Langgam.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 diharapkan bisa menjadi salah satu ajang Pilkada yang berintegritas. Untuk mewujudkan Pilkada berintegritas tersebut ada tiga aktor kunci yang berperan penting, yaitu penyelenggara Pilkada, peserta Pilkada, dan pemilih dalam Pilkada.
Hal ini disampaikan oleh Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil dalam diskusi langgam.id dengan tema “Mewujudkan Pilkada Berintegritas, Anti Politik Uang, dan Isu Sara”. Diskusi tersebut dilaksanakan pada Rabu (28/10/20), di Kedai Kebun Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
“Bagi saya sebuah pemilihan kepala daerah berintegritas adalah Pemilihan Kepala Daerah yang memberikan harapan untuk perbaikan masa depan Indonesia ke depan. Khususnya masa depan daerah, tempatnya kita ada disini sekarang, yang jauh lebih baik ke depannya dan itu ditentukan oleh tiga aktor kunci itu tadi” tutur Fadli.
Fadli Ramadhani menambahkan harapan mewujudkan Pilkada yang berintegritas tidak bisa tercapai apabila praktik Pilkada 2020 dilakukan dengan praktik politik uang. Karena politik uang dengan cara membagikan uang kepada pemilih tidak hanya akan merusak diri sendiri, masyarakat di daerah tetapi juga merusak harapan dan bangsa Indonesia
Pasangan calon kepala daerah harus benar-benar mengetahui bagaimana persoalan daerah yang akan dipimpin, bagaimana mengatasinya agar bisa menjadi daerah itu menjadi lebih baik dan tidak terulang lagi persoalan tersebut di masa depan.
Dia juga mengatakan, selain peserta pilkada dalam hal ini calon kepala daerah, ada peran pemilih juga yang menentukan nasib pilkada 2020. Sebagai pemilih, kita memiliki cukup waktu untuk menentukan mana pemimpin yang betul-betul punya program yang baik, punya janji politik yang masuk akal, dan yang betul-betul memahami persoalan masyarakat dan bisa memetakan apa yang akan mereka lakukan untuk perbaikan masa depan daerah ke depan.
“Peran starategis dari pemilih yang tentu harus dimaksimalkan oleh kita semua. Kalau penyelenggaranya kemudian terlibat konflik kepentingan misalnya, penyelenggaranya tidak netral, serta peserta pilkadanya juga mementingkan kepentingan jangka pendek untuk kepentingan kemenangan, masih ada harapan di kita sebagai pemilih. Kalau pemilihnya gak mau milih orang-orang yang melakukan praktik uang misalnya mereka ga akan jadi apa-apa,” tambah Fadli.
Fadli juga menyinggung soal SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang kerap kali di politisasi dalam ajang kontestasi politik. Menurut Fadli hal tersebut merupakan hama demokrasi, dan sangat sulit untuk dihentikan. Namun, kita bisa menghadirkan narasi-narasi yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat untuk melawan hoaks dan para pelaku culas politik tersebut. (Dian/ABW)