakan penyerangan ke Lintau dan wilayah lainnya yang dikuasai Padri.
Mundur dari Batusangkar dan Pagaruyung bukan berarti Pasukan Padri sudah kalah. Padri menyusun kekuatan di Lintau, hanya sekitar 37 kilometer dari Benteng Fort Van der Capellen.
Serangan balasan pun dilakukan. Pada 10 Juni 1822, menurut Joko Darmawan, pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam diadang kaum Padri, meski belum menunjukkan hasil maksimal.
Serangan Padri berikutnya pada 14 Agustus 1822 sudah membawa hasil. Dalam pertempuran di Baso, salah seorang perwira Belanda Kapten Goffinet menderita luka berat. Ia kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Karena serangan pasukan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh itu, Belanda mundur kembali ke Batusangkar.
Pada 13 April 1823, pasukan Raaff kembali menyerang Lintau. Serangan ini gagal karena perlawanan sengit Padri. Belanda kembali ke Batusangkar pada 16 April.
Beberapa kali penyerangan yang dilakukan Raaff dan pasukannya tak membuat Belanda berhasil mengembangkan wilayah dudukannya ke luar Batusangkar. Kondisi ini terjadi hingga Raaff diangkat jadi residen Padang pada 1823. Namun, kemudian meninggal mendadak pada 1824.
Baca juga: Kisah Belanda Menyerbu Tanah Datar
4 Maret 1831
Gubernur Jenderal Van den Bosch mengangkat Letnan Kolonel CPJ Elout menjadi residen dan komandan militer Hindia Belanda di Sumatra Barat. Elout sekaligus menggantikan mantan residen Mac Gillavry dan komandan militer Kapten de Rochemont. Ia sampai di Padang pada 4 Maret 1931.
Demikian ditulis Muhamad Radjab dalam "Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838)", buku tahun 1954 yang diterbitkan ulang pada 2019.
Radjab menulis, Letnan Kolonel Elout diberi tugas politik dan militer, yaitu mengembalikan ketentraman di Sumatra Barat. Baik dengan jalan mengadakan perdamaian dengan kaum padri maupun dengan menaklukkan sejumlah distrik yang sebelumnya sudah ditaklukkan Belanda, namun belakangan tidak mengakui lagi kekuasaan Belanda.
"Kepadanya dianjurkan supaya perdamaian itu dicari dengan perundingan dan mengambil hati penduduk. Seberapa boleh, jangan bertindak menyerang, kecuali kalau sudah diperintahkan gubernur jenderal," tulis Radjab.
Namun, perintah tersebut tak menghentikan kekerasan di Ranah Minang. Rangkaian pertempuran antara tentara Belanda dan pasukan padri terus terjadi di berbagai pelosok Sumatra Barat setelah itu. (HM)