25 Tahun Reformasi, Dampaknya Bagi Politik dan Pemerintahan

Seperempat abad reformasi sudah pasti memberikan banyak wajah baru bagi pemerintahan Indonesia. Walaupun tentu tidak bisa dipungkiri bahwa.

Tommy TRD

Seperempat abad reformasi sudah pasti memberikan banyak wajah baru bagi pemerintahan Indonesia. Walaupun tentu tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua wajah yang hadir adalah wajah ideal.

Dalam pemilihan kepala daerah misalnya, yang dulu dipilih melalui DPRD, sekarang sudah dipilih langsung dengan alasan lebih demokratis. Tidak salah. Tapi mari kita lihat bersama hasil pemilihan kepala daerah secara langsung ini. Memakai data KPK, sejak 2004-2022 saja sudah 176 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Dengan rincian 22 orang gubernur dan 154 bupati/wali kota.

Masih soal kepala daerah, sejak Pilkada dilaksanakan dengan memilih paket pasangan calon kepala daerah dan wakilnya, setidaknya hingga tahun 2015 saja sudah menghasilkan 94,64% pasangan yang pecah kongsi (penelitian LIPI). Jika ditarik ke tahun sekarang, mungkin angkanya bisa bertambah.

Reformasi jelas memberikan banyak kemajuan dalam beberapa aspek. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa reformasi juga belum didukung maksimal dengan kedewasaan dalam aspek politik dan pemerintahan.

Dalam politik, mekanisme pasar yang diterapkan dalam menjaring kader partai justru seperti mendegradasi perjuangan ideologis Parpol. Karena dalam era pemilihan langsung, sepertinya kekuatan finansial dan popularitas menjadi faktor paling dominan bagi seorang politisi untuk terpilih. Entah itu sebagai anggota legislatif ataupun kepala daerah. Partai politik sangat bersandar kepada kekuatan finansial dan popularitas calon yang mereka usung untuk tetap eksis.

Masalah baru timbul ketika kekuatan finansial ini ternyata bukannya tanpa pamrih. Alhasil banyak kepala daerah yang terlibat korupsi. Di sisi lain popularitas calon juga ternyata seringkali tidak diiringi dengan kemampuan dalam menjalankan fungsi politik dan fungsi pemerintahan dengan baik. Sehingga seringkali menghasilkan kebijakan-kebijakan yang aneh atau kebijakan yang transaksional sekalian.

Seperempat abad reformasi peran Partai Politik tereduksi akibat terlalu bersandar kepada finansial dan popularitas. Tidak lagi menjadi kawah candradimuka pendidikan ideologi dan penyusunan arah bangsa bagi para kader-kadernya. Wajah kader-kader tulen partai politik yang dididik bertahun-tahun sudah berganti dengan wajah-wajah influencer, selebritis, selebgram. Sosok-sosok yang menjadi kader Parpol pagi, sorenya nyaleg.

Terakhir, tentu finansial dan popularitas penting. Tapi seyogyanya Parpol juga harus turut mendidik para miliarder dan figur publik yang bergabung dengan mereka. Bahkan didiklah mereka lebih keras, karena mayoritas mereka biasanya mengambil “short course” untuk menjadi kader. Jika itu masih bisa disebut sebagai kader.

Ada banyak orang yang merindukan negeri ini kembali memiliki politisi sekelas Soekarno, Hatta, M. Yamin, Ali Sastroamidjojo, Natsir, Syafruddin, Ali Alatas, Megawati, Tjahyo Kumolo dan para tokoh besar lainnya. Sosok-sosok yang memang kenyang asam garam perpolitikan dan pemerintahan bangsa. Bukan sosok-sosok politisi yang lahir prematur melalui tiktok atau instagram.

Tommy TRD (Alumni Magister Ilmu Politik Unand)

Tag:

Baca Juga

Reformasi (Bagian II): Introspeksi
Reformasi (Bagian II): Introspeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?
Lain Dagang Lain Ilalang: Menanggapi Riki Saputra Atas Pergeseran Nilai Politik Muhammadiyah Sumbar
Lain Dagang Lain Ilalang: Menanggapi Riki Saputra Atas Pergeseran Nilai Politik Muhammadiyah Sumbar
Menyigi Sumber Budaya Berwirausaha Etnis Minang
Menyigi Sumber Budaya Berwirausaha Etnis Minang