Langgam.id - Malam belum larut, ketika gempa berkekuatan Magnitudo 8,4 menggetarkan Kota Padang dan kemudian diikuti tsunami setinggi 5 meter. Hari itu, 10 Februari 1797 atau tepat 223 tahun yang lalu dari hari ini, Senin (10/2/2020).
Oakley Brooks dalam Buku "Tsunami Alert: Beating Asia’s Next Big One" (2011) menulis, saat itu Padang hanya dihuni beberapa ribu orang yang tinggal di sekitar muara Batang Arau.
"Sekitar pukul 10 malam pada tanggal 10 Februari, bumi mulai bergetar. Ketika goncangan makin kuat, orang-orang lari ke luar rumah," tulisnya.
Selain bangunan yang rubuh di pemukiman dekat sungai, tanah retak hingga 10 sentimeter. Tidak berapa lama, tiga gelombang tsunami berturut-turut muncul di sungai.
"Satu gelombang sanggup memindahkan kapal dagang Inggris seberat 150 ton dari muara sungai ke pasar burung di belakang benteng Belanda lama, lebih dari satu kilometer ke hulu. Perahu-perahu di muara juga melesat satu kilometer ke hulu."
Selain menyapu pemukiman orang Belanda, tsunami juga menyampu kawasan pemukiman orang China di dekat benteng.
"Di Air Manis, arah selatan Batang Harau, orang-orang melarikan diri ke pohon-pohon. Namun, gelombang mencapai cabang-cabang pohon tersebut. Para ilmuwan memperkirakan tsunami mencapai lima meter," tulisnya.
Gempa susulan, kemudian berlanjut sepanjang malam. "Keesokan harinya, penduduk Padang melihat hampir setiap bangunan telah rusak."
"Gelombang tsunami menjangkau kota hingga radius satu kilometer ke daratan. Di Pantai Air Manis, perahu-perahu kecil hanyut hingga 1,8 kilometer ke hulu sungai," tulis Yose Hendra dalam tesisnya yang membahas sejarah bencana di Sumbar, mengutip Dany Hilman dan Kiere Sieh dalam "Neotectonic of The Sumatran Fault, Indonesia, 2000.
Keesokan harinya, mayat-mayat ditemukan bergelimpangan di kawasan pantai Air Manis. Bahkan di antaranya tersangkut di cabang-cabang pohon di sekitar pantai. "Sebagian ahli memperkirakan munculnya tsunami akibat longsor di bawah laut yang dipicu oleh gempa bumi," tulis Yose.
Fery Irawan, kasubbid pengelolaan data dan sistem informasi statistik pada Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB di situs resmi lembaga itu menulis, sumber gempa berasal di wilayah yang kini lazim disebut sebagai Segmen Mentawai Megathrust.
Database tsunami global, menurutnya, hanya mencatat dua pengamatan tsunami akibat kejadian tersebut. Pertama di Padang yang berjarak 184 km dari sumber gempa dam kedua di Pulau Batu, Kabupaten Nias Selatan (antara Siberut–Nias) yang berjarak 60 km dari sumber gempa.
Di Padang, tsunami menghantam dengan dahsyat, setelah air laut surut sedemikian rupa. Batang Arau sempat kering sebelum tsunami kemudian datang.
Rangkaian tsunami, menurut Fery, terjadi hingga tiga kali. "Menyebabkan Kota Padang terendam. Pemukiman di Air Manis luluh lantak, sekitar 300 jiwa meninggal dunia. Sebagian ditemukan bergelantungan tersangkut di cabang pepohonan dan ada kapal yang terbawa jauh ke daratan."
Survei kelautan tahun 2008, tulisnya, mengindikasikan tsunami 1797 tersebut mungkin disebabkan oleh sumber lokal, akibat longsoran bawah laut atau dari back thrust.
Tsunami 1797 di Padang justru lebih tinggi dibandingkan 36 tahun setelahnya saat gempa 1833 yang secara magnitude lebih besar. Namun ketinggian tsunami di Padang pada 1833 justru lebih kecil, hanya 2–3 meter. (SS)