Langgam.id - Sejumlah peristiwa pada 3 Maret di masa lalu, dicatat dalam berbagai berbagai buku sejarah. Dari berbagai kejadian itu, setidaknya dua peristiwa terjadi di Sumatra Barat. Masing-masing terjadi pada 1947 dan 1949.
3 Maret 1947
Audrey Kahin dalam buku "Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998" (2005) menulis, pada 3 Maret 1947, sejumlah laskar bersenjata mengangkat senjata melawan pemerintah Republik di Bukittinggi dan di beberapa kota lain di Sumatra Barat.
Para laskar yang mengangkat senjata, menurut Sejarawan Cornell University itu, berencana menculik Residen Rasjid, Komandan Militer Ismail Lengah dan pejabat-pejabat tinggi keresidenan lainnya. Peristiwa ini di kemudian hari lebih dikenal sebagai "Peristiwa 3 Maret".
Saafroedin Bahar dalam Buku "Etnik, Elit dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945-1984 Indonesia 1985-2015" (2018) menyebut, pada bulan-bulan awal sebelum itu, sudah lama terjadi keresahan di kalangan para laskar.
“Antara lain disebabkan oleh perbedaan pelayanan perbekalan antara pasukan tentara reguler Divisi IX Banteng yang jauh lebih baik dengan perbekalan untuk laskar,” tulisnya.
Audrey Kahin yang mewawancarai Sjuib Ibrahim dan Maksum, dua pimpinan Hizbullah, di Padang pada 1 Juli 1976 mengungkapkan empat penyebab lain yang lebih substansi.
Selain tak berhasil menangkap Rasjid, dalam pelaksanaan, gerakan ternyata lemah dan tak terorganisir. Sempat terjadi kontak tembak di Bukittinggi selama beberapa jam, namun sebelum berhasil masuk kota, kelompok penyerang menyerah.
Sekitar 200 personil Divisi Banteng dari Padang didatangkan untuk membantu memadamkan pemberontakan. Kepada para tentara, menurut Saafroedin, sudah diberikan instruksi untuk mengurangi tembakan seminim mungkin agar tidak muncul korban yang tak perlu.
Dua orang yang memimpin gerakan sempat ditahan dan disidangkan setelah peristiwa ini. Sementara, semua anggota dibebaskan. Residen Rasjid lebih menekankan langkah rekonsiliasi karena Republik masih menghadapi perang melawan tentara Belanda. Rekonsiliasi tersebut yang kemudian jadi modal saat semua bersatu mendukung Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) setelah agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.
Baca juga: Peristiwa 3 Maret 1947, Pergolakan Ranah di Awal Merdeka
3 Maret 1949
Kabar tentang serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sampai ke Bidar Alam, Solok Selatan pada 3 Maret 1949. Bidar Alam, saat itu menjadi basis Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dan sebagian besar anggota kabinet.
"Stasiun radio Dick Tamimi di Bidar Alam menerima radiogram dari Wonosari tentang serangan 1 Maret 1949 (6 jam di Yogya). Radiogram tersebut langsung dikirim ke seluruh stasiun radio AURI di Sumatra, termasuk Koto Tinggi (Limapuluh Kota) dan Aceh," tulis Sejarawan Mestika Zed dalam "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan" (1997).
Menurutnya, stasiun radio di Koto Tinggi kemudian mengirim kabar itu ke stasiun radio India di New Delhi. Ibu Kota India tersebut, saat itu menjadi basis Menteri Luar Negeri PDRI AA Maramis. Sementara, dari Aceh kabar disampaikan ke Soewarno dan sejumlah personil AURI yang sedang dalam misi penerbangan RI Seulawah di Burma. (*/HM)